"G U B U K K I T A"

Gubuk Untuk Sekedar Berbagi...

Sabtu, November 07, 2009

Selamanya Menyejukkan Aku

aku ingin berharap!
tapi harapanku terbongkah kesetiaanmu,
1001 harapan kini berubah jadi do'a persahabatan,
menyejukkan rasa lara dan kecewa,
menjadi pelita antara kegamangan,
atas nama cinta//

aku ingin berharap!
tapi harapanku tersapu bersama cucuran air mata,
memajang cinta diantara mata,
senyuman kini pesona pelipur duka,
memberi jalan pada cinta kedua,
walau dalam rasa yang beda//

aku ingin berharap!
tapi harapanku tersipu malu,
logika tak mampu berkata cinta,
yang [ternyata] lebih indah tak sekedar kata,
kini aku sadar, bahwa harapanku sebatas teman sejati//

aku ingin berharap!
tapi tak menyadari harapanku...
bahwa ungu tak selamanya ungu...
namun ungu selamanya menyejukkanku//

G O M B A L M U K I Y O, 8/11/2009


Rohim Habibi, Pengajian Kalimat, Solo

Minggu, Oktober 25, 2009

Tunangan dan Sex Bebas

”Malam yang indah, sumringah dibawah sinaran bulan kecil berteman bintang nan jauh. Berbondong-berkonvoi bersenjatakan senyuman tulus, keluar dari gubug calon raja menuju istana calon ratu, segala sesaji tujuh rupa diperlihatkan kecuali satu nan rahasia [cincin] sebagai tanda perikatan [permohonan/khitbah] sebelum pengangkatan sang raja. Kini si bujang mulai tenang walau jauh melanglang, diantara cincin keyakinan itu tersematkan, sampai datang malam nanti disaat sang sufi menqabulkan permintaan [nikah] sang raja.”

Sebelum menjalani hidup sebagai sepasang keluarga, dalam Islam dianjurkan untuk melakukan khitbah atau tunangan/melamar terlebih dahulu. Tunangan [khitbah] memiliki makna permohonan untuk menjalin hubungan sebelum nikah. Selain sebagai keinginan [keseriusan] untuk menjalani nikah, khitbah juga bisa artikan sebagai proses pengenalan [status] wanita yang ingin ditunangi, sebab dalam Islam wanita yang telah bertunangan tidak dibolehkan untuk menerima tunangan dari orang lain, begitu juga lelaki tidak dibolehkan untuk mekhitbah wanita yang telah dikhitbah. sedang bagi wanita yang telah menikah [cerai], maka khitbah dilangsungkan [dibolehkan] setelah habis masa iddahnya.

Di Indonesia, tunangan/melamar biasanya dilakukan oleh kelompok [keluarga] dari sang lelaki yang datang ke pihak wanita dengan membawa berbagai macam makanan dan pemberian cincin bahkan uang sebagai bentuk keseriusan dari pihak peminang kepada wanita atau sebaliknya. Ironisnya, Setelah pertunangan selesai, biasanya laki-laki datang [apel] di malam harinya. Seakan menjadi sebuah tradisi, pihak perempuan sengaja mempersiapkan diri untuk memonggohkan pelamar, bahkan sampai waktu yang tidak biasa [larut malam] tanpa ada teguran dari siapapun -orang tua dan masyarakat-. Hal ini seakan menjadi sah [biasa] setelah status pertunangan, masyarakat memandang biasa bagi pasangan yang telah bertunangan.

Bagi pihak keluarga pun seringkali memberikan kebebasan kepada anaknya setelah statusnya pertunangan. Padahal tunangan/khitbah belum tentu nikah, khitbah hanya permohonan untuk kearah nikah. Jadi secara Syar’i keduanya masih orang lain dan haram untuk melakukan layaknya suami istri. Jika ”kebebasan” terjadi maka pihak wanita yang sangat dirugikan, apalagi jika ternyata tidak terjadi pernikahan seperti yang diinginkan dari tunangan. Keleluasaan atau kebebasan yang diberikan oleh orang tua, secara tidak langsung menimbulkan benih-benih sex bebas yang sering kali tidak terdeteksi.

Perilaku sex bebas sudah menjadi hal yang tidak tabu bagi masyarakat Indonesia. Anak-anak, orang dewasa, dan orang tua, dari segmentasi apapun mulai mengenal sex bahkan tidak sedikit yang melakukannya sebagai bentuk kesetiaan seorang pasangan. Oleh karena itu, tidak dianggap setia jika pasangan [wanita] tidak mau melakukan sex bebas atau hubungan yang mengarah kepada laku sex bebas. Lihat saja, beberapa kasus nikah dini, hamil sebelum resepsi pernikahan atau sex bebas yang dilakukan oleh anak sekolah sebagian besar mengaku karena alasan kesetiaan [keseriusan] hubungan cinta mereka. Apalagi sebagai seorang hawa, dimanapun ia tidak ingin dianggap sebagai orang yang tak setia.

Kini, sejalan dengan merebaknya sex bebas yang berarti mulai luntur nilai-nilai agama serta norma sosial di masyarakat. Modus atau cara yang digunakan oleh penikmat atau pelaku sex pun semakin berkembang. Tidak hanya di kota-kota besar yang notabene kota metropolitan, sex bebas kini mulai menjamah kota-kota kecil dan pedesaan. Bahkan pertunangan pun sering dijadikan sebagai alat legitimasi terhadap laku sex bebas. hal ini dimotori oleh laku membebaskan orang tua terhadap pasangan yang telah bertunangan, sehingga secara tidak langsung memberi ruang bagi mereka untuk bebas melakukan apapun demi kesetiaan atau kesungguhan calon pasangan. Realitas hamil sebelum nikah atau mengandung disaat melakukan resepsi menjadi bukti sahih dari laku sex bebas setelah pertunangan. Ironis tapi inilah realitas masyarakat yang mulai merebak.

Padahal kita tahu, jika ternyata pertunangan itu mengalami masalah [putus], maka tidak ada hukum syar’i bagi pihak laki-laki atau perempuan, hanya hukum sosial yang berlaku [blacklist] dan bagi pihak laki-laki itu tidak berarti apapun. Apalagi jika kegagalan [seleh] itu terjadi setelah melakukan sex bebas dengan alasan kesetiaan, maka wanita yang mendapatkan kerugian paling besar. baik secara fisik maupun mental, secara fisik masyarakat bisa tahu bahwa dia telah melakukan hubungan sex dengan bukti kandungan. sedangkan secara mental, ia akan merasakan malu setelah masyarakat tahu bahwa dia tak lagi "virgin" apalagi tanpa suami. sekali lagi, bahwa pertunangan / khitbah hanya perantara "kesungguhan" pihak laki-laki atau sebaliknya untuk melakukan nikah.

Pertunangan/khitbah merupakan bagian ritual masyarakat sebelum pernikahan, maka memiliki nilai luhur sebagai permohonan untuk melakukan hubungan serius dalam pernikahan. Artinya bukan berarti kita membebaskan begitu saja bagi pasangan pertunangan, sebagai orang tua atau masyarakat maka pengawasan [penyadaran] terhadap pasangan pertunangan harus dilakukan. Sebelum benar-benar ia memaknai pertunangan sebagai pembolehan atau ”kebebasan” untuk melakukan apapun termasuk sex bebas. Sekali lagi kita belajar dari laku masyarakat, dan hari ini pertunangan menjadi pelajaran yang baik juga. Bukan Begitu?

Rohim Habibi, Pengajian Kalimat, Solo

Rabu, September 16, 2009

Sajak Pinggiran

Topeng


Ssttt?! Dengarkan,

Betapa Indah Suaranya,
Sehalus Mulus Bibirnya,
Sebening mata lentiknya,
Aku tak percaya, begitu Engkau Sempurna...

Lihat? Juga,
Begitu Tenang Gerak Gigi Menusuk Pipi Apemnya,
Disertai senyum gingsulnya, Bech...
Alamak.....

Bagaimana ia membalut rambut panjangnya,
Dengan Kerudung putih,
Ditambah sedikit pewarna bulu mata,
Bech….

Katanya, tentang wanita yang ia benci, sekarang.

Tapi tak perlu engkau tahu,
Bagaimana ia menusukkan Bisa dibalik
Kesempurnaannya sebagai ciptaan-Nya...

Alamak...
Begitu Rapat TopengNya.

-------------***--------------

Maaf...


Maafkan aku, anakmu
Yang tak pernah malu,
Berlaku congkak dibawah do'amu
Nan tulus tak berbalas,
Maafkan aku, Ibu?

Biarkan aku habiskan
Semua sisa air mata ini
Didepan kaki sucimu, Ibu
Berikan tanganmu penuh ampunan,
Kan ku cium setulus maaf mu
Untuk semua dosa membatu ini
Kepada mu pengampun setelah tuhanku.

Biarkan tangisan ini, Ibu
Sebagai bhakti ku kepadamu
Semua do'a mu tak mampu aku balas,
Tak mampu aku membalasnya hari ini,
Sebatas tangisan ini aku bisa
Ibu, aku malu kepada tetesan itu...

Ibu, entah berapa lipat dosaku padamu
Tak pernah aku merubahnya,
Tak pernah aku mendengarnya,
Tak pernah aku meratapinya,
Tapi engkau ikhlas sebening embun
Merela-hapuskan semuanya
Ibu, aku mengadah kepadamu
Memohonkan ampun semua laku hidup
Hari sebelum dan setelah ini
Aku memohon bersama sisa ikhlas ku, kepada mu

Ibu, jangan kau palingkan rahmatmu
Karnanya aku bahagia mengarungi kehidupan ini
Jangan kau kurangi ampunanmu, dengannya aku beribadah
Tanpa ampunanmu tak berharga semua taubatku

Tuhan,
Engkau Maha Ampun, ampuni sang pemaafku
Engkau Maha Kasih, kasihi sang pengasihku
Engkau Maha Penyayang, sayangi sang penyayangku
Engkaulah Sang Penerima do'a sesungguhnya
Setelah ibuku di dunia...

Dihari raya ini...
Maafkan Semuanya Ibuku...
Aku menangisi diriku dibawah telapak kaki Mu
Ibu...


............Untuk Turasih Binti Tarjani..........

----------------***-------------------

Dihari Nanti...


Dihari Nan Suci,
Kini Dia Tersenyum Menanti Hadirmu Sekali,
Membawa Cinta dan Bunga Tujuh Rupa,
Sesekali Tetesan Air Mata Jatuh Berlilit Do'a,
Puja Puji Melebur Dosa Lama, serta
Pengharapan Kebahagiaan Bersama Didunia Berbeda,

Dihari Nan Indah,
Wasilah Menjadi Lorong Pembuka Menuju Petapa,
Duduk Merunduk Menanti Sang Suci di Hari Nan Fithri,
Datang Beraroma Surga, Berparas Imut Si Mungil,
Menebar Do'a Mustajab Bagi Engkau Yang Terma'fu,
Kaupun Ikut Terpuaskan Disana,
Di Alam Barzah bersama Arwah nan Indah...

Dihari Nan Fithri,
Sebelum Ketupat Dilipat,
Menjemput Rumah Kecil Tak Berpintu,
Merebah Mengarah-Hadapkan Utara,
Membawanya Bergembira, Seperti Mereka
Dihari Nan Gembira, Bersama Do'a
Semoga Engkau Suka dan Ia Terima, Amin.

Dihari Nanti,
Tuhan Pun Tahu, Dimana
Segala Do'a Dipanjatkan,
Bagi Insan Terpisahkan, dan
Oleh Takdir Yang Mematikan,
Dihari Nant,i Dia Berdo'a...


.........Do'a Untuk Kaprawi Ibn Syarif (Bapak)........

-------------***------------

MerinduMu


Datanglah, Setelah Ku Ciumi Ibunda,
Sudah Pasti Setelah Itu Giliran Engkau?!
Tak Usah Telepati, EngKau Ingat Itu
Kewajiban Ku dan Rutinitas Kita

Jangan Kau Tak Nampak Nanti,
Seperti Kemaren Karna Perbedaan Dunia
Karna Ini Special, Tidak Seperti Dunia Kita Bersama

Atau Kami Yang Mengunjungi Engkau?
Aku Tahu Usia Mu Mulai Renta
Sedang Dinding Surga – Dunia
Berlipat Jauhnya, Kasihan Engkau Nantinya

Do’a?! Ya, Do’a Berbunga, Kau Suka Itu?
Tak Lebih Atau Kurang? Mumpung Kami Ada, Nanti
Diapun Janji Hadir Menyalami Mu
Yang Dulu Pernah EngKau Tanya-Kagumkan

Dia Tak Pernah Menduakan Engkau, Pasti
Itu Yang Kau Inginkan, Aku Tahu!



...............Kaprawi Ibn Syarif (Ayah), Kami Merindumu.................

Rohim Habibi, Pengajian Kalimat, Solo

Sabtu, Agustus 29, 2009

Wallahu A'lamu Bishowabi...

Pagi ini sebelum suara sumbang toa mushola menggema memberi kabar tentang waktu imsak, aku dan bayangan kantuk menemani menelusuri jalan kota, disebuah warung kecil aku berhenti sejenak mengisi perut sebagai salah satu pelengkap puasa hari ini, sahur. Seorang wanita baya dengan lelah yang nampak dari raut wajahnya berselimut kerudung lusut, walaupun demikian ia dengan ramah menguguhkan nasi dan teh hangat sesuai pesanan. Aku mulai mengawang jauh dalam pikiran, mungkinkah beliau berpuasa seperti puasa saya atau seperti puasa para saudagar muda? Berapakah bobot timbangan dari puasanya? Sama atau lebih berat nilai pahala di setiap pelaksanaan puasanya nanti? wallahu'alam...

Puasa, menurut polapikir manusia secara universal merupakan ibadah transendental atau sebagai laku komunikatif antara diri dan ilahi seperti halnya solat. Kita seringkali tidak memperhatikan kondisi sosial atau minimal memberi nilai pengabdian kepada sosial dalam laku poso. Dalam laku seperti itu tak pelak poso lebih mudah dilaksanakan, berbeda jika kita diposisikan layaknya ibu penjual makanan diwarung, sebagai petani yang kepanasan atau tukang becak, dsb. mereka melaksanakan poso sebagai laku ibadah sosial, artinya bukan hanya laku transendental melainkan juga horisontal dengan memberikan kemanfaatan kepada khalayak lain. Dalam pikiran ku selayaknya mereka mendapatkan keringanan dalam pelaksanaan atau mendapatkan pahala yang beda dalam setiap satu kalinya. wallahu'alamu.

Malam ini, dengan memperhatikan ibadah seorang ibu aku jadi teringat sosok ayah ku yang dalam pandanganku sering tidak melakukan puasa karena kondisi tekanan yang beda -petani-. aku sering mengatakan islam ayahku kurang lengkap karena seringnya ia tidak puasa, walaupun aku tidak tahu bagaimana super beratnya melawan terik matahari dan kehidupan sawah. Ternyata asumsi itu tidak hanya keluar dari aku, banyak orang-orang mengatakan atau bahkan memojokkan tukang becak, tukang bangunan, dll dengan ketidaktaatan kepada kewajiban. Seakan mereka menyamaratakan laku poso mereka -pekerja kantor- dengan pekerja jalanan -langsung terkena sengatan matahari- yang secara fisik mendapat tekanan berbeda.

Seperti halnya solat, setiap pelaksanaannya ada ruksoh bagi yang tidak mampu sesuai kondisi fisik dan mental pun demikian seharusnya puasa, bagi pekerja kasar ada sedikit keringanan, misalnya puasa setengah hari dengan nilai yang sama. Sehingga orang muslim dapat melaksanakan kewajiban yang satu ini dengan hati yang senang. tapi dalam otak kecil ngatakan bahwa klasifikasi shoimuun menurut al ghozali dengan awam, khos, dan khowasul khos ditentukan karena kondisi tekanannya. wallahu'alam

Rohim Habibi, Pengajian Kalimat, Solo

Belajar dari Ketut

Malam ini sangat indah, bukan karena keheningannya ditambah semilirnya angin malam dan lukisan bintang ciptaa-Nya justru keindahan ini terpancar melalui sikap dan laku manusia ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Dingin malam yang menusuk rongga pori2 tak mampu mengalahkan kekuatan sebuah tawa, marah dan tangis, malam ini. Ya, Malam penuh tawa, penuh amarah akibat ketidaktepatan menempatkan kentut, memang kentut itu anugrah dan sebagai muslim harus mensyukurinya. Namun jika tidak diatur -kondisikan- jadinya selain tawa, musibahpun bisa datang karenanya. hehehe

Entah karena tekanan dari orang dewasa -biasane cah cilik yen sholat neng njero mesti oleh teror ko wong tua, ora oleh gojeklah, ora oleh meta-metulah, ora oleh ngguyulah, dsb- sehingga peristiwa kentut membuat ketawa malam ini. malam ini pun seakan menjadi pelajaran yang penting, bagaimana orang tua memberi pelajaran kepada anak dengan "biyadih" atau lebih tapat "hukuman fisik" untuk memberi rasa jera kepada pelaku kemungkuran, dan menafikkan asas kemaslahatan dari sisi spikologis seorang anak. Mungkin ia menyerap seluruh hadist "man ra'a minkum munkaaroon fal yu ghoyyir biyadih, faillam yastati' fabilisaanih, faillam yastati' fabiqalbih, fadzalika adh'aful iman", maaf kalau kutipan hadits salah, barangkali ia ingin menjadi muslim kaffah sehingga perlu memberi pelajaran kepada siapapun yang tidak menempatkan kebathilan pada tempatnya dan hal ini masih saja terjadi di sini. "semoga tidak untuk kota lain". amin.

Hanya karena tidak sengaja kentut, (karena siapa yang bisa menahan kentut) anak menjadi bulan-bulanan tidak hanya dengan hujatan tetapi lebih dari itu semua menertawakannya. Padahal secara psikologis, anak rawan strees yang berpengaruh terhadap perkembangannya. Memang benar bahwa itu (kentut) salah karena tidak pada tempat dan waktu yang tepat, tetapi tidak seharusnya ia mendapatkan perlakuan seperti itu, mungkin inilah watak orang-orang disekeliling ku atau lebih universal menjadi watak bangsa untuk menertawakan kesalahan orang lain. "Mungkin?", tapi paling tidak menjadi "kaca benggala" bangsa ini.

Kasihan dia "anak kecil yang tak tahan kentut" hanya karena ingin mensyukuri rahmat Tuhan, ternyata justru adzab manusia yang ia dapatkan. Padahal tak semestinya mendapat perlakuan itu sedang ia dalam kondisi yang masih butuh bimbingan. Semoga Esok manusia mau berfikir 100x untuk melakukan sesuatu, dan mempertimbangkan segala hal termasuk sisi psikologis seorang anak, dalam kasus "kentut" malam ini.

Rohim Habibi, Pengajian Kalimat, Solo

Cerita dari Kamar Kecil

Siang hari begitu panas tanpa hembusan angin sedikitpun, daun-daun berjatuhan tak kuasa menahan terik matahari menambah kesan gersang dihalaman rumah. Tampak dikamar kecil disudut belakang rumah dua orang yang begitu akrab terbaring tak berdaya menahan tubuhnya masing-masing. Rohim dengan tubuh langsing seperti stick drum, ia terispirasi grup band the changcuters yang menjadi idolanya. Disebelah kiri, si Andi, begitu menurut KTP, berperawakan tambun layaknya drum dengan keringat yang bercucuran tanpa sehelai pakaian. Ia sibuk mencari kipas untuk mendinginkan tubuhnya. Tak lama sosok dengan tubuh mungil sedikit tambun, "Ach...sueeeger Rek?! mencoba meledek dua temannya yang terkapar tepat didepannya. Habibi, begitu dua sahabatnya memanggil. Jam piro bib? sahut Rohim dengan penuh kebingungan. "Jam 4...Ndang do adus kono...?" habibi membalas sambil melempar handuk kuning ditangannya tepat diantara keduanya. Yo...! satu persatu bergegas dari tempat tidur seakan sudah punya agenda yang telah lama dirancang.

Jam becker mendering dengan keras, Kriiiiiiiing!!! Ayo Him, wis jam limo ki!!! untuk ketiga kalinya andi memanggil si rohim yang memang perfectionis. Yo, Ki loh..." dengan peci ditangan si rohim akhirnya keluar dari kamar. "Nengdi ki?" kata Andi sambil memasukkan baju hitamnya kedalam sarung bermotif kotak-kotak. "Sing Penting Piye Carane Oleh Jaburan!!!"; "Yen Ra Ngono Arep Buko Mbe' Opo? Mbe' Wedus...?!", si Rohim meyakinkan temannya. "Oh...Yo Bener Kowe Brow...?". Andi mengamini ucapan Rohim. " tak berlama bak senator mereka mendiskusikannya. "Moh!!!", dengan tegas Habib merespon hasil diskusi, bak bom jw marriot, ketiganya terbang dari tempat semula. "Gah!!! Moso Aku dewean...?! Ra Sido yen ngono...?! sambil berlalu dengan sendiri membawa rasa marah dalam hati dan mulut kecil yang sebentar-bentar mengeluarkan suara tak jelas.

Suara adzan bergema menemani smilir angin malam dan deru kipas melengkapi sidang makan siang ketiga jagoan malam, seakan melupakan agresi militar sore hari. Dengan ramah Andi mengawali sidang; Wah...alhamdulillah...?", Nikmate bisa berbuka bersa...ma...". "Yo brow, yen awake dewe ko ngene terus bisa naik sepuluh kilo...haha", timpal Rohim sembari menepuk perut langsingnya, Plukk...Pluk,,,,!!!, Makane Ndi...? sahut habib, seraya menjelaskan kepada musyawirin, "Yen bareng-bareng mangkat, olehe yo okeh...?", Jo koyo mau...?! tambahnya. seakan Habib Mulai mengarahkan senapannya kepada Andi. Dengan Nada Kesal, Andi merespon todongan Habib; "Maksudmu...?!". Brakk...!!! tangan Andi jatuh diatas meja. "Lah mau...?! Moso aku kon mangkat dewe, yo ra' sudi...?! Habib membalas dengan menarik pelatuk pistol kosongnya. Enakke dewe...?! dengan nada pelan habib mengakhiri gumamnya. "Wis...To?" Rohim mencoba menyiram emosi keduanya.

Seperti biasa, saling jual-beli amunisi tak terelakkan setiap mereka bersama. Beruntun Habib menjual kata-kata; "Kui...Koe nganyeli Ndi...!!!; "Senenge Mojoke Aku; Dikiro aku rak ngerti po py!!!", Habib berdiri dengan pelan mendekati Andi yang mulai beranjak dengan pose Mike Tyson. "Karep Mu opo Bib..?!!!" Andi membeli ucapan Habib. Tiba-tiba..."Meneng!!!" Rohim dengan cekatan berdiri diantara keduanya, layaknya wasit. "Wis tua ra' do nuani, utekmu nggonen!!!" sambil mengangkat tangan dan jari telunjuk tepat atas pelipis, seakan memberi peraga kepada kedua temannya itu. "Jane Koe ki ana apa toh...?", Gaweane paduuuu....ae, ra koyo ndek mben?" kata Rohim dengan ekspesif seakan mengingatkan kepada keduanya tentang masa lalu.

Allaaahu Akbar....Allaaahu Akbar, Suara adzan pun menyambut mereka dengan merdu. mereka yang semula seperti korban kebaran, seketika berubah masam walaupun rasa kesal masih terpampang dari keduanya. "Adzan kae loh?" Rohim menegur keduanya dengan sedikit nada tekan. "Yo do solat...wis ra sah rame neh...!" Rohim mengakhiri Genjatan Senjata. Akhirnya merekapun berlalu mencari perlengkapan sholat sendiri-sendiri. Malam begitu dingin hari ini seakan menjadi saksi berakhirnya Agresi malam ini. Seperti biasa mereka keluar dari kamar rumah yang kecil dengan ekspresi yang berbeda, membuat semua orang terkagum dengan persahabatan yang nan indah. Walaupun dalam dapur mereka sering memiliki perbedaan, akan tetapi tidak untuk dipublikasikan, begitu kira-kira janji yang pernah tersemat dalam jiwa mereka bersama. ....bersambung).


Rohim Habibi, Pengajian Kalimat, Solo

Babak 6; Sholat Ku, dan Mereka

Anak kecil adalah sumber inspirasi bagi manusia dewasa, dalam pengamatanku memang benar. anak kecil merupakan sumber dari segala sumber perilaku orang dewasa, terutama orang tua. Tertawa, Marah atau Sedih sering jadikan respon orang dewasa terhadap stimulasi yaitu anak kecil. laku "lugu" anak-anak memang menggelikan, memusingkan atau "nganyeli", tapi sebagian responden akan memlilih lucu sebagai laku responsif. Terutama aku, Hehe..

Hari ini begitu mengocak hati ku, hehehehe. Aku tertawa -tp tak bersuara- melihat dua kelompok manusia yang berbeda kualitas otaknya, hehehe. Akan tetapi perbedaan itu tak nampak setelah melihat laku keagamaan hari ini. Ya, orang dewasa bisa meniru laku "lugu" seorang anak, yang membuat hati ku tak ingin berhenti tertawa...hehehe, Kok Bisa?! aku mengendapkan pertanyaan sebagai kegaguman. "Lucu...banget?! sesekali aku bergeming.

Padahal Sepele, tapi bikin terpingkal-pingkal...". Berawal dari sholat tarawih cerita ini; Biasa, namanya anak kecil jika berkumpul -siapapun bisa membayangkan bagaimana keramaian itu sebagai akibat komunitas anak- saling pukul, saling cubit, cerita film favorit, dll semua dilakukan sebagai ekspresi kebahagian buah dari kebersamaan atau Silaturrahmi. Pun tidak menghiraukan bahwa momentumnya tidak tepat, ya, waktu itu sholat tarawih. Waktu ruku', misalnya, ada yang dorong dari belakang hingga terjatuh, dan "Hahahaha..." sebagai ekspresi kebahagiaan. Padahal para mubaligh sudah berkali-kali mengingatkan untuk sholat khusuq atau sholat dengan tenang, jangan bermain atau sampai buat orang lain marah, eman-eman...?!, kata mubaligh. Tapi namanya anak-anak, sebelum ia benar-benar mendapatkan hukuman yang nyata maka tidak mungkin ia mau merubah perilaku itu.

Tak pelak, orang-orang dewasa yang mulai terganggu dengan keramaian itu berusaha menghentikan keramaian tersebut, ia merasa sholatnya tidak husuq -ikut rame- karena cubit-cubitan, cerita film yang dilakukan oleh anak kecil. Ya, berarti orang dewasa juga ikut rame -dalam hati- sehingga dia tidak khusuq, tanyaku dalam hati.. Anak-anak menjadi bulan-bulanan laku ingin khusuq dari orang dewasa, seakan menjadi Tuhan sebagai pemberi pahala dan penerima ibadah dengan menerima yang diam dan menghukum yang rame atau pahala ibadah bagi yang diam dan haram bagi yang rame... Tp dalam hati berkata; Wajar aja, karena yang diberi pelajaran anak kecil?! Emang benar, aku melihat segerombolan orang dewasa yang berlaku sama dengan anak kecil, tapi kebal hukum.

Dengan tenang dan tanpa rasa takut, seperti halnya anak-anak kecil, orang-orang dewasa bergurau bahkan sesekali tidak sholat sekedar ingin teng-teng crit (tengak-tengok crita), padahal dia berada dishof kedua sebelum shof terakhir. Bahkan lebih lucunya, mereka ikut menghukum anak-anak yang membuat keramaian. Awas!! Sing Rame Tak Gebuk!! ungkapan yang keluar, seakan menjadi malaikat munkar - nakir yang menakutkan. Hahahaha..., Aku tertawa -dalam hati- bukan karena anak-anak mendapatkan hukuman, pun mereka yang kebal hukum, melainkan orang dewasa juga bisa anak-anak, butuh tertawa tanpa melihat kondisi dan situasi, hahahaha....

Lebih menggelikan, aku kira sedulur pasti juga tertawa, melihat cara sholat orang-orang dewasa yang belajar dari anak-anak, saling dorong, saling tendang, saling ngrumpi dan itu masih saja terjadi di masyarakat, hahahaha.... Bagiku itu keindahan hidup asalkan tidak mencoba menjadi Tuhan dengan mengklasifikasikan diterima dan tidak laku keagamaan kita atau menghakimi anak-anak yang berlaku demikian, seperti yang aku lihat di dunia ku ini...

Rohim Habibi, Pengajian Kalimat, Solo

Babak 5; Dua Hari Berlalu

Dua hari telah berlalu, rasa bangga mulai mengembang dalam hati ku, keinginan untuk segera mengakhiri kewajiban satu tahun sekali ini menjadi tujuan yang slalu menghiasi laku puasa esok dan selanjutnya. maklum untuk menahan lapar dan dahaga bagiku dan sebagian orang adalah kebiasaan, tapi untuk puasa rohaniyah bagiku masih dipertanyakan. Karena slama dua hari jiwa-ragaku masih diselimuti keinginan-keinginan untuk membagi keadaanku, dengan ungkapan-ungkapan yang menyedihkan dengan hasrat teman-teman yang lain mengerti puasaku adalah puasa sesungguhnya.

"Selamat menunaikan puasa, semoga amal kita diterima Allah", kalimat yang sering aku kirim kepada teman-teman nun jauh di seberang. Seakan aku ingin dimengerti bahwa hari ini aku menjadi orang yang beriman karena kewajiban puasa menurut al baqarah 183 merupakan kewajiban orang-orang yang beriman. aku menjadi sangat bangga jika ada balasan atau komentar yang keluar dari beranda ku untuk mengamini keinginan ku, "Sama-sama...?" ungkapan yang telah ku siapkan sebagai balasannya.

Ungkapan-ungkapan motivatif aku siapkan setelah hari seakan menjadi benalu dalam pelaksanaan puasa. "Ayo tetap semangat, walaupun panas banget...!"; "Aku lemes tapi tetap semangat?!"; Pingin tidur biar gak terasa panas.", merupakan sebagian pesan yang aku sebarkan kepada teman-teman, Aku ingin agar mereka juga merasakan dan memberi semangat terhadap kondisi fisik ku saat ini. "Tetap semangat, brow!; Gitu ja dah lemes, ayo Lanjutkan!; tanggapan yang ku simpan sebagai media penyemangat puasa ku hari ini. Ungkapan-ungkapan lain seperti; Hari ini begitu melelahkan, padahal baru pertama puasa, Tuhan Tolong?, aku tulis dengan tanda baca memelas agar tuhan memberi keringanan kepada ku hari ini, karena memang begitu panas dan menyiksa. Padahal aku tidak merasakan begitu panasnya derita teman-teman yang setiap hari makan sekali dengan kondisi alam yang sama. Tuhan Angkat derajat mereka kaum miskin bukan karena takdir Mu melainkan Takdir manusia.

Setelah tak terasa -karna tidur- akhirnya rasa semangat mulai mengembang kembali, seakan kemenangan puasa ada didepan, tinggal digenggaman tangan ku, akupun mulai merajut puisi kemenangan; "Kemenangan puasa bukan karena kita merasa lolos lapar dan dahaga, melainkan kita mampu menahan ego dan nafsu dalam sanubari", "Mentari mulai mengering menjadi saksi datangnya bulan bersama menghilangnya mega merah di langit tertinggi", "Sambut kemenangan ku wahai malaikat kecil ku, Terima kasih Ya Allah Yang Maha Bijaksana". sebelum sambutan penutup puasa layaknya muballigh; "Al Hamdulillah, aku menjadi saksi Keagungan Mu, semoga ibadah ku hari ini Engkau terima layaknya ibadah para sufi, Amin", Selamat berbuka puasa, teman-teman. balasanpun berdatangan layaknya tamu dibulan syawal, senangnya hatiku hari ini.

Tidak berbeda dengan hari ini, selanjutnya sebagai salam pembuka; Sahur-sahur........Selamat Menikmati sahur..., sampai akhirnya Sholat Subuh ah...?! menjadi ibadah yang layak ku beritahukan kepada teman-teman yang tak nampak. begitupun balasannya, mereka seakan mengikuti perkataanku, Ayo berjama'ah agar dapat 27 kali lipat." Ajakan yang menggiurkan, walaupun semua muslimin dimanapun pasti tahu. hampir tidak ada perbedaan sama sekali antara puasa hari pertama dan kedua, karena memang memberi kabar kepada teman itu sebuah keharusan bagiku sebagai sarana pengerat silaturahmi. Padahal motif egosentris menjadi dominasi dari niatnya. Semoga kalian tidak.

Inilah puasa hari pertama dan kedua ku, begitu indah dan mudah bukan! Tapi aku tak tahu diperingkat berapa puasaku menurut Al Ghozali? Semoga kalian lebih menikmati puasa ramadhan seperti puasanya Kaum Khos atau bahkan khowasul khos, yang tidak puasa hanya menahan keinginan konsumtif, tapi lebih dari itu, Amin.

Rohim Habibi, Pengajian Kalimat, Solo

Babak 4; Malam Si Budek!

Malam pertama dibulan puasa bagiku malam penuh keberkahan, bukan hanya dengan hadirnya malaikat-malaikat kecil melainkan kedatangan tamu-tamu agung. ya, mereka yang biasanya duduk, ngrumpi atau meneguk anggur di saat bulan lain, kini benar-benar merasakan keberkahan di bulan ini. ramadhan adalah bulan keberkahan, ucapku. keberkahan itu nampak di waktu sholat tarawih, begitu masjid tanpa sempit karena jama'ah semakin banyak. al hamdulillah.

Setelah tarawih, seperti biasa tausiyah dari orang ahli agama. Aku mendengar dan kagum menikmati tausiyah itu; "...la'allakum tattaquun.", agar kalian bertaqwa, meniru kalimat terakhir yang diucapkan khotib malam pertama tarawih. Begitu indah, motivatif bahwa provokatif; Dia seorang konselor sungguhan, mampu membius aku dan jama'ah tarawih...? kataku dalam hati. jama'ah memang begitu hanyut terpancar dari bagaimana mereka diam dan memberikan ekspresi kepahaman atas materi malam ini. Mereka seakan termotivasi menjadi bagian dari orang-orang yang bertaqwa yang tersirat dalam surat al Baqarah ayat 183, yang menjadi dasar diwajibkannya puasa ini. Malam ini benar-benar malam yang penuh motivasi, malam penuh obsesi, mencoba memaknai kekagumanku.

Dilain ayat...qhufira lahu maa taqaddama min dzanbihi...., Allah mengampuni dosa yang kalian..., kata muballigh dengan perawakan yang kecil dan lidah yang elastis. Ia mengatakan syarat mendapatkan pengampunan itu adalah; ...imaanan wahtisaaban...ia mengulang2 kata-kata ini dengan lantang dan jelas, dengan keimanan dan mengharap ridho allah ta'ala. Seakan ia ingin menunjukkan realitas yang kontradiktif, dengan jelas ia mengatakan saat ini puasa hanya dibibir saja belum benar-benar direalisasikan secara komperhensif atau minimal dengan mengharap ridho ilahi robbi. Ia mencoba memberi gambaran yang lebih jelas lewat permisalan-permisalan; "Sakniki kathah tiang shiyam nanging mboten langkung anging lisan kemawon, ateges ikhlase puoso takseh salah kaprah...! aku meniru ucapan muballigh yang sarat dengan pengalaman ini. "Jenenge ikhlas puniko sejatine enten njero ati, ibu-ibu bapak-bapak, ampun disanjangke kaleh tanggo-tanggone? niku namine ikhlase neng lambe...? dadi, yen pingin oleh "qhufira lahu maa taqaddama min dzanbihi" kudune yo ikhlas, nggeh...? mencoba meyakinkan umat. "Nggeh..." serentak jama'ah menjawab dengan lantang. Lah yen mpon ikhlas, bakale "la'allakum tattaqun, Yen wong taqwa iku bakale mlebu suwar...ga...? amin allahumma amin. Berarti kalau tidak bertakwa tidak masuk surga, walaupun ia islam...? hati memulai mengkritisi.

Diakhir pembicaraan, mubaligh mengajak kepada jama'ah untuk senantiasa bersyukur dan meningkatkan ibadah, lebih-lebih dibulan ini bulan penuh keberkahan, katanya. Karena di bulan ini semua amal ibadah dinilai dua kali bahkan lebih banyak, dengan nada penuh keinginan, seakan mubaligh paham betul kebiasaan jama'ah selain bulan ramadhan, atau kebiasaan menunaikan ibadah di awal bulan ramadhan. Monggo ingkang dereng sholat...? diajak sholat, ingkang biasane mboten puasa yo puasa...! soale bulan iki setahun cuma sekali, dadi eman-eman, nggeh napa mboten? Nggeh...! dengan serempak jama'ah menjawab. Mereka seakan benar-benar paham dan menginginkan serta membayangkan betapa indahnya hidup di surga yang penuh kenikmatan, karna pahala dari puasa. Mereka seakan rela mengganti kebiasaan ngobrol bersama tetangga tentang tetangga. Aku bangga melihat malam ini dan tentunya ceramah mubaligh yang penuh keindahan, dan provokatif. hehehe

Menungso, menus-menus ora kelingan dosa, ibarat yang sering aku ucapkan untuk menafsirkan manusia. manusia sering lupa dan tidak tahu bahwa apa yang dilakukan adalah dosa. Eh, si A biasane ngenong, maen saiki solat...! wah tobat...! tobat! tiga orang bergerombol mencoba menafsirkan ibadah seorang muslim. Eh tebak ? sesok puasa kaya awake dewe gak? Mereka mulai asik membicarakan ibadah si A yang dalam kehidupan nyata tidak seperti mereka ahli ibadah. Dengan rasa kesal si A membalasnya dalam hati; Ko ngono ikhlas...?! Ikhlas udel mu kuwi...! Oh dasar budek!!! Mlebu kuping tengen metu kuping kiwe...?! Dengan hati kesal ia pun pulang tak mau memusingkan perlakuan ahli ibadah itu. Tuhan ampuni mereka ahli ibadah,

Bulan puasa yang dikatakan sebagai bulan dimana semua syetan dibelenggu, ternyata masih dimaknai oleh sebagian muslimin dengan leterlek -dhohiriyah- sebagai makhluk yang menakutkan. Padahal menurut ku syetan diartikan sebagai perintah mengekang hawa nafsu, keinginan menggunjing, menyudutkan orang lain, sombong, pun dengan surga dibuka diartikan sebagai memperkokoh ibadah, menghormati, membangun sikap dermawan, dll. sehingga jika kita mampu melakukan itu, la'allakum tattaquun, sudah pasti menjadi hak kita. tidak membedakan ahli ibadah atau mantan preman. Bukan Begitu?

Rohim Habibi, Pengajian Kalimat, Solo

Rabu, Agustus 19, 2009

Babak 3; Indahnya Ramadhan

Setiap manusia memiliki perasaan bangga jika didalam hidupnya bisa bertemu dengan sosok yang sangat diidamkan, pun demikian dengan Ramadhan. bagi seorang muslim bulan suci seperti tamu agung yang selalu dinanti, bulan suci ramadhan merupakan Bulan Ampunan, Bulan Penuh Rahmah, bulan dimana pintu Surga dibuka dan pintu Neraka ditutup dan terkunci, demikian menurut ulama dalam setiap khutbah keagamaan. Akupun mengamini ungkapan itu, karna memang dalam pendidikan agama ku, bulan itu menjadi dambaan bagi semuanya, bahkan tidak jarang teman-teman sering bergumam dengan kerelaannya jika ajal menjemput asalkan dibulan ini, walaupun dalam hatiku sering bertanya tentang kebenaran itu.

Setiap bulan Ramadhan hari-hariku dihabiskan bersama teman-teman di kampungku, selain karena rasa kangen yang begitu mengakar, keinginan untuk mengikuti pendidikan kilat "pasaran" di pesantren menjadi alasan lain selain karena keinginan untuk melihat malaikat-malaikat berkerudung. Walaupun dalam kitab ta'lim muta'alim motivasi atau niat seperti itu justru menghalangi jalan ilmu dan amal kedalam otak kita...? hatiku mencoba menjelaskan, tapi aku tak perduli, yang penting bisa ketemu! egoku mencoba menutupi rasa malu dalam hati.

Bulan ramadhan bagi ku dan teman-teman ku adalah bulan yang membuat hati senang, buat hidup lebih hidup, pun aku kira kaum muslimin yang lain. Bukan hanya karena pelipatgandaan pahala atas amal ibadah yang kita lakukan, Ya! menurut teks agama perbuatan amal baik dibulan Ramadhan maka pahalanya dilipat gandakan, apalagi jika kita mampu mendapatkan malam al Qadr, Khairun Min Alfi Syahrin, begitu petikan dalam kitab suci Alqur'an. Selain argumentasi syar'iyah, aku dan teman-teman mempunyai alasan yang bagiku terkesan unik dan nyeleneh, karena di bulan Ramadhan ada "pasaran", dan kita bisa lihat santri-santri putri yang selain bulan ramadhan sulit ditemui, atau jika ingin melihat harus dengan berbohong. selain itu dari segi materi, di bulan Ramadhan kita akan mendapatkan materi khusus dewasa -Kitabun Nikah, 'Uqudul Jain, atau Quratul 'Uyun- yang menjadi faforit para santri. Besok kita pilih kitab Quratul Uyun kang? usulku kepada santri yang lebih tua.

Pasaran merupakan belajar kitab yang dilakukan dengan metode kilat biasanya dilakukan dimalam hari setelah ba'da tarawih. Kitabun Nikah, 'Uqudul Jain, atau Quratul 'Uyun menjadi kitab-kitab yang sering diminta untuk dikaji, karena selain membahas masalah rumah tangga juga hal-hal yang berkaitan dengan hubungan sex, itu kira-kira penjelasan yang dipaparkan oleh santri yang lebih tua. Pasaran merupakan strategi pendidikan yang menarik dan sering tak mampu dijangkau oleh peneliti pendidikan di Indonesia, selain dari segi materi, metode penyampaian pembelajarannya pun berbeda dan lebih familiar yang merupakan khas pesantren tradisional.

Selain itu, santri putri menjadi alasan mayoritas kenapa pasaran selalu rame. Sesok malaikatku ikut ga ya...? Besok dia pake kerudung apa ya...? pertanyaan yang sering memotivasi ku untuk tidak terlambat dalam setiap seasonnya. Semoga dia datang dengan wajah yang pernah aku bayangkan dalam lamunan, ingin ku sekali lagi. Rasa lelah yang kita rasakan dari siang, seketika hilang jika malam mulai menjemput, dan perasaan menginginkan malam yang lebih panjang selalu terletup dari otak ku.
Keinginan-keinginan ku ini menjadi interpretasi dari makna bulan Romadhan sebagai bulan yang penuh kebahagiaan. Memang melenceng jauh dari makna sesungguhnya dari syahrul baraqah seperti yang kita baca di buku-buku terjemahan atau berbeda dengan yang pernah kita dengar dari ustadz-ustadzah.

Bulan Ramadhan memang bulan yang sangat mulia, bulan yang menumbuhkan rasa bangga bagi umat Islam walaupun dengan cara pandang yang berbeda, tetapi perasaan itu muncul sebagai penghormatan kepada bulan penuh ampunan. Ayo cepat bulan puasa, datanglah! Aku rindu kepada mu? Tak sabar ingin segera bertemu dengan malaikat kecil ku? ungkapan polos dalam jiwa.

20-08-2009
Rohim Habibi, Pengajian Kalimat, Solo

Memaknai Padusan

Setelah hampir tahun keempat dari enam tahun keberadaan ku di pengasingan -solo-, aku mulai menikmati kehidupan disini, akulturasasi berbagai aspek kehidupan yang seharusnya sulit disatukan mengalir begitu saja terutama dalam dialektika -jawa alus dan jawa kasar-, maklum aku dari pemalang yang secara dialek berbeda dengan solo, kini mulai tak terlihat, aku mulai menyatu dalam budaya masyarakat yang sekarang aku tempati. Maaf, kadang aku tertawa dalam hati ketika kembali ke kampung halaman -mendengar dialektika asli- yang bagiku mulai terdengar asing. Padahal aku dan siapapun tidak ingin ini terjadi, menertawakan bahasa asli, tradisi tanah leluhur, sebab menghormati berbagai kebudayaan dan bahasa, merupakan media pemersatu bangsa indonesia yang multikultural. "Al 'Adatu Muhkamatun", demikian menurut ushul fiqh yang menjadi hujjah kenapa kita harus melestarikan kebudayaan dan tradisi, walaupun masih disortir kedalam tradisi yang baik.

Diawal kehidupan ku di kota lain, mungkin siapapun merasakan, perasaan asing atau keterasingan menjadi wabah yang tak terhindarkan atau dengan bahasa kekaguman, kekaguman itu yang menjadikan aku harus belajar banyak tentang kebudayaan dan tradisi yang ada, minimal aku harus merubah kebiasaanku makan makanan pedas dengan masakan manis khas solo. Selain itu, ada satu tradisi yang membuatku merenung, walaupun sebetulnya secara substasial sama dengan yang ada di Pemalang -keramas-, yaitu kebiasaan melakukan pembersihan diri sebelum memasuki bulan yang suci, Syahrulmaghfirah, "padusan".

Padusan yaitu tradisi membersihkan diri dari segala kotoran -baik lahiriyah maupun batiniyah- untuk menyambut bulan suci yang sering dilakukan dengan mandi bersama. Setiap sebelum puasa, minimal satu minggu sebelum pelaksaan, masyarakat berbondong-bondong untuk membersihkan diri di pemandian-pemandian, atau di sungai besar. Kita mau memasuki bulan suci maka seyogyanya kitapun harus suci, begitu penjelasan yang pernah aku dengar. Kadang secara kasat mata -jasadiyah- badan kita terlihat bersih tidak nampak kotoran yang menempel, akan tetapi kita tidak tahu bahwa sebetulnya badan kita masih kotor dari hadast besar, karena ketika membersihkan kotoran dari hadats besar tidak sepenuhnya, atau masih ada sisa, maka disini fungsi padusan sangat tepat. hampir Setiap masyarakat di solo tahu makna dan substansi dari padusan, sehingga padusan dianggap sangat penting bagi masyarakat.

Akan tetapi sejalan dengan modernitas, sebetulnya tidak ada kaitannya, masyarakat mulai meninggalkan makna sesungguhnya laku kultural ini, masyarakat mengetahui dan melakukan padusan sebatas hasil tradisi tanpa menelaah subtansinya, sehingga tidak jarang padusan dilakukan dengan rekreasi kepemandian, atau lebih ironis, sebagai kebebasan untuk bermain dialam bebas yang sering dilakukan oleh kaum pemuda. Dengan alasan padusan anak-anak mendapat kemudahan -kebebasan- dari orang tua, bahkan kebebasan tidak masuk sekolah pun bisa diperoleh sekedar untuk padusan yang mereka tidak tahu makna dan substasinya.

Padahal padusan menjadi bukti kelunakan agama dalam mengajarkan nilai-nilai agama kepada umatnya, padusan merupakan tradisi yang substansial, artinya tradisi yang perlu dilestarikan karna memiliki nilai yang tinggi secara syar'iyah, sebagai pembersihan diri. Bahwa membersihkan diri dari segala kotoran menjadi kewajiban umat manusia, terutama Islam. lebih-lebih padusan dilakukan sebagai penyambutan datangnya bulan yang suci, bulan penuh rahmat ini. Selanjutnya, masyarakat harus dewasa dalam melakukan dan menempatkan tradisi padusan atau apapun untuk menyambut Ramadhan sesuai makna dan substansi yang sesungguhnya.

Sebagai manusia aku harus bangga terhadap masyarakat ini, terutama strategi pendidikan dengan pendekatan tradisi untuk menanamkan nilai-nilai agama seperti padusan, misalnya. Nilai-nilai agama -kesucian- bisa diajarkan tanpa menghilangkan tradisi yang ada. Begitu seharusnya bangsa ini memandang keberagaman bangsa, multikulturalisme, bukan menyalahkan atau sampai mengkafirkan umat lain selain kita, naudzubillahi min dzalika. Bukan Begitu?

19-08-2009
Rohim Habibi, Pengajian Kalimat, Solo

Babak 2; Pelajaran Hidup

Kita tidak pernah menghendaki kehidupan penuh amarah, pun mereka, tidak mau hidup dalam kesedihan, tapi free will menjadikan kita harus menerima atau marah.
Seperti ketika saya harus menerima –pasrah- terlahir dalam lingkungan yang serba kekurangan, atau terlahir dengan kesedihan. Tak pelak perasaan marah kadang muncul secara spontanitas, walaupun dalam kadar yang paling sedikit –mengeluh- dengan realitas kehidupan ini. Pertanyaan-pertanyaan, kenapa aku terlahir seperti ini? Andaikan tuhan mau kompromi, maka aku ingin kehidupan yang lebih indah dibandingkan saat ini. Atau aku ingin hidup layaknya anak konglomerat serba kecukupan, dan akan selalu menafkahkan harta yang aku miliki, ingin ku dengan nada skeptis.

Sikap itulah yang membuatku semakin terpuruk, hidup tanpa optimis dan terpasung dalam pesimistis yang dalam, seakan hidup tanpa arti tanpa gairah seperti orang lain, hidup penuh tawa, mereka dengan mudah mendapatkan apapun yang ia inginkan dengan karunia Tuhan ku yang lebih. Sedangkan aku, hidup dengan ketidakpastian, hidup penuh amarah, bahkan orang lain memandangkan diriku sebagai orang paling hina. Kadang mereka tak menganggap keberadaanku sebagai makhluk Tuhan yang mulia. Kenapa? Pertanyaan yang menggelitik dalam diri ku. Innalillah. Ya, semua yang ada di dunia adalah milik-Nya dan sepatutnya akan kembali kepada yang Haq “The One” La Syarikalahu.

Malam ini, aku hadir dalam kesunyiaan membawa emosi yang menggunung, terbang melayang melewati keremangan bulan diatas kepala ku. Malam ini, aku tidak seperti biasa menjaga malam dalam kebosanan, aku tak mampu menahan ketertarikanku kepada indahnya malam, aku tertidur. Aku bingung, memasuki kehidupan lain penuh tragedi, penuh ketidaknyataan, mungkin karna aku tidur membawa perasaan dendam, seakan Tuhan dengan kekuasaan-Nya ingin menjawab semua skeptis dalam raga ku. Malam ini aku seakan tersadarkan betapa Tuhan Maha Agung, betapa dalam penciptaan-Nya ia Maha Adil. Aku bingung, Kenapa begini? Dalam kebingungan aku merenung.

Aku melihat malaikatku, pesonanya mengalahkan semua malaikat-Nya, cantiknya mengalahkan bidadari sekalipun, aku ingin segera mendekapnya, dalam emosional aku bergerak. Tapi apa yang aku dapat, aku terperangah, seperti film kartun, dia nyata tapi tak tersentuh, usahaku untuk menjemputnya dalam pelukan tak ubahnya “si boncel merindukan bulan”, sia-sia. Tuhan apa ini? Tanyaku kepada Penguasa Kehidupan maya. Aku tak mampu mengurai jawaban semua pertanyaan-pertanyaanku malam ini. Aku tak percaya pada diriku sendiri, aku tak berdaya melukis perasaan ku saat ini, “Aku lemah, tak berdaya”, sesalku dalam jiwa yang penasaran.

Belum lagi aku mengurai jawaban itu, aku terkagum melihat pesona diriku yang lain, aku seperti raja, segala keindahan dunia aku miliki, “ Ini seharusnya aku?” Celoteh ku dengan perasaan sombong. Aku tak perlu lagi mengais rezki Mu dengan keringat sebesar jagung, atau tak perlu mewarnai kulit ku dengan warna hitam karna terik matahari. Ini seharusnya aku, tak perlu hidup dibawah cemoohan mereka, tak perlu mencuci kaki sebelum masuk tempat ibadah karena aku hidup dengan barang yang berharga, bangganya aku atas semua yang terjadi saat ini. Tapi sesaat kemudian, aku melihat makhluk nista mendatangiku dengan suara seperti radio rusak –tak jelas dan pelan-, ia meminta belas kasihan kepada ku, aku yang di dunia nyata hidup dengan rasa sosial yang tinggi, berubah seperti mama tiri di senetron-sinetron indonesia, kejam tak berperi sosial, memaki tanpa dosa seakan sudah kebiasaan, padahal dalam hati aku menangis ingin segera memberikan semua yang aku miliki untuk mereka dan kaum mereka. Aku kaget, terkaget-kaget, aku berontak, Aku tak mau kehidupan ini! Dalam marah aku teriak. Tuhan, Kembalikan aku apa adanya, Aku Minta maaf, Engkau Maha adil, sesalku spontanitas.

Aku terbangun dari mimpi, dengan kondisi seperti olahragawan, keringat bercucuran, ketakutan, seakan mendapati musuh yang bukan tandingan. Aku diam dan mencoba menyimpul semua kejadian, malam ini. Kehidupan seperti roda, berputar, dalam menjalani kehidupan manusia saling ”Sawang Si Nawang” saling melihat tanpa merasakan, dan manusia tidak sadar bahwa segala yang terjadi adalah miliknya, itu kira-kira kesimpulan ku dalam kondisi yang setengah sadar. ”Terima kasih Tuhan” ucapku diakhir pencarian ku, malam ini.

19-08-2009
Rohim Habibi, Pengajian Kalimat, Solo

Selasa, Agustus 18, 2009

Babak 1; Skeptis

Hidup adalah perjuangan dan perjuangan butuh persiapan, pikir ku mencoba menapaki kehidupan yang baru. Seperti seorang psikiater sedang memberi motivasi kepada kliennya. Bahwa kehidupan seperti roda yang berputar penuh probalilitas, kita sebagai makhluk paling sempurna -teks agama- memiliki potensi jasadiyah dan rohaniah untuk mengarungi kehidupan ini. Seperti halnya teori spiral -freire-, refeksi menjadi langkah tepat untuk membuat rencana dan melaksanakannya sebagai act, itulah kira-kira yang aku lakukan saat ini, mencoba flashback mempersiapkan dan mengasah pusaka lengkap dengan tameng untuk menuju kehidupan yang penuh perjuangan. Semoga Tuhan Memberkati; kata mutiara yang terletup dari hati diakhir renungan ku.

Hari-hari ku menjadi berubah karena rasa marah yang terlalu dalam, sejak tragedi memilukan -bunuh diri- karena cinta bertepuk sebelah tangan, Laku kehidupanku menjadi berubah 99 % lebih anarkis serta sangat spektis, tidak hanya kepada makhluk -sejenis dan lain jenis- kepada Tuhan pun rasa skeptis kadang muncul menjelma jadi ruh dari jiwa yang gamang. Ya, rasa takut untuk mempercayai orang lain menjadi potensi negatif dalam diri ini. Terlebih ketika do'a kita tidak dikabulkan walaupun sebetulnya setiap do'a hamba pasti dikabulkan, begitu kira-kira arti teks "ud'uni astajib lakum" dalam kitab suci orang-orang muslim.

Kenapa engkau begitu kejam membiarkan aku tersakiti dalam kehidupan yang katanya begitu indah? pertanyaan dalam hati. Padahal pertanyaan spektis ini tidak pernah muncul dalam benak sebelum ini, karena dalam doktrin agama ku, mempertanyakan Kudrat Iradat Ilahi menjadi hal yang tabu bahkan tidak diperbolehkan sekalipun oleh anak Mumayyis. Akan tetapi bagiku itu sah, mungkin sebagian diantara manusia yang lain, yang terpojokkan oleh takdir. Takdir seperti halnya jodoh, pati, dan rejeki merupakan Kuasa Ilahi, penuh misteri, begitu pesan agama yang pernah aku pelajari di usia anak, aku sebagai hamba tidak akan mampu membuka tabir ilahi itu. Akan tetapi hari ini aku menjadi lebih rasionalis, aku mulai menyoal kembali keberadaan ku sebagai Kholifah Fil 'Ard yang lengkap dengan potensi lahiriah, artinya sebagai penguasa alam kita diberi kekuasaan (aktif) untuk menentukan masa depan bukan sekeder menerima (pasif) atau dalam bahasa lain manusia memiliki Free Act dan Free Will dalam hidup dan kehidupannya.

Sikap skeptis mulai nampak, tercermin dari keengganan meminta tolong kepada Tuhan -secara lisan-, walaupun dalam hati rasa takut masih mendominasi jiwa ku. Bahkan tidak jarang sifat takabur muncul seperti sudah terencana dengan baik, Aku bisa mendapatkan malaikat sesuai dengan keinginanku! ungkapan yang sering muncul melalui saraf otakku, aku seakan melupakan eksistensi "the one" Yang Maha Kuasa dan Maha Mengetahui, yang mampu merubah sesuatu dengan mudah; "Kun Fa Yakun". Tapi kadang akupun berfikir -mungkin juga manusia yang lain-, sikap ku manusiawi, artinya perasaan-perasaan itu secara tidak langsung merupakan pengakuan atas kelemahan kita sebagai mahluk yang lemah dan tuhan sebagai penguasa segala kehidupan. Marah menjadi sifat dasar manusia, akan tetapi pengejawantahan dari sifat itu setiap manusia berbeda. tidak jarang manusia melakukan do'a terus menerus sebagai representasi sifat kesal kepada Keadilan Tuhan, begitupun dengan aku, yang diaktualisasikan lewat laku tidak berdo'a. Allahummaghfirlii, Ya Rohiim.

Tidak terasa, amal keliru ini dilakukan hampir satu tahun di tempat pengasingan, tempat yang jauh dari malaikat perempuan -ibu-, yang selalu mengawasi dan memberi hukuman sebelum Tuhan benar-benar menghukum. Ya, selama di pengasingan aku hidup tanpa kontrol agama, laku keberagamaan ku kacau walau tidak sampai nol besar, karena masih mampu membaca kitab suci untuk malaikat lelaki -ayah- yang tenang di surga, minimal setiap malam jum'at. Akan tetapi dari kelemahan amaliyah yang bersifat personal -sholeh personal-, aku tidak lupa melakukan amal sosial walaupun dalam batas minimalis. Bagiku, perjuangan dalam hidup adalah memaknai kehidupan sebagai tidak hanya kesalehan personal, jauh dari itu, kesalehan sosial menjadi jalan lurus yang berkelok. Hal yang sering ditafsiri lain oleh pelaku agama, dan kehidupan. Sehingga kita sebagai Khalifah Fil 'Ard tidak melihatnya secara materi-ansih, tapi menciptakan harmonisasi sosial menjadi tugas sesungguhnya.

19-08-2009
Rohim Habibi, Pengajian Kalimat, Solo

Babak Baru

selanjutnya...

Layaknya manusia biasa yang mudah mencari pelampiasan terhadap masalah dan seringkali pilihan itu jatuh kepada sesuatu yang bersifat uforia. Musik misalnya, menjadi respon positif terhadap kondisi alam yang membisu dan tak menentu, begitupun dengan aku sebagai manusia yang mulai dihinggapi rasa sesal atau lebih tetap rasa gamang dalam jiwa, menanti putri salju yang tertidur terlalu lama dalam sasananya.

Hari-hari ku mulai berganti haluan, kehidupan ku tak lagi sekeras punk rock jalanan, tak seromantis pangeran dari kelantan, pun tak seidealis mereka yang berjaket hitam dan beralmamater kebesaran. Dilematis, kata teman dalam guyonan atau lebih menusuk dengan kata "Kritis" seperti pasien rumah sakit syetan -tempat bagi pasien kritis-, tapi aku tak pernah menghiraukan itu semua, aku menganggap hanya ocehan beo yang ingin menghibur tuan dengan siulan menawan, hahaha, jawabku dengan paksaan. Selamat jalan malaikat ku, semoga kau berubah lebih besar, kuat sekuat orang-orang yang tanpa lelah mengais reski dijalanan, tak patah arang walau badai cemoohan menerpa dengan terjang, inginku dalam lamunan kepada Sang Penyayang.

Babak baru dalam dunia baru dengan lakon yang lebih progressif, meniru yang dalang dalam pementasan wayang. Ya, setelah penyesalan itu aku mengubur sendiri rasa itu bersama kebosanan yang terdalam. walau tak serta-merta berubah secepat kilat, karena pesona mu bagai lukisan alam tak pernah pudar meski termakan letusan gunung, atau kecongkakan sangkuriang. Aku adalah aku, bisa berdiri dengan kaki walau hati terluka! kataku menyisir sisa semangat hidup yang ada. Diskusi internal ini aku lakukan setiap malam tanpa sorot kamera 4 mp tanpa moderator berjas, hanya selembar wajah ganas mirip aku, sosok yang melahirkan diriku.

Hidup itu indah, begitupun seharusnya perlakuanmu kepada kehidupan, anakku? kata sosok yang merelakan raganya selama sembilan bulan untuk aku bebani. Sosok yang tak pernah hilang dan tak akan aku hilangkan, karna keyakinanku mengatakan bahwa keindahan -surga- ada dibawah kakinya, yang aku artikan sebagai do'a. Bahwa do'a ibunda adalah pintu dari segala keindahan dunia, bahwa kebenciannya adalah pintu segala musibah dunia, walaupun pada dasarnya kebencian seorang ibu tidak mungkin nyata. Karna beliau -sosok ibunda- adalah selembut segala ciptaan. Seperti hawa yang rela walau hidup dengan satu tulang, dan mendedikasikan eksistensinya untuk menemani sang adam, begitu kira-kira cerita yang tersirat dalam tarikh keagamaan. Dalam kondisi yang gersang dan panas, ibu menjadi air yang sejuk dan menyejukkan kehidupan ini, tanpa diminta, ia tahu dan paham apa yang dialami oleh anaknya, karena dia adalah dewa yang berwujud manusia sesungguhnya. oleh karena idealisme sosok seorang ibu, maka dalam ajaran-ajaran agama manapun, menempatkannya pada step yang tinggi setelah laki-laki untuk dihormati.

Perempuan adalah makhluk perasa, mudah tersinggung, kata ibuku yang masih menjadi doktrin dalam laku kehidupan ku, pun dalam menyoal cinta aku tak bisa lepas dari doktrinasi itu. Walaupun realitas berkata lain, aku lebih banyak mendustai dan menafikkan ungkapan yang syarat nilai moral ini. Dan aku adalah aku, makhluk yang merasa tersakiti, makhluk yang menggunakan akal untuk menjalankan kehidupan dan dendam menjadi konsekuensi logis dari cara berfikir -manhaj al fikr- dan cara berlaku -manhaj al fiil-. ditambah lagi pemahaman keliru ku terhadap teori kausalitas, aku memaknai bahwa segala sesuatu harus dibalas, bukan sebagai teori sebab-akibat. Malaikat kecilku, pergilah kau, biarkan aku mencari malaikat yang lain yang lebih banyak dan inilah babak baru dalam kehidupan ku. pesan ku -dengan nada kesal- kepada mu; jangan lupakan aku, karna aku akan mudah melupakanmu!!!

18-08-2009
Rohim Habibi, Pengajian Kalimat, Solo

Senin, Agustus 17, 2009

Menakar Mimpi Kemerdekaan

Sehari setelah kekasihku (Peringatan Kemerdekaan) pergi, perasaan ini masih sama -perasaan heroisme- terhadap orang lain, kehidupan ini masih membekas -kehidupan penuh ketakutan- dalam relung hati, begitupun kelatahan kita untuk saling memaki yang sering dileburkan dalam bahasa diskusi, padahal syarat mencaci. Setelah pesta itu, masihkah kita malu membersihkan kotoran-kotoran dan menyerahkan kepada mereka yang terlahir untuk tugas itu ataukah kita benar-benar menjadi bangsa yang satu rasa satu jiwa, guyup rukun dan gotong royong, padahal kita baru saja mengikrarkan kebangkitan, kebersamaan, keteladan untuk bangsa. Lihat saja, apa yang akan terjadi setelah pesta itu. Masihkan masyarat menangisi tanah mereka, ataukah negara benar-benar menjamin keamanan dan kelayakan hidup. Memang terlalu dini untuk menilai semua itu, tapi paling tidak sebagai cotrol atas bangsa.

Bangsa yang besar adalah yang memberi ruang pada persamaan, itu kira-kira bahasa teoritis yang sering diucapkan para pelaku dan pengamat bangsa ini. Padahal bangsa ini tidak butuh banyak retorika untuk merubah kondisi saat ini, kita sebagai bangsa butuh tindakan kongkrit bukan bualan layaknya penjual obat dipasar-pasar tradisional. Banyak kata maka banyak peminat secara otomatis kemungkinan keuntungan semakin banyak pula. Berbeda dalam konteks negara, semakin banyak bicara semakin kita tidak diterima atau bahkan semakin dibenci ketika konsepsi tersebut berhenti dan tidak mampu diaplikasikan dalam solusi yang nyata.

Besok merupakan tolok ukur bangsa ini dari sudut kelahiran, artinya kita sebagai bangsa majemuk telah memasuki babak baru dalam dunia kehidupan berbangsa dan bernegara dihadapan rakyat dan dunia Internasional. Apalagi bagi pemerintahan baru -hasil pemilu 2009- yang mengemban amat bangsa, momentum kemerdekaan selayaknya menjadi cermin dan motivasi gerak langkahnya dalam menjalankan pemerintahan. Setelah kegagalan pemerintahan yang lalu -harmonisasi ekonomi- maka tugas berat menanti pemerintahan yang akan datang. Begitupun masyarakat, memiliki tugas yang tidak mudah, dalam hal menjaga harmonisasi kehidupan.

Harmonisasi disegala aspek kehidupan menjadi tugas yang menanti pemerintahan saat ini, menciptakan tata kehidupan yang lebih layak baik secara materi maupun imateri. Artinya kenyamanan bagi masyarakat tidak sekedar mendapatkan iming-iming materi yang bersifat sementara, akan tetapi jaminan terhadap kebutuhan primer menjadi tugas pokok pemerintahan saat ini. kebutuhan sandang, papan dan pangan menjadi masalah yang semakin hari tidak terselesaikan bahkan terkesan diabaikan. Sehingga masyarakat mulai tidak percaya pada pemerintahan, itu penyebab kegagalan pemerintahan dulu dalam mencitrakan dirinya dihadapan masyarakat bangsa. Oleh karena itu, kebijakan-kebijakan yang bersifat primer artinya yang langsung mengarah kepada masyarakat menjadi poin vital bagi dan oleh pemerintahan yang akan datang.

Pencitraan tersebut juga berkenaan dengan sikap para pelaku pemerintahan, sikap saling menghormati perlu digalakkan kembali, melihat bahwa rakyat adalah entitas yang tidak bisa disampingkan dari negara yang meletakkan kedaulatan di tangan rakyat. Bercermin dari pemerintahan masa lalu, maka seharusnya pemerintahan yang akan datang harus lebih taat terhadap rakyat, memposisikan rakyat diatas segala kepentingan yang bersifat golongan lagi-lagi pribadi. karna kita sebagai bangsa baru saja mengikrarkan kemerdekaan yang diartikan sebagai dalam segala hal. kemerdekaan untuk saling menghormati, kemerdekaan untuk tidak menempatkan kepentingan golongan atau pribadi di atas kepentingan rakyat, kemerdekaan untuk memerdekakan rakyatnya dari kemiskinan -materi dan rohani-, memerdekakan dari mafia-mafia yang mencari tinta hitam bangsa ini, atau kemerdekaan untuk menciptakan harmonisasi bagi masyarakat melalui sarana yang dapat mempersatukan bangsa ini -media elektronik dan cetak- untuk menempatkan kepentingan pendidikan bangsa di atas kepentingan koorporasi -bisnis-.

Sekali lagi bangsa ini perlu realisasi dari janji verbal kemerdekaan itu sendiri, kemerdekaan yang tersirat dari kitab suci bangsa ini -UUD 1945- yang secara substansial sudah termuat dalam kitab suci masing-masing agama di Indonesia. Kemerdekaan itu menjadi sangat penting melihat kondisi bangsa saat ini. Akhir-akhir ini bangsa Indonesia menjadi bangsa yang bingung, bangsa yang lemah, walaupun ungkapan itu masih dipertanyakan, tapi melihat realitas bangsa -secara menyeluruh- yang masih reaktif terhadap setiap kejadian merupakan pembenar sementara, bahwa bangsa ini seakan tidak siap menghadapi teror dari segala hal -radikalisme dan ekonomi- yang terjadi di Indonesia. Padahal jika berkaca pada sejarah panjang perjuangan bangsa ini, maka sikap itu seharusnya bukan cermin bangsa ini.

Penyambutan 64 kemerdekaan yang begitu meriah (17 Agustus 2009), akankah hilang tak nampak setelah delapan belas, akankah rakyat menjadi sama seperti sebelum bangsa ini memperingatan dan mengikrarkan janji. banyak penindasan atas nama kepentingan negara, masih banyak broker/mafia di lembaga-lembaga negera, atau masihkan elit politik berlaku layaknya raja yang tak bisa disentuh oleh rakyat jelata. ataukah bangsa ini benar-benar berubah -sadar diri- untuk masyarakatnya? pertanyaan-pertanyaan yang perlu diurai menjadi control bangsa ini. Dan bahwa perubahan suatu kaum adalah kerja keras bersama, merupakan motivasi bangsa. Bukan Begitu?MERDEKA!

18-08-2009
Rohim Habibi, Pengajian Kalimat, Solo

Menanti Malaikat Terbaik

Setelah malam itu, aku kembali seperti dulu, hidup penuh keinginan, penuh penantian, dan penuh harapan sekedar melihat rembulan malam melewati mega diatas pohon kerinduan, walau pun aku sadar itu absurd karna kau hidup di dunia yang berbeda dari dunia ku. Tapi aku tetap menantikan belas kasih Mu kepada sesosok musaffir cinta seperti aku ini.

Malaikat ku, andai engkau tahu apa yang ada dalam do'a ku, do'a mereka dan do'a bangsa, tentu kau akan mengamini -bersama teman-teman terbaikmu- semua keinginan itu. Karena aku tahu engkau adalah sosok yang mengidamkan kedamaian, keindahan, juga kebebasan tanpa Radikalisme, tanpa Doktrinasi atas nama apapun, tidak seperti yang kau alami di luar sana, malam itu. Dan dalam do'a bangsa itu, aku menyelipkan do'a special, khususon untuk engkau bunga mawar ku, do'a yang hanya terdengar oleh Tuhan kita vis a vis tanpa makhluk lain, selain aku dan Tuhan Mu.

Putri, esok kita akan merasakan buah dari do'a aku dan bangsa, kita akan mengetahui sebesar apakah efek dari do'a bangsa, kita akan mengerti seikhlas apakah do'a bangsa, kita juga akan paham sevariatif apakah motif do'a bangsa, dan tentunya kita akan memahami sikap apakah setelah do'a bangsa, karna kita semua mengakui kebenaran atas balasan setiap laku dan do'a bangsa. Karna sesungguhnya Tuhan, Malaikat, dan Utusannya akan membalasnya. Engkau harus percaya bahwa do'a ku do'a yang terkabul, bahwa niatku sebaik-baik amal, bahwa motif ku hanya untuk engkau belahan hati ku. Malaikat kecil ku, aku akan tetap menanti balasan dari do'a ku, pun aku inginkan dari mu, aku ingin engkau menolak apapun selain karna cinta mu pada ku, seperti halnya aku, tidak ada malaikat lain selain engkau. Karna aku tahu bahwa engkau lebih sakit di sana dari kesedihan ku.

Seharian sudah aku menanti, mengharap hadir mu walaupun hanya sebuah ilusi, aku tetap menanti sampai benar-benar rasa itu mati, "kau pasti datang, walau lewat pesan pendek -SMS-? obat ku untuk jiwa yang mulai bosan. Ya, aku mulai bosan menanti ketidak pastian, seperti aku menanti sebuah undian yang penuh probabilitas, absurditas, atau apapun yang bisa mewakili perasaan gamangku saat ini. Malaikat kecilku, jangan engkau biarkan sifat indahmu berubah jadi iblis dalam pandangan ku, aku tak rela itu terjadi. Tapi aku adalah manusia, punya qolb yang bersifat molak-malik -berubah-ubah- ingat itu malaikat kecil ku. Sampai kapan aku harus begini? sekali lagi aku mempertanyakan konsistensi dan komitmen dari rasa itu, kepada engkau malaikat ku, dalam hati ku.

Putri ini sisa penantianku untuk mu, aku yakin bahkan ainul yakin bahwa sesungguhnya kau tahu perasaan ini sebab engkau juga manusia, punya perasaan yang tak ingin dimainkan apalagi dibekukan dalam penantian yang tak berujung seperti lukisan yang tak berbentuk, tapi putri, engkau jangan pernah menghawatirkan kesetiaaku, karna sampai kapanpun engkau tersenyum aku akan menerima dan menyirami kembali benih rasa ini hingga tumbuh kembang kembali, karena engkau tahu siapa aku? manusia paling sempurna setelah dirimu.

Dan hari ini berlalu begitu saja, tidak ada kesan kalau kemarin di sini baru mengadakan pesta besar, do'a besar, syukuran besar, seperti perasaan ini, berlalu tanpa goresan tinta dalam lukisan cinta. Absurd! kata ku mencoba mengingat perasaan itu, karna memang cinta itu absurd dan harus dilupakan. Malaikat ku, maafkan aku, dalam sesal ku, aku slalu menanti hadir mu, senyummu, inginku sekali lagi. Absurd!. Akhirnya, dalam diam aku berdo'a Seperti pepatah; Kemaren adalah sejarah, Esok adalah misteri dan Hari ini adalah anugerah. Begitu juga diriku, akan menerima dan bersyukur atas anugerah yang Tuhan berikan kepada ku, begitupun do'a ku untuk mu Malaikat Kecil ku. Amin.

17-08-2009
Rohim Habibi, Pengajian Kalimat, Solo

Minggu, Agustus 16, 2009

Malaikat Kecil Ku

Pagi cerah dengan jiwa yang sumringah, begitulah kira-kira arti dari wajah-wajah manis kalian menelusuri jalan, pagi ini. Kalian datang lebih cepat dari petugas protocol, petugas koor lagu Indonesia Raya, dan petugas pembaca teks UUD 1945. Tak biasa memang, aku coba memutar otak .Apa gerangan? kenapa hari ini begitu indah, mungkin ada upacara kemerdekaan, sementara jawaban yang ada dalam otak ku. Karena sudah jadi rahasia umum, hukum mengikuti upacara kemerdekaan adalah wajib ‘ain, itu artinya dosa bagi yang tidak hadir, apalagi sengaja mbolos, alamat dapat poin 50.

Aku hadir diantara mereka, seperti biasa, aku ada dibarisan terdepan dari para pemboikot, itu artinya satu hukuman bakal jadi hadiah, dan artinya aku tidak bisa melihat sosok idola dalam hidup ku, malaikat kecil yang membekukan egoku. Marah sebetulnya, tapi apa artinya karena semua yang terjadi salah aku sendiri, hatiku coba menghibur. Lengkap sudah penderitaan ku ini, setelah semalam.

Semalam, aku dan perasaan cintaku datang menjemput wajah manis mu dalam acara syukuran kemerdekaan bangsa. Aku hadir tidak seperti perasaan mereka, pyur untuk syukuran kebesaran bangsa, tapi aku hadir untuk kemerdekaan kita –aku dan malaikatku-, kemerdekaan karena kau mendapatkan kebebasan untuk sekedar keluar malam, seharusnya, hal yang paling sulit bagi dirimu, karna kau hidup dimasa perang. Aku dan mata ku berlari menelusuri sudut sempit, remang-remang lampu, sampai tengah kamar pusat acara kemerdekaan itu, memburu hadirmu malam ini, maklum sifat sayang ku yang besar –mengganti sifat posesif- membuatku tak mau melewatkan mu, barang semenit, apalagi sampai kau bertatap mata dengan laki-laki lain, jiwa pemberontak ku bakal muncul, seperti Hulk yang tak mau kekasihnya disakiti, atau Romeo yang rela mengorbankan apapun demi cintanya kepada pujaan hati Juliet.

Tapi malam ini benar-benar malam yang hitam bagi cintaku, jika aku tetap mengikuti keinginan ku untuk mencarimu, tak mungkin aku bisa berdiri esok hari, karna entah kenapa, kau tidak hadir malam ini, ”Apakah kali ini kau terpenjara di Lawang Sewu, hingga kau tak bisa keluar?” Dalam emosi aku bertanya. ”Sayang kecil ku, semalam kau kemana aku menanti mu bersama air mata kecil, kau tak tampak diantara nyanyian, diantara goyangan, diantara kuis itu, kau kemana sayang kecil ku, mungkin kau takut malam ini, malam penuh tangisan, malam benuh keindahan karna ku tahu kau orang terindah yang mudah menangis”.

Malam ini aku menjelma rama yang setia menanti sinta di tempat berbeda. Aku kembali harus menangisi rasa cinta ini, rasa yang belum terbalas walau hanya senyuman, malam ini aku akan memendamnya sampai esok hari, aku menghibur dengan ocehan memelas: semoga esok Sinta hadir dan tersenyum lagi, harap ku.

17-08-2009
Rohim Habibi, Pengajian Kalimat, Solo

Sisa Syukur Kami

Bismillahirrahmanirrahim…

Malam ini kami ingin sekedar menghibur diri sendiri lewat persembahan-persembahan dari anak-anak kami, dari pemuda-pemuda kami, orangtua-orangtua kami, kami ingin sekedar berdo'a untuk kami sendiri, bangsa yang majemuk, bangsa yang multikultural dan pluralis, kepada perantara-perantara Mu, kepada Rasul-rasul Mu, kepada Malaikat-malaikat Mu, untuk disampaikan kepada Tuhan-tuhan kami yang selalu ada di singgasana jiwa kami.

Ya dzat yang tak mati? Engkau telah menyaksikan apa yang terjadi dan akan terjadi selanjutnya di negeri kami, aku tahu Engkau akan menangis seperti tangisan orang-orang yang tersakiti menyaksikan semua kehinaan yang dilakukan kami sebagai sebuah bangsa, tapi tuhan dalam lubuk hati kami yang terdalam, kami tidak ingin semua terjadi di sini, akan tetapi apa yang bisa kami lakukan sebagai makhluk yang paling lemah, walaupun demikian kami ingin merasakan semua yang terjadi dengan bangga, bahagia, kami ingin mempersembahkan yang terbaik sisa dari puing-puing kebesaran kami.

Persembahan special dari kami manusia-manusia special, untuk bangsa yang special. Do'a kami hamba-hamba sholeh untuk bangsa yang sholeh. Kasih-kasih kami untuk bangsa yang penuh kasih dan sayang. Penghormatan-penghormatan kami bangsa yang penuh hormat dan ta’dhim ini. Dimalam yang afdhol ini kami menghibur bangsa ini, merenungi hamba-hamba ini, mendoakan alam ini, untuk Bangsa dan Negara ini. Tuhan dari segala agama, Saksikanlah, Dengarkanlah, atau paling tidak serukan kepada Utusan-utusan Mu, Malaikat-malaikat Mu, Jin-Jin terbaik Mu untuk bersama berpesta, untuk berdo’a bersama, untuk mengucurkan air mata bersama di malam penuh tawa dan bahagia ini.

Kau yang maha penyayang, sayangilah kami bangsa ini, seperti sayang mu kepada rasul-rasulmu, kepada ahli neraka yang kelak kau bersihkan dan masukkan kedalam surga mu dengan rahmat dan hidayah Mu, kami bangsa yang santun, penyayang, pengasih, kecuali jika engkau berkenan membuka qolbu kami untuk menerima kasih-sayang dari engkau pemilik segala rahmat dan karunia.

Tuhan yang maha bijaksana, do’a kami rakyat yang taat dan tunduk kepada policy Mu, Utusan-utusan Mu, dan Ulul Amri, berilah sedikit ilmu ladunimu kepada pemimpin dan kami sebagai sebuah bangsa, sehingga para pemimpin kami tahu apa yang harus dilakukan untuk rakyat pun sebaliknya rakyat sebagai agen of controling yang baik, rakyat yang patuh, dan rakyat yang miskin seperti kami, dan kami sebagai bangsa yang berdaulat. Karna sesungguhnya kami adalah bagian dari mereka dan mereka bagian dari kami, karna sesungguhnya kami mencintai mereka karena kami tahu mereka mencintai kami lebih dari segala kecintaannya kepada sesuatu yang bersifat sementara.

Tidak ada do’a selain mengharapkan ridho mu, tidak ada kebahagiaan lebih dari karunia mu, tidak ada keindahan melainkan saling menghormati dan pluralisme, malam ini, kami ingin engkau menjadi saksi bangsa ini, bangsa yang tak pernah diam dari keterpurukan, bangsa yang menangis ketika disakiti, dan bangsa yang bangga akan kebersamaan, tidak hanya untuk malam ini, do’a kami, tapi untuk periode yang tak pernah kami tentukan, seperti kami mendambakan keindahan ciptaanmu yang tanpa batas. Wahai engkau sang pencipta sesungguhnya...

Tuhan Kami bosan jadi bangsa yang terlecehkan, kami malu jadi bangsa cengeng, kami tak ingin terus menangis walau tersakiti, kami menengadahkan tangan untuk menerima tetesan rahmatmu, malam ini. Tuhan sadarkan kami, sebagai rakyat dan jangan kesadaran itu kau berikan kepada para pecundang negeri ini, agar kami tahu harus berbuat apa dengan apa.

Tuhan ini persembahan special kami, Do’a Khusuq kami, dan sisa Syukur yang bisa kami berikan untuk menggantikan ”bendu” yang akan Kau limpahkan kepada kami, Semoga Engkau menerima. Amin.

Shodaqallahul Adhim...

16-08-2009
Rohim Habibi, Pengajian Kalimat, Solo

Sabtu, Agustus 15, 2009

Minggu; Menelusuri Kenikmatan

Nikmatnya bibirmu kasih, menumbuhkan semangat kejantananku, setelah hampir tiga minggu tak kurasakan lagi berkulum dengan lidah yang keras yang beraroma apel prancis. Seperti biasa, sapaan lembut lewat ciuman mesra kau tancapkan dibibir sebelah atasku, tanpa permisi kepada ku, sesekali meledek dengan tusukan lidah tajam mu seperti tusukan ken arok kepada sang guru. Aku tak pernah diam dan malu menerimanya, karna itulah rutinitas kita di awal pertemuan dan sebelum hari perpisahan.

Bibir merah jambu mu dengan pelan kau posisikan tepat diatas pipi, "apa kabar sayang" katamu dengan pelan, membuat bulu dada ku berdiri sebagai respon rasa nafsuku. Aku sengaja tak memberi suara balasan, hanya cumbuan tanpa lelah dari mulut kotorku yang berjalan tanpa komando, seakan melalui jalan tol yang biasa aku lalui bebas tanpa hambatan, paham dan detail, sebagai reaksi verbal dari pertanyaanmu. Malam itu aku ingin menghabiskan rindu ku untuk membunuhmu dalam kenikmatan sesungguhnya. Tapi "bangsat", ntah kata ini aku tujukan kepada siapa saat itu karna spontanitas, sebagai perasaan kesal yang teramat karna kenikmatan itu hilang ditelan matahari yang muncul tanpa permisi terlebih dahulu. Hati kecilku melunak, "ternyata hanya mimpi" gumam ku.

Tak berhenti disini, dengan rasa penasaran, aku bangun dan mulai menelusuri kembali kamar sempit penuh pakaian layak buang, bersama rasa itu, aku merajut kembali mimpi malam itu, memburu wajah indahmu bersama "sosoran" bibir mesum ku layaknya busur mulai lepas dari panahnya. tak lama otak kiriku membuat rencana penyambutan bidadari dari kayangan, kau datang mencari selendang yang kau tinggal di bawah bantal ku, tanpa pakaian jadi kau mendekatiku yang masih bingung. Tak lama aku yang penasaran segera menjamu, Aku mulai memasang wajah playboy berharap malam itu aku rasakan lagi, "malam ini harus kena" celotehku memberi semangat pada nafsu. Kali ini aku menjadi play maker seperti dalam permainan sepakbola, semua serangan bermula dari gerak tubuh ku. Hampir sampai di lembah yang kering, dihiasi rimbun rerumputan, "sadar!!!" katanya, seperti malaikat memburu iblis laknatullah, Aku takut bukan main, kejantananku hilang terbang bersama kibasan "cemeti amal rasuli" itu, aku mencari apapun disekitar ranjang kumuh ku untuk mengobati rasa takut yang teramat. "bajingan" dalam hatiku, memaki kekasih yang berubah setengah dewa. Aku takut, aku harus bagaimana, pintaku kepada Pencipta malaikat-malaikat.

Lima belas menit kemudian, aku mulai nyadari Kasih-Sayang Allah swt begitu tak terduga dan banyak, otak positifku berjalan layaknya manusia; seandainya aku terus berdansa dan menari bibir dan lidah dengan kekasihku mengikuti dentakan musik jantung, disetiap perjumpaan dan perpisahanku, entah apa yang terjadi? Aku malu, walau sebenarnya aku mau -layaknya seorang remaja-, aku mau tapi kali ini benar-benar aku malu, hati suciku berkata "aku mau ini terjadi jangan dalam hanya mimpi tapi setelah ikatan syah terjadi sebagai bukti kebolehanku (pernikahan).

16-08-2009
Rohim Habibi, Pengajian Kalimat, Solo

Jumat, Agustus 14, 2009

Refleksi Kemerdekaan

Enam hari kedepan kita bangsa indonesia segera menikmati keindahan sebuah keberhasilan dari perjuangan (moral, material serta spiritual) para pahlawan. Bangsa ini akan merayakan kemerdekaan ke-64 dengan kondisi dan situasi bangsa yang berbeda dari sebelumnya. Perbedaan tersebut mulai tampak dari kemegahan penyambutan hari bersejarah yang syarat nilai itu.

Kemerdekaan bagi bangsa ini ternyata tidak serta-merta dipersepsikan sama oleh pelakunya dari segmentasi yang berbeda. Makna dan rasa Kemerdekaan bagi masyarakat miskin berbeda dengan para pejabat dan pelaku bisnis di negeri ini. Masyarakat memaknai kemerdekaan sebagai keinginan untuk keluar dari belenggu penindasan sistemik di segala sektor kehidupan.

Ketidakmampuan penguasa bangsa ini dalam memenuhi keinginan masyarakatnya, menyebabkan kemerdekaan dipandang hanya sebagai Show of Force oleh masyarakat. Antusiasme masyarakat dalam menyambut hari kemerdekaan sangat berbeda saat ini. Masyarakat lebih memilih mencari kebutuhan hidup -sandang, pangan, papan- daripada mengikuti kemeriahan peringatan kemerdekaan.

Ironis memang, tapi laku kehidupan tersebut terjadi pada masyarakat di sekeliling kita. Kemeriahan momentum kemerdekaan seakan hanya milik anak-anak atau remaja. dengan berbagai lomba yang diadakan walaupun hanya sekedar kemegahan pesta.

Hal ini tidak terjadi pada masyarakat -orang tua dan dewasa- dengan merelakan kesibukan duniawi demi penghormatan terhadap bangsa. Bahkan tradisi syukuran -berdoa- pada malam peringatan kemerdekaanpun mulai hilang nilai spiritualnya.

Keadaan ini sudah terjadi sebelumnya, dimulai ketika peran kontrol pemerintah terhadap kebutuhan masyarakat mulai mandul. Pemerintah tidak mampu memberikan kenyamanan terhadap masyarakat untuk mendapatkan kebutuhannya secara layak. Maka tidak heran jika masyarakat miskin tidak lagi peduli terhadap kemerdekaan atau bahkan memaknai kemerdekaan itu secara formalitas.

Bayangkan jika kondisi ini tetap terjadi sampai generasi selanjutnya? Padahal bangsa ini sudah mengikrarkan kemerdekaannya selama 64 tahun. Bangsa yang besar adalah memberi penghormatan terhadap para pahlawan tentunya sejarah tidak boleh dilupakan. Oleh karena itu, realisasi terhadap janji pemerintahan harus dikontrol dan selalu digalakkan. Bukan hanya obrolan dalam mimpi belaka yang hilang bersama datangnya matahari.

Ayo Bangsa Ku...
Bangunlah jiwanya, Bangunlah badannya...

Malam ini, disebuah Hek depan Yarsis Solo. Aku bersama Tukang Becak, Penjual Hek, Mahasiswa UMS dan salah seorang dengan pakaian hitam menempel di atas sakunya, sebuah pin bergambar pohon beringin. Aku menjadi pendengar yang budiman, sedang mereka saling tukar pikir -tentang kemerdekaan- untuk sekedar melewati malam ini. Salam Dari Pendengar Mu yang Budiman.

10-08-2009
Rohim Habibi, Pengajian Kalimat, Solo

Lorong Hitam

Dalam diam aku melihat lorong hitam
Aku berjalan menerobos tanpa lelah
Berharap menemukan akhir dari pencarian
Diriku semakin terkejut melihat hiasan lorong hitam
Kenikmatan dunia yang ingin aku nikmati
Keindahan semu seperti dalam dunia terang

Entah,
Sebagai seorang manusia
Aku diam untuk perang menakukkan malaikatku
Hampir ku taklukkan malaikat itu, tapi aku tak mampu
Setiap kali lilin menyala aku diam
Menggoda jiwaku; "Ayo masuk mas? Perjalanan masih panjang,
Mampir barang sejenak, teman-temanmu juga ada dan menunggu."

Entah,
Aku berperang tanpa luka
Perjalanan selanjutnya menemui gerbang besar
Yang semua orang bahagia dan menanti didepannya
Berharap segera di buka...
Aku diam dan beserta mereka...

Entah...

12-08-2009
Rohim Habibi, Pengajian Kalimat, Solo

Gila Mata...

Menangisi kata dalam berita
bersama jasad yang meronta
memburu, membunuh demi cinta

Terpojokan oleh suasana
terendap dalam bingkai penuh noda
mata mengurai cerita penuh sandiwara

Atas nama gila
kau tutupi mata dalam hati
demi dunia dalam mimpi yang tak berisi

Anak menertawakan mata di depan mata
para pesohor berkerudung cerita
menjual mulut menawarkan kata
dalam cerita di depan mata

Keluarga kecil berdebat memposisikan mata
mencari dambaan hati segera mati
bersama misteri dan ilusi para penyaji
yang tak berbudi

Mata berjalan menelusuri lorong
sejenak berhenti membawa penawar
mendoktrinasi dunia nyata tak belas kasih
demi sesuap roti yang tak terbeli
hanya pemilik mata dan koorporasi

13-08-2009
Rohim Habibi, Pengajian Kalimat, Solo

MATA (1)

Merdekalah

Katanya Merdeka!
benarkah yang kau katakan
berasal dari rasa yang kau rasakan selama ini
ataukah hanya ungkapan lidah semu
seperti anak kecil yang ingin mendapatkan mainan
tanpa bekas setelah delapan belas
sadarlah untuk kemerdekaan

Merdekalah
merdekalah dari mulut mu
merdekalah dari tangan mu
merdekalah dari kaki mu
merdekalah dari otak mu
merdekalah dari nafsu mu
merdekalah dari rasa takut untuk bicara tidak
merdekalah dari darah orang tua mu
merdekalah dari malas dan bosan mu
merdekalah dari jalan mu
merdekalah dari tanah mu
merdekalah dari dunia mu
sebelum kau merdeka dari dunia mereka
dunia yang kau puja selama ini

14-08-2009
Rohim Habibi, Pengajian Kalimat, Solo

Aku Malu

Adzan akhirnya bersenandung juga
setelah sehari maut hampir menjemput
mencekit kerongkongan kecil ku
kemenangan akhirnya datang juga; kata ku
kemenangan dari orang-orang kalah
alhamdulillah

Aku nikmati suguhan ala prancis
minuman ala restoran jepang, rokok ala italia
aku manjakan diriku dengan kenikmatan dunia
karna ini kemenangan ku
semua kenikmatan adalah teman ku saat ini
hormatilah kemenanganku kawan

Sementara di sudut depan
aku lihat keluarga mondar mandir
menanti nasi yang sebentar lagi matang
menikmati air putih dengan rasa lapar
sekedar mengganti kalori yang terbuang
aku malu mengatakan kemenangan
Tuhan semoga matamu berpaling saat aku membusungkan dada
aku malu, di depan kekemenanganku...

14-08-2009
Rohim Habibi, Pengajian Kalimat, Solo

Rabu, Agustus 12, 2009

Aku dan Karakter Bangsa

Setiap manusia tidak lepas dari masa anak-anak, masa dimana semua keinginan bisa terpenuhi dengan mudah. Selain karena faktor orang lain –orang tua- juga karna faktor sosial yang memberikan ruang lebih terhadap anak. Artinya masyarakat memiliki porsi yang berbeda dalam memperlakukan anak. Hal itulah yang kemudian membuat anak bisa berimajinasi menjadi seseorang yang ia idamkan atau idolakan.

Seperti aku misalnya, dunia kecil ku adalah dunia idealisme. Dunia yang ada dalam benak manusia Indonesia, bahwa dunia kecil merupakan dunia untuk kehidupan yang layak dan seharusnya dimiliki oleh manusia. Dunia kecil ku akan aku mulai:

Dulu, aku ingin menjadi orang seperti ayah berani, kuat, gagah dan tegas. Aku berfikir bahwa tanggung jawab seorang ayah sangat besar –penjaga, pengayom, pemberi- terhadap keluarganya. Sehingga dengan kondisi fisik dan spiritual yang kuat, keluarga menjadi tentram dari segala godaan baik internal maupun eksternal. Tapi aku sadar, tidak mudah untuk merubah perilaku yang bermula dari kebiasaan. Butuh waktu lama untuk merubahnya terutama mengalihkan godaan terhadap manusia lain jenis. Kebiasaan mencari pasangan yang lebih potensial masih terpatri dalam jiwa kecilku. Seperti halnya Masyarakat Indonesia kebiasaan mencari simpanan atau sekedar untuk mengobati rasa ingin mampu menerobos sekat profesi dan ekonomi.

Dulu, Aku kecil termasuk pecandu layar mati –televisi- khusus segmen olahraga itupun masih dipersempit cabang permainan sepak bola. Hobi itu dimulai dari event besar bertakut World Cup 1994 dengan America Serikat sebagai tuan rumah. Aku sangat menikmati saat Brasil –negara dengan label juara terbanyak- memainkan partai. Satu orang yang selalu aku tunggu aksinya di lapangan. Romario de sauza dengan tarian ala samba, ia menari melewati pemain bertahan untuk menjadi top score dan memenangkan laga. Dan benar brazil keluar sebagai juara lewat drama adu pinalti melawan italia.
Terbersit dalam angan aku ingin jadi seperti Romario yang gagah dan berani melewati lawan, walaupun dengan postur yang mungil. Karena beliau aku jadi mengagumi olah raga, aku ingin bermain sepakbola karena sepakbola merupakan ruang dan kondisi yang bisa merubah karakter nakal ku.

Asumsi kecilku sepakbola syarat nilai sportifitas dan fairplay. Tapi aku sadar, sejalan dengan modernisasi, sepakbola tidak lagi mengedepankan estetika atau etika seperti saat brasil dengan romarionya main. Disini sepakbola telah mengalami akulturasi dengan berbagai cabang olah raga termasuk karate, kartu bahkan tidak lepas dari sisi materi –judi-.

Dulu, Masa kecilku selain penuh dengan uforia, juga tidak lepas dari dunia pendidikan. Aku sudah mengenyam pendidikan dari kecil, tidak tanggung ruang berlabelkan agama aku kunyam dari Ibtidaiyah hingga Wustho’. Seperti biasa, kali ini aku bermimpi tentang sosok ustadz yang santun -ilmiyah, amaliyah dan ilahiyah- dan terhormat dimata masyarakat. Tapi aku sadar, masyarakat modern mulai menafikan ’undur ma qala wala tandur man qala’. Dan aku yang terlahir dari keluarga muallaf tidak mungkin bisa membongkar pola pikir masyarakat yang demikian.

Dulu, Berbeda dengan masa anak, remaja aku mulai memikirkan manusia lain –orang tua dan teman sekitar- untuk mendapatkan rasa aman. Akupun berpaling dan tertarik melihat serdadu yang dengan gigih membela bangsa dari musuh. Serdadu atau militir mampu memberikan rasa aman dan nyaman kepada masyarakat secara luas. Tapi sekali lagi aku sadar, aku mulai menjadi manusia penakut. Aku takut kekerasan, dan aku sadar dunia militer tidak terlepas dari logika tersebut.

Dulu, Birokrasi mulai merasuk dalam hatiku lewat cerita orang-orang di sekelilingku, termasuk orang tua. Kenyamanan secara finansial akan merubah diriku dan keluarga menjadi terhormat. Ruang pengabdian dan penghormatan menjadi lebar melalui jalan birokrasi, bahkan dimata masyarakat sekalipun. Tapi aku sadar, logika kerajaan masih kuat di Indonesia, bahwa jika ingin menjadi penguasa maka harus dari penguasa dengan kata lain harus memiliki darah biru. Selain kuat seraca hirarki juga finansial menjadi jalan alternatif bebas hambatan.

Dulu, Bisnis menjadi tujuan selanjutnya, dan akupun terbangun dari mimpi dan memasuki dunia sadarku. Dunia bisnis bukan dunia mudah, melainkan segala hal yang ada di atas menjadi prasyarat utama menjadi seorang pengusaha di negeri Indonesia. Untuk menjadi bahagia –bisnis- secara materi, kita harus mampu berjudi, berani melakukan kekerasan, oportunis, terutama ber-uang.

Dunia kecil sangat menarik jika kita mau menilik kembali. Kehidupan dimana kita mampu membangun dan melukis dunia lain selain dunia real. Aku sadar dunia kecil merupakan dunia mimpi yang harus disadari sebelum benar-benar dirubah bahkan direalisasikan. Bagaimana?

Rohim Habibi, Pengajian Kalimat, Solo

Kamis, Juli 09, 2009

Menangisi Malam; Refleksi dari sebuah peran

Malam ini, tak ada lagi tangisan seperti saat pertama engkau meninggalkan mereka karena waktu. Suara merdu santri saat bersholawat kini mulai berganti "Slow Rock" atau Rock Alternatif, trend manusia jaman sekarang, katanya. Buku kusut dengan coretan Ahmad Albarzanji r.a. pun mulai berganti Detective Conan (Aoyama Gosho) serta tak tampak lagi Nashaihul Ibad (kyai Nawawi al-Bantani r.a.) yang redup terkena pancaran ayat2 cinta (Habiburrahman El Shirazy).

Dunia memang selalu berputar sejalan dengan kondisi masyarakat, termasuk malam ini. Keindahan Nadham Habib Assegaf yang biasa jadi menu favorit malam jum'at kini kalah pamor dengan Peterpan, atau Ungu. Realitas religiusitas masyarat Indonesia yang tak bisa dipungkiri. Padahal inovasi dalam segala hal (musikalitas, materi atau setting panggung) dilakukan sang Kyai atau Habib -sekedar mengingatkan mereka tentang kehidupan yang akan datang- ternyata tidak berpengaruh terhadap kecintaan mereka pada masa kini.

Visualisasi memegang peranan yang signifikan dalam laku masyarakat. Dalam proses perubahan perilaku masyarakat, media visual menjadi lakon terutama bagi wanita dan anak-anak. Para ibu bisa menangis atau marah hanya dengan duduk di depan media, tidak demikian ketika mereka mengikuti pengajian yang bercerita tentang kesedihan dan siksaan akhirat. Seperti halnya anak bisa menghafal lakon dalam sinetron dengan sangat cepat kontradiktif dengan laku di sekolah.

Ngeh nopo mboten? ajakan yang selalu diucapkan mbah Kyai kini masuk kuping kiri keluar kuping kanan. Kerumunan pengajian bukan karena tuntunan yang melatari mereka melainkan karena tontonan. Realitas tuntunan jadi tontonan kini semakin nyata dalam kehidupan masyarakat. Fakta animo masyarakat menyaksikan pesta band atau dangdut menjadi penegasan atas realitas “tuntunan jadi tontonan dan tontonan jadi tuntunan”. Fatwa seorang kyai kini tidak ampuh seperti dulu, keinginan untuk mendapatkan wejangan dari kyai menjadi faktor masyarakat rela pulang pagi bahkan tidak pulang sekalipun. Kini Televisi jadi raja kecil dalam setiap laku kehidupan masyarakat.

Laku kyai atau guru (politik praktis) termasuk faktor yang melatari laku tidak respek masyarakat. Hal ini terlihat dari animo masyarakat untuk memilih dalam pemilu bukan karena ajakan kyai melainkan karena fanatisme partai atau figur. Proses kampanye dengan media tokoh masyarakat ternyata bukan jaminan untuk mendapatkan dukungan. Keterlibatan kyai dalam partai menjadi pendorong tumpulnya citra kyai dimata masyarakat.

Peran kyai dalam proses politik memang penting, hanya saja sebagai controling bukan sebagai motor politik. Peran controling itu mulai disampingkan, asumsi kyai sebagai orang yang masih mendapat tempat dihati masyarakat –logika para politik praktis- kini mulai tidak jelas. Kelatahan laku itu yang menjadikan citra buruk kyai dimasyarakat.

Malam ini memang berbeda dengan malam sebelumnya. Tangisan bukan lagi karena Nashaihul Ibad atau kecintaan kepada kekasih Allah melalui syair yang indah, tapi karena kekalahan atau kemenangan. Masyarakat mulai mempertanyakan peran sesungguhnya dari seorang ulama yang juga manusia. Mungkin besok masyarakat akan bertanya pada media TV tentang nasib hidup di dunia dan akhirat karena lebih jujur.

“Ulama adalah pewaris para Nabi”, tidak seharusnya meleburkan peran control hanya karena peran politik yang sesaat. Malam ini kita harus menangisi malam lalu dan malam ini.
Malam Tanpa Bulan

Senin, Juli 06, 2009

Kridaning Ati

Kridaning ati ora bisa mbedah kuthaning pasti, budidayaning manungsa ora ngungkuli purbaning kawasa...sejatine ora ana apa-apa lan sing ana kuwi dudu..

Lelakon kuwi adile yen dilakoni...mula kabeh kedadean kang wus, dimen lumaku miturut garising pepesthi...kanggo sangu panguripan ing tembe mburi..

genturing laku lan abot tapa tri ratya bisa sapet jagong sakliyane jalma manungsa....

"Ana kantha kinanthi kanthi datan pisah selawase..didumuk dudu, diarani kleru..ilange suk yen jiwaloka.."

"menungsa ora duwe daya anging kajaba dayaneng gusti kang maha sekti"

Sabtu, Juli 04, 2009

“Keindahan; Belajar dari Rakyat”

Dinginnya malam tak terlihat sedikit pun pada wajah mereka, raut wajah penuh senyuman tampak mengiringi pesta kecil sebagai tanda terima kasih kepada Tuhan karena hadirnya sang Gatot Kaca kelurga. Syukuran, sebagai bentuk penghormatan dan akad terima atas anugrah sang pencipta berupa anak.

Syukuran atau “Banca’an” merupakan tradisi masyarakat pedesaan yang syarat makna (Transendental dan Horisontal), sebagai bentuk pengabdian. Nilai Transendental tercermin melalui ritual berdoa untuk kebaikan keluarga dan anak, sedang nilai-nilai Horizontal terkandung dalam laku silaturrahmi sebagai akar kebersamaan dan solidaritas. “Banca’an” merupakan kebudayaan masyarakat Jawa, biasanya dilakukan sebagai realisasi dari ucapan terima kasih (syukur) atas karunia yang syarat dengan nilai-nilai ritual keagamaan dan sosial. Dalam tradisi jawa Banca’an biasa dilakukan disetiap momentum pemberian nama anak, potong kelamin (sunatan). Bancaan juga merupakan momentum untuk memperkokoh tali persaudaraan, selain sebagai pesta.

Malam ini, masyarakat begitu menikmati suasana dengan rasa kebersamaan. Mereka melupakan segala penat kehidupan yang baru saja dihadapi. Syukuran menjadi media yang mampu mempersatukan masyarakat dan mampu menghilangkan sentimen politik, ekonomi dan agama sekalipun. Malam ini, tidak ada cerita Mega Wati, Susilo Bambang Yudoyono, atau Jusuf Kalla, mereka lebih menikmati teh manis, dan snack ringan sebelum musik ketipung memanggil untuk sekedar goyang.

Fanatisme yang terlihat pada siang hari (Kampanye Mega Wati) hilang tak berbekas. Raut wajah bingung yang biasanya menghiasi disetiap laku –sebagai bentuk kebingungan seorang pengangguran- berganti senyuman. Pria-wanita, kerudung-tidak berkerudung, batik-kaos-jas, bersepatu-sandal japit semua bersatu berdoa dan berbahagian malam itu. Kebersamaan dalam kebahagiaan (syukuran atas karunia anak) menjadi doa bagi dan dari masyarakat malam itu. Disamping itu syukuran mampu menghadirkan rasa keindahan ikatan emosional. Keindahan yang akhir-akhir ini hilang, malam itu mengembang dalam kemeriahan pesta kecil “Banca’an”. Semua genre musik dilantunkan diiringi ketipung yang malam itu menjadi pengikat rasa emosional diantara masyarakat.

Keindahan dari sebuah toleransi memang hampir tak tampak pada masyarakat Indonesia saat ini. Berbagai permasalahan yang dihadapi bangsa ini menjadi salah satu sebab keretakan bangsa Indonesia sebagai satu kesatuan. Malam ini, keindahan dari sebuah negara benar-benar nyata, semua masyarakat mampu berbaur untuk menikmati malam. Inilah bangsa yang kaya akan kebudayaan.

Mereka (pemimpin) harus belajar dari indahnya malam ini, keindahan yang mulai pudar. Laku masyarakat (syukuran) perlu biasakan, untuk sekedar melupakan sentimen politik, ekonomi dan agama. Masyarakatpun harus mampu membuang fanatisme yang berlebihan terhadap sesuatu –politik, ekonomi, budaya atau agama-, yang justru menimbulkan petaka. Bukan begitu?

Jumat, Juli 03, 2009

"Hek" lebih perhatian daripada Senayan.


Malam semakin larut, suara motor seperti komandan upacara keras dan membosankan, lalu lalang disamping hotel kecil, tapi tempat itu makin menarik semua manusia dari status sosial yang berbeda datang membawa konsepsi dan strategi untuk diperjual-belikan layaknya diplomator, siapa yang mantap, cepat, keras, serta lucu bakal jadi pemenangnya.

Gedung Putih, Senayan, atau Gedung Presiden sekalipun kalah jauh dengan hotel yang minimalis, simple full AC (Angin Cemilir) yang mampu memberi kepuasan, kenyamanan dan menghadirkan tawa sebagai rasa bagian toleransi yang terbangun. Beda dengan senayan, yang menghadirkan tawa karena perilaku penghuni, apalagi ketika sedang sidang, seperti anak SD segala manuver dilakukan (otak dan otot) demikian ketidaknyamanannya senayan bagi penghuni.

Jam 11.00 malam waktu diskusi dimulai, mereka membuka dengan obrolan sante tangan pendidikan, nasib anak-anak mereka yang menjadi korban peraturan. Mereka saling mengeluarkan asumsi, tentang kondisi pendidikan indonesia. Bahwa kebiasaan gampang berpaling menjadi faktor penyebab rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Mereka memandang dan meyakini bahwa pola pikir dan kapasitas otak manusia Limited, untuk memikirkan dua hal atau berfikir lain dalam waktu yang sangat singkat tidak mudah. Kurikulum yang cepat diganti (CBSA, KBK, KTSP, dll) hanya menghadirkan keresahan bagi rakyat dan membuang biaya.

Tidak berhenti sampai disitu, keresahan mereka semakin terasa setelah anak mereka lulus dari sekolah. Biaya banyak merupakan masalah bagi masyarakat yang terjepit oleh kondisi sosial yang kacau / tidak perpendapatan tetap. Pemerintah seharusnya menanggung biaya pendidikan seperti halnya dalam undang-undang. Mereka mengakhiri segment pendidikan dengan tawa; andai biaya membuat KTSP di alihkan untuk beli nasi bandeng, dapat berapa ya?hahaha.

Politik jadi sajian kedua, segmen politik menjadi yang paling serius karena menghadirkan sentimen personal. Wajar mereka datang dengan kondisi batin yang beda, sehingga pandangan tentang politik dan negara pun berbeda. Idealisme pemimpin mulai ditelusi dan dicari formatnya, konsep dasar seorang Pemimpin harus pinter, bener dan mendengar. Tiga kriteria tersebut memiliki tiga dasaran teoritis yaitu Intelektual, Spiritual (Moral), Aksi, mereka mengandaikan ada peminpin yang memiliki tiga prinsip dalam laku politiknya maka bangsa akan aman, tentram, sentosa dan makmur “Gemah Ripah Loh Jinawi” salah satu dari diplomator berkata.

Mereka tidak mampu mengumpat tawa ketika salah seorang yang mengeluarkan pernyataan plesetan; “Utang Melimpah Rak Wani Bali”, mungkin mereka terinspirasi oleh realitas laku para pejabat negeri ini. Rame-rame hutang ke luar negeri saat jatuh tempo mudah saja mereka menghilang dari negera, ujungnya negara dan rakyat yang melunasi hutang mereka. Disamping kebiasaan serong para pejabatpun tidak luput dari kamera mereka, dengan ringan salah satu menunjukkan Hand Phone kamera dan menunjukkan aksi pejabat maen serong. Sepontan suara sumbang keluar, bahkan ada yang meandaikan jadi mereka, enaknya. Dan diakhiri dengan kesedihan, bagaimana mau maju kalau perilaku pejabatnya demikian?

Tidak terasa jam 00.30 seperti biasa mereka menutup perbincangan dengan optimisme hidup. Bahwa kehidupan bukan diam dan marah, tapi kehidupan itu dinamis, progresif, dan kadang dilematis maka tetap kritis dan transformatif untuk kemaslahatan umat.

Kamis, Juli 02, 2009

"Cuaca dan Nalar Kapitalistik"

April-september merupakan bulan yang meresahkan bagi sebagian masyarakat. Kondisi cuaca yang tidak stabil mengharuskan masyarakat untuk menjaga kondisi fisik dan mental. cuaca yang kadang sangat panas (siang) dan spontanitas berubah menjadi dingin (sore-malam) bisa menyebabkan tubuh menjadi drop bahkan sangat mungkin membuat inkonsistensi mental.
Tidak stabilnya kondisi fsiki dan mental seseorang berpotensi menciptakan polemik (kekacauan). Iklim yang mudah berubah dari dingin ke panas (malam dan siang) menyebabkan tubuh tidak mudah untuk menkondisikan dan jatuh sakit. Disamping itu Kondisi tubuh yang sangat panas menyebabkan tekanan dalam diri manusia yang menyebabkan manusia mudah marah. Belum lagi kondisi ini berpotensi menimbulkan kebakaran, pengangguran dan kelaparan bisa menjadi bahaya "laten" bagi kebersamaan Umat.
Kondisi "kepanasan" yang menimbulkan ketidakstabilan umat sudah berjalan dan berlangsung lama. budaya memikirkan kesalehan personal (individu dan sosial) menjadi laku masyarakat dan meninggalkan kepentingan sosial. dengan kata lain, budaya memperbanyak diri untuk mendapatkan sesuatu (tirani mayority) menjadi nalar yang tak terbendung.
Tirani mayoriti yang menjadi darah kapitalisme modern -suara terbanyak- menjadi laku para elit negeri untuk menguasai atau mendapatkan sesuap nasi. Nalar kapitalistik ternyata mampu melewati sekat yang paling kecil dalam masyarkat indonesia dan masuk dalam setiap segmen bangsa ini (ekonomi, pendidikan, politik, dan budaya).
Kondisi jiwa yang kepanasan -kekurangan- bisa menyebabkan masyarakat beradab menjadi tak beradap. Nalar kapitalistik -materi- masyarakat (kultur dan struktur) akan berujung pada kesalehan personal, tragis! budaya andap-asor (hormat menghormati) mulai berubah jalur, bukan menghormati dalam arti kepantasan akan tetapi hormat karena kekuasaan. Tetangga "sedulur" tidak mampu memilihat kondisi -batin- tetangga "separo". Dalam ranah politik misalkan, budaya mufakat (asas pancasila) dalam arti kebersamaan menjadi absurd, kenyataan bahwa kebenaran terletak pada berapa suara yang didapat telah menjadi budaya dalam masyarakat. Padahal nalar tirani mayoriti menafikkan kaum minoritas dan jauh dari kebersamaan. Sekali lagi ekses dari kondisi batin dan jiwa yang sakit panas.
Kondisi batin manusia menjadi dasar dari gerak laku kehidupannya, dan keinginan untuk menyembuhkan diri -metari- seharusnya tidak menafikkan dan menghilangkan budaya yang menjadi tolok ukur sebuah bangsa. Sekali lagi, kita perlu membuang atau melestarikan budaya yang akan dijadikan dasar dimasa depan. Bukan Begitu
Panas, jadi Kepanasan

Minggu, Juni 07, 2009

Perempuan Tanpa Ruang

Perempuan Tanpa Ruang

Siapa yang tidak mengenal Muhammad Dhani, sosok yang mengidolakan Soekarno dan Gusdur. Tegas, cerdas, produktif dan "nyleneh" menjadi ungkapan yang tepat untuk mengungkapkan sosok Muhammad Dhani.

aih senangnya dalam hati

kalo beristri dua

seperti dunia

ana yang punya

kepada istri tua

kanda sayang padamu

kepada istri muda

i say i love you

istri tua merajuk

balik ke rumah istri muda

kalo dua dua merajuk

ana kawin tiga

mesti pandai pembohong

mesti pandai temberang

tetapi jangan sampai

eh pecah temberang

Semua orang akan menggelengkan kepala sebagai ungkapan kekaguman jika syair di atas dilantunkan oleh suara "serak-serak basah" khas Ahmad Dhani disertai komposisi alat musik yang syarat akan nilai estetisnya. Diantara para fans Ahmad Dhani adalah kaum wanita yang mampu dihipnotis oleh sosok superman bagi al, el dan dul.

Akan tetapi, ungkapan diatas bagi aktifis perempuan dan "Gender", mengandung makna yang provokatif dan diskriminatif. Seakan-akan superioritas mutlak milik kaum adam "seperti dunia ane yang punya" sebaliknya perempuan diposisikan sebagai yang tertunduk hanya dengan ungakapan "i say i love you". Secara "lembut" penyair ingin mengatakan bahwa laki-laki berhak untuk mencintai berapapun sesuai dengan dalil agama (secara tekstual).

Musik adalah cerminan dan media untuk mengungkap realitas sosial disamping sebagai "curhat" personal. Dalam hal ini bahwa masyarakat masih mengamini apa yang diungkapkan oleh dani lewat "madu tiga" sangat jelas. Perempuan sebagai kaum yang seharusnya "dilecehkan", justru tergila-gila oleh indahnya komposisi alat musik dan balutan syair yang simple. Sikap tidak reaktifnya kaum wanita menjadi legitimasi atas superioritas kaum laki-laki. Hal ini bertolak belakang dengan semangat "gender" yang semarak disuarakan oleh aktifis perempuan.

Hal ini tidak semestinya terjadi dalam negara yang masih mencari format persamaan status sosial, dan musik sebagai alat komunikasi sosial tidak seharusnya mendeskriditkan pihak manapun, walau atas nama kebebasan berekspresi. Bukan Begitu?

Rohim Habibi

Anak Kalimat, Solo (15 Juni 2009)