"G U B U K K I T A"

Gubuk Untuk Sekedar Berbagi...

Selasa, Agustus 18, 2009

Babak 1; Skeptis

Hidup adalah perjuangan dan perjuangan butuh persiapan, pikir ku mencoba menapaki kehidupan yang baru. Seperti seorang psikiater sedang memberi motivasi kepada kliennya. Bahwa kehidupan seperti roda yang berputar penuh probalilitas, kita sebagai makhluk paling sempurna -teks agama- memiliki potensi jasadiyah dan rohaniah untuk mengarungi kehidupan ini. Seperti halnya teori spiral -freire-, refeksi menjadi langkah tepat untuk membuat rencana dan melaksanakannya sebagai act, itulah kira-kira yang aku lakukan saat ini, mencoba flashback mempersiapkan dan mengasah pusaka lengkap dengan tameng untuk menuju kehidupan yang penuh perjuangan. Semoga Tuhan Memberkati; kata mutiara yang terletup dari hati diakhir renungan ku.

Hari-hari ku menjadi berubah karena rasa marah yang terlalu dalam, sejak tragedi memilukan -bunuh diri- karena cinta bertepuk sebelah tangan, Laku kehidupanku menjadi berubah 99 % lebih anarkis serta sangat spektis, tidak hanya kepada makhluk -sejenis dan lain jenis- kepada Tuhan pun rasa skeptis kadang muncul menjelma jadi ruh dari jiwa yang gamang. Ya, rasa takut untuk mempercayai orang lain menjadi potensi negatif dalam diri ini. Terlebih ketika do'a kita tidak dikabulkan walaupun sebetulnya setiap do'a hamba pasti dikabulkan, begitu kira-kira arti teks "ud'uni astajib lakum" dalam kitab suci orang-orang muslim.

Kenapa engkau begitu kejam membiarkan aku tersakiti dalam kehidupan yang katanya begitu indah? pertanyaan dalam hati. Padahal pertanyaan spektis ini tidak pernah muncul dalam benak sebelum ini, karena dalam doktrin agama ku, mempertanyakan Kudrat Iradat Ilahi menjadi hal yang tabu bahkan tidak diperbolehkan sekalipun oleh anak Mumayyis. Akan tetapi bagiku itu sah, mungkin sebagian diantara manusia yang lain, yang terpojokkan oleh takdir. Takdir seperti halnya jodoh, pati, dan rejeki merupakan Kuasa Ilahi, penuh misteri, begitu pesan agama yang pernah aku pelajari di usia anak, aku sebagai hamba tidak akan mampu membuka tabir ilahi itu. Akan tetapi hari ini aku menjadi lebih rasionalis, aku mulai menyoal kembali keberadaan ku sebagai Kholifah Fil 'Ard yang lengkap dengan potensi lahiriah, artinya sebagai penguasa alam kita diberi kekuasaan (aktif) untuk menentukan masa depan bukan sekeder menerima (pasif) atau dalam bahasa lain manusia memiliki Free Act dan Free Will dalam hidup dan kehidupannya.

Sikap skeptis mulai nampak, tercermin dari keengganan meminta tolong kepada Tuhan -secara lisan-, walaupun dalam hati rasa takut masih mendominasi jiwa ku. Bahkan tidak jarang sifat takabur muncul seperti sudah terencana dengan baik, Aku bisa mendapatkan malaikat sesuai dengan keinginanku! ungkapan yang sering muncul melalui saraf otakku, aku seakan melupakan eksistensi "the one" Yang Maha Kuasa dan Maha Mengetahui, yang mampu merubah sesuatu dengan mudah; "Kun Fa Yakun". Tapi kadang akupun berfikir -mungkin juga manusia yang lain-, sikap ku manusiawi, artinya perasaan-perasaan itu secara tidak langsung merupakan pengakuan atas kelemahan kita sebagai mahluk yang lemah dan tuhan sebagai penguasa segala kehidupan. Marah menjadi sifat dasar manusia, akan tetapi pengejawantahan dari sifat itu setiap manusia berbeda. tidak jarang manusia melakukan do'a terus menerus sebagai representasi sifat kesal kepada Keadilan Tuhan, begitupun dengan aku, yang diaktualisasikan lewat laku tidak berdo'a. Allahummaghfirlii, Ya Rohiim.

Tidak terasa, amal keliru ini dilakukan hampir satu tahun di tempat pengasingan, tempat yang jauh dari malaikat perempuan -ibu-, yang selalu mengawasi dan memberi hukuman sebelum Tuhan benar-benar menghukum. Ya, selama di pengasingan aku hidup tanpa kontrol agama, laku keberagamaan ku kacau walau tidak sampai nol besar, karena masih mampu membaca kitab suci untuk malaikat lelaki -ayah- yang tenang di surga, minimal setiap malam jum'at. Akan tetapi dari kelemahan amaliyah yang bersifat personal -sholeh personal-, aku tidak lupa melakukan amal sosial walaupun dalam batas minimalis. Bagiku, perjuangan dalam hidup adalah memaknai kehidupan sebagai tidak hanya kesalehan personal, jauh dari itu, kesalehan sosial menjadi jalan lurus yang berkelok. Hal yang sering ditafsiri lain oleh pelaku agama, dan kehidupan. Sehingga kita sebagai Khalifah Fil 'Ard tidak melihatnya secara materi-ansih, tapi menciptakan harmonisasi sosial menjadi tugas sesungguhnya.

19-08-2009
Rohim Habibi, Pengajian Kalimat, Solo

Tidak ada komentar: