"G U B U K K I T A"

Gubuk Untuk Sekedar Berbagi...

Sabtu, April 04, 2009

Belajar Nulis 2

Agenda Pendidikan Nasional

Dunia pendidikan saat ini memasuki babak baru, Liberalisasi. Liberalisasi pendidikan secara konsepsi tidak ubahnya pendidikan progresifisme yang meniadakan proses pendidikan itu sendiri. Progresifisme menuhankan manusia sebagai otoritas penentu keberhasilan. Proses mencairkan informasi dari guru ke siswa adalah ciri utama dari pendidikan yang berembrio dari filsafat progresivisme. Hal itu memunculkan masalah bagi perkembangan afektif bagi anak didik. Pendidikan dalam pandangan freire harus memenuhi tiga unsur yang fitrah bagi manusia, kognisi, afeksi dan psikomorik.

Pendidikan merupakan langkah “Humanisasi”, oleh karenanya mengharamkan otoriteristik dalam prosesnya. Sehingga peran pendidik dan anak didik harus seimbang tanpa ada dominasi dari satu sisi. Bahkan freire menolak pendidikan bergaya banking, bahwa anak didik seperti halnya nasabah yang tidak punya kewenangan untuk melakukan dialog. dan menerima apapun yang dilakukan oleh guru menjadi keharusan dan kebaikan dalam prespektif pendidikan gaya bangking. Dalam kenyataan bahwa guru harus digugu dan ditiru menjadi alat legitimasi bagi kebenaran tindakan. Jargon yang seringkali menorobos etika seorang pendidik yang memiliki signifikansi dalam proses pendidikan.

Guru yang menjadi salah satu lakon dari pendidikan (guru, nara didik, sistem) memegang peran utama dalam pengembangan jiwa dan spiritualitas nara didik. Akan tetapi realitas terjadi justru mengaburkan peran sesungguhnya seorang guru, laku intelektual seorang pahlawan tanpa tanda jasa menjadi semakin jauh api dari arang. Kekerasan, tindak asusila menjadi perilaku setiap menghadapi permasalah (pribadi atau sosial), melakukan aksi menuntut kenaikan gaji tanpa menghiraukan nara didik, memang tunjangan menjadi hak yang harus dan wajib diberikan oleh pemerintah jika menginginkan bangsa ini menjadi lebih maju dan berkembang. Akan tetapi yang ada justru hak (gaji dan tunjangan) menjadi target dan meniadakan keberadaan murid sebagai manusia yang melihat guru sebagai pihak yang harus “digugu dan ditiru”.

Pragmatisme guru semakin terlihat dengan kebijakan dana bos misalnya guru seakan berlomba menjadi juru selamat bagi perkembangan kapasitas intelektual dan skill anak didik, guru seakan dipaksakan untuk memilih ruang ekstrakurikuler yang masih kosong tanpa menghiraukan kapasitas dan kapabilitas dalam bidangnya. Menyoal kekerasan dibidang pendidikan, maka guru hampir jadi tokoh utama dan kasus yang tak pelak jadi bagian dari film yang harus dicut oleh pihak sekolah dengan dalih memberi pelajaran, salah sangka, atau apapun merupakan pertanda penyakit dalam bidang pendidikan dan harus segera diamputasi.

Premanisme Pendidikan

Pendidikan menjadi ruang tersendiri dalam peran pengembangan bangsa terlebih indonesia. Semakin banyak persoalan dalam dunia pendidikan maka perkembangan bangsapun semakin lamban. Di indonesia pendidikan menjadi tujuan bangsa “untuk mencerdaskan bangsa….”, sudah selaiknya pendidikan menjadi bagian dari agenda pemerintahan yang harus diprioritaskan. Pengalokasian 20% dari APBN menjadi bulan-bulanan para mafia pendidikan, kenyataanya absurditas. Berbeda dengan pemilu misalnya, pesta yang sehari yang memakan banyak dana dan mudah bagi pemerintahan untuk merealisasikannya. Selain itu kebijakan pemerintah untuk mencari format sistem pendidikan justru mengaburkan peran sesungguhnya pemerintah terhadap pendidikan. Kebijakan BHP mengindikasikan liberalisasi pendidikan, mementingkan keuntungan (finansi) dari pada substasi (kognitif, afektif dan psikomotorik).

Dalam hal kwalitas atau standarisasi UAN pendidikan pemerintah seakan enggan menerima kenyataan bahwa pendidikan indonesia tidak merata dari kota sampai penjuru nusantara. Kenyataan itu semakin membuka mata kita bahwa pola pikir dan laku pendidikan bangsa ini diskriminatif, bagaimana tidak, siswa juara olimpiade fisika sampai tidak lulus. Hal ini membuktikan bahwa penyamarataan kemampuan kognisi anak harus dicermati lebih dan dilihat dari berbagai faktor dan guru memegang peran penting dalam penentuan kelulusan. Dikotomisasi pendidikan pun tidak pernah berujung dengan kesadaran bersama bahwa proses pendidikan lebih penting daripada hasil. Bahwa pendidikan nasional dan agama tidak ada perbedaan dalam hal apapun, penyadaran terhadap dikotomisasi pendidikan harus selalu digalakkan disamping institusi pendidikan pun harus mawas diri. Keberhasilan sebuah institusi tidak direpresentasikan banyaknya anak didik, tapi sebagaimana tujuan pendidikan memberikan pemahaman (kognitif, afektif) serta membekali dengan kemampuan sesuai dengan potensi diri (psikomotorik).

Premanisme pendidikan semakin terwujud dengan jelas ketika pemerintah menetapkan kebijakan sertifikasi, mafia-mafia pendidikan semakin merebak dikalangan pelaku pendidikan. Keinginan untuk mendapatkan kemudahan dalam pengangkatan kelas menjadi roh utama pelakunya, disamping keuntungan materiil menjadi target paling realistis.

Moralitas Bangsa: Hilang?

Pendidikan merupakan cerminan bangsa, realitas pendidikan indonesia yang semakin terpuruk (untuk tidak mengatakan degradasi) menjadi cermin moralitas anak bangsanya. Pendidikan dehumanisasi makin nampak diberbagai media, bagaimana laku pelajar disemua tingkatan (SD, SMP, SMA dan Mahasiswa) dengan gaya ‘ala premanisme atau dengan baju gengsternya membuat resah masyarakat. Nara didik sudah tidak memiliki sikap pluralis yang menjadi identitas bangsa ini. Identitas keberagaman, kebersamaan; “bhineka tunggal ika” berbeda-beda tetapi tetap satu jua sudah tidak terlihat, justru cauvinisme menjadi sesuatu yang dibangga. Belum lagi kasus asusila oleh pelaku pendidikan. Bahkan guru tidak lagi “digugu lan ditiru”, seperti layaknya resi yang suci, mereka tidak enggan menjadi wasit dalam perkelahian siswa. Moralitas bangsa inilah yang harus diperbarui oleh bangsa yang menjadikan pendidikan sebagai roda perkembangannya.

Pendidikan merupakan gerbong utama kemajuan bangsa, perbaikan terhadap sistem dan element pendidikan menjadi agenda pemerintahan, disamping masyarakatpun menjadi poros penyeimbang terhadap karakteristik pelaku pendidikan. Rekonstruksi pemikiran masyarakat yang mendikotomikan institusi pendidikan harus dilakukan secara komperhensif demi memajukan dan membersihkan sistem pendidikan dan pelaku pendidikan di Indonesia. Sejarah pendidikan Indonesia yang manis harus dijadikan bahan refleksi bersama, bahwa Indonesia merupakan bangsa besar dan bagian dari roda dunia. Bukan Begitu?

Rohim Habibi

Santri Pengajian Kalimat, 4 April 2009, 03.00

Jumat, April 03, 2009

Belajar Nulis


Dangdut Musik Kampungan?

Ndeso, Kampungan, Nggilani, Narsis merupakan ungkapan keresahan Habibi setiap kali Rohim memutar lagu kesukaannya dangdut. Tak pelak tanpa menghiraukan orang-orang yang tidak suka atau meresahkan kecintaannya terhadap gendre musik yang beraroma melayu, ia pun semakin asyik ketika ketipung-ketipung mulai mengalun dengan keras. Ayo goyang asyik, sesekali menegaskan bahwa dangdut jadi the favorit of music.

Dangdut merupakan salah satu gendre musik Indonesia yang beraroma melayu, kemunculan musik dangdut memang tidak lepas dari melayu (1940-an). Sesuai perkembangan jaman musik melayupun tidak stagnan, selalu dinamis sesuai dengan konteks masyarakat yang berkembang. Evolusi musik dangdut tidak lepas dari masuknya unsur-unsur khas (tabla/gendang) dari india dan aroma arab (cengkok dan harmonisasi). Perubahan kondisi politik Indonesia menyebabkan masuknya jenis musik lain yang berenergi dan menggunakan alat musik elektrik. Dengan kondisi itu, dangdutpun mulai menyesuaikan diri bahkan jenis musik yang paling mudah dilantunkan dari syair apapun.

Danggut merupakan ungkapan sinisme dari orang yang tidak suka dengan ciri khas dari musik yang berkembang pesat di indonesia pada tahun 70-an. Penyebutan dangdut berasal dari suara tabla atau gendang (Ndang-Ndut) yang menjadikan dangdut semakin menjelma dalam masyarakat.

Dalam perkembangan musik dangdut tidak terlepas dari musik melayu yang menjadi akar dari musik ini. Masuknya ragam musik dari luar justru mampu membangkitkan semangat dan dangdut menjadi lebih enak untuk dinikmati oleh masyarakat Indonesia. Tahun 70-an menjadi masa keemasan bagi dunia musik dangdut indonesia, adalah roma irama menjadi motor bagi perkembangan musik dangdut dengan soneta grup. Ia mampu membius masyarakat dari segala status sosial, bahkan dangdut jadi musik favorit bagi masyarakat asia. Peran Roma semakin nyata dengan predikat raja dangdut yang dilontarkan oleh fans dangdut mania. Di sisi lain regenerasi pelantun dangdut tidak pernah mengalami stagnasi, dari masa ke masa dangdut mempesona dengan lantunan yang khas (jengkok).

Di awal perkembangan, dangdut mengisi masyarakat bawah (pekerja kasar). Mereka melepas kepenatan hidup dengan mendengarkan musik hingga menggerakkan seluruh badan (joget) mengikuti dentakan kendang dan indahnya suara seruling. Hampir disetiap pelosok masyarakat menggemari musik yang merupakan asli Indonesia. Di era 90-an musik dangdut mengalami perubahan, dari format musik dan produktifitas pencipta lagu dangdut. Masyarakat pun mulai mendiskriditkan musik yang menjadi idola bagi bangsa melayu. Stigmatisasi penggemar dangdut kampungan, ndeso pun mulai dirasakan. Disamping itu, dalam setiap pentas dangdut tidak lepas dari perilaku anarkis para penikmat dangdut.

Akan tetapi stigma tersebut mulai dikikis dengan berbagai cara termasuk media televisi berlomba-lomba memformat musik dangdut dalam berbagai fariasi, dari show, kompetisi hingga format eliminasi. Semua dilakukan demi mengembalikan citra musik dangdut yang pernah jaya dimasa lalu. Bukti bahwa musik ini menjadi favorit dan tidak akan hilang dari hati penggemar dan menghapus stigma bahwa dangdut musik kampungan. Jadi patutkah kita membunuh kreatifitas, ekspresi seseorang dengan mengatakan bahwa musik A, B atau C kampungan, tidak up to date, atau apapun stigma tersebut. Indonesia merupakan bangsa yang berbudaya dan memiliki nilai seni tinggi, sehingga tidak menerima bentuk diskriminasi apapun. So, bangsa yang besar adalah yang apresiatif terhadap kreatifitas bangsanya. Apapun pilihan seni kita, seperti ungkapan Slank " tong kosong nyaring bunyinya...., kalau suka ikutlah bernyanyi, jangan ngelarang-larang, jangan banyak komentar apalagi menghina......". Bukan Begitu?

"Doa dan Penyesalan"

Ngapunten rencang-rencang!!!

Salam bisu, salam kemunafikan…semoga tuhan selalu ampuni kita semua. Termasuk orang-orang yang tidak sadar bahwa enam ratus itu dana yang cukup untuk buat bisnis menguntungkan. Hari ini kalian mulai menanggalkan semangat idealitas demi kehidupan yang menanti, kehidupan yang lebih memandang status sosial daripada kehidupan yang substansial. Selamat bagi kawan-kawan yang pernah mengisi semangat pembebasan, kritis, dinamis dan progressif. selamat!

Hahahahahaha…………..? Idealisme Mahasiswa yang selama bertahun-tahun kamu bangun telah hilang! Semangat Pembebasan, Penolakan Penindasan, atau dengan bahasa paling mudah Kritisisme yang pernah aku dengar hanya omong kosong tidak jauh beda dengan orang sedang Nglindur…hahahahaha.

Tolak semua bentuk penindasan, jangan bunuh kami dengan biaya, kemana uang kami, audit dana STAIN, atau apapun tuntutan yang pernah aku dengar dan kobarkan dari mulut-mulut organisatoris ternyata berakhir dengan ketertundukan!!!hahahaha…… Kenapa!!? Kemana!!? Ternyata begini toh akhir dari semangat pembebasan terhadap penindasan,…

Hahahahaha……tidak salah kalau aku memilih untuk diam saat kamu berteriak dengan baju organisasi kampus (himpunan, kesatuan, ikatan atau pergerakan) jika ending semua adalah kepuasan diri. Kesadaran itu yang kau miliki, kesadaran magic yang pernah kau hilangkan dari teman-teman mahasiswa ternyata kau lumat dan kamu makan hingga tidak mampu berkata-kata dan tidur pulas di hotel executive STAIN Surakarta. Enam ratus men……………!

Takut, bodoh atau memang jiwamu munafik! Predikat SARJANA itukah yang kau cari selama ini…kenapa harus berlama-lama kalau Cuma itu yang kau inginkan. Mengaku organisatoris, mengaku advokat dengan gagah menyuarakan pendampingan terhadap teman-teman tertindas, orasi dengan lantang di gedung rektorat!! Tolak korupsi di STAIN, kemana uang kami, transparansi dana,,,hahaha. Sadar! Apa beda PPDM, dana pendaftaran, ospek, dana SARJANA!?

Enam ratus Men……..!!? untuk pinjam toga, makan satu orang, enam ratus men!!! Lama-lama Men-cret juga jiwa kritismu…tapi mungkin kalian putus asa terhadap realitas yang sulit luluh. Ya wajar, sekuat apapun semangat suatu saat pasti mengalami antiklimaks……hahaha.

Itu dulu, ungkapan kekecewaan aku terhadap jiwa pahlawan mu yang pernah aku banggakan. Semangat itu mulai jadi fosil dalam jiwa aku setelah kau sadarkan dengan realitas ini.

KAU INI BAGAIMANA???

Golput dan Kritik Sosial

Pemilu tinggal hitungan hari, berbagai asumsi, spekulasi interpretasi dan ekpresi politik dilakukan oleh kalangan dari pelaku maupun penonton "sejarah" perpolitikan Indonesia. Manuver "stimulus" politik yang dilakukan politikus sangat bervariatif, stategi dan aksi di format sesuai dengan keinginan dan kebutuhan masyarakat. Tingkahlaku para pelaku politik kelas handal sampai kelas "teri" meniadakan role of the game adab, kebudayaan dan agama sekalipun -menghalalkan segala cara- dengan harapan respon positif dan simpatik masyarakat berupa penggalangan suara. Sehingga mereka tidak segan melakukan aktifitas abnormal dari naik pohon, mengukur jalan, jual pakaian, beras, kolektor KTP sampe buka rental suara bahkan buka apotik jalanan "tukang obat", membuka tempat praktik, tempat lelang suara bagi masyarakat yang tertekan oleh kondisi ekonomi. Berbekal kepiawaian tata bahasa, logika, seni, entertaint, da'i yang serba dadakan dan dipaksakan semuanya dilakukan untuk memenuhi hasrat politiknya.
Laku fenomenal politikus yang abnormal itu tidak mencerminkan kapabilitas dan kapasitas seorang legislator, bahwa kapabilitas seorang legislator tidak hanya mampu memberi sugesti pada masyarakat, bahkan banyak nampak di media televisi (aktris spontan). DPR memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan, yang menilik laku politik dari para calon legislatif, kemudian muncul pertanyaan; untuk apa mereka ke senayan? Jika pertanyaan tersebut kita ungkapkan kepada para calon legistatif, maka dengan serentak mereka mengatakan rakyat dan bangsa ini. Bangsa ini butuh orang-orang yang mau bekerja dan berhikmad, kesadaran itulah sehingga saya mencalonkan diri atau dengan lantang mereka mengatakan panggilan hati. Walaupun statemen yang sama biasa di katakan para koruptor sebelumnya, tapi kenyataan itu terbukti ampuh bagi mantan legislatif yang pernah ke senayan sampai dua kali.
Pakar politikpun tidak berdiam diri dalam menyoal tentang pemilu dan laku para caleg, mereka mulai mengeluarkan taring untuk sekedar mengembalikan nama baik (politik etis) seperti halnya VOC yang juntrungannya tidak lain kesalihan pribadi, atau benar-benar untuk proses pendewasaan politik bagi masyarakat, bahwa sistem politik prosedural mesyaratkan pemilu sebagai roadnya sehingga kesadaran perlunya mengaspirasikan masyarakat lewat caleg yang kapabel tentunya. Perlunya menyalurkan aspirasi masyarakat lewat pemungutan suara demi terciptanya bangsa yang besar dan "...berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia" harus di tegakkan dan Demokrasi Prosedural menjadi jalan bagi terciptanya cita-cita bangsa harus sukseskan. Akan tetapi tidak sedikit yang mencoba membangunkan kesadaran masyarakat lewat jalan kritik sosial, bahwa sistem politik Indonesia saat ini tidak mencerminkan arah bangsa, oleh karena itu masyarakat harus sadar bahwa dalam penentuan pilihan (Golput) merupakan kesadaran yang tinggi akan realitas sistem politik yang manipulatif.
Potensi golput dari berbagai penyelenggaraan pemilu baik daerah maupun negara menjadi kekuatan tersendiri bagi proses demokrasi. Pilihan untuk memberikan perubahan melalui golput adalah sikap pendewasaan laku politik. Dengan fenomena inilah, Sehingga Wacana Golput mulai membakar jenggot dan menguras saku para caleg (calon legislatif). Masyarakat mulai apatis dengan realitas bahwa siapapun yang jadi, mereka tidak kenal dan mengenal dengan mereka. Asumsi dan argumentasi itulah kenapa mereka harus memilih golput. pola pikir itulah kemudian menimbulkan pragmatisme berfikir dan gerakan, kenyataan bahwa tidak populis dan aspiratifnya caleg memberikan ekses hedonism di kalangan masyarakat. Tingkah para elit politik pun seringkali menjadi bagian dari presuur politik bagi masyarakat, ketertundukan terhadap tokoh masyarakat merupakan salah satu asbab wurud dari laku politik masyarkat.
Bahkan tidak sedikit masyarakat yang melakukan pilihan golput karena kesadaran reformatif untuk merubah sistem politik yang diskriminatif dan syarat dengan money politik serta prinsip dagang sapi. Sangat ironis menyimak laku politik. kesadaran reformasi itulah yang seharusnya melatari gerak dan laku para caleg, sehingga analisa terhadap kebutuhan dan kondisi realitas masyarakat jadi bekalnya.
Apatisme dan pragmatisme masyarakat terhadap sistem politik saat ini tidak lain karena laku para politikus yang tidak mencerminkan seorang pemimpin yang aspiratif dan komunikatif. Sehingga golput jadi pilihan yang perlu dihormati dan dihargai oleh pelaku dan pengamat politik Indonesia. Tetapi tidak semua masyarakat mampu memaknai pilihan mereka (golput) sebab tidak sedikit pilihan itu dilatarbelakangi oleh kekecewaan dengan janji-janji yang selalu disebarkan oleh para pelaku politik. Akhirnya, apapun pilihan masyarakat, kita harus menghormati sebagai kemajemukan bangsa ini dan pendewasaan politik serta pemberdayaan pendidikan politik bagi bangsa ini harus selalu dilakukan dan digalakkan tidak lain karena bangsa ini butuh obat dari penyakit mata dan hati. Bukan Begitu?


Rohim Habibi
Santri Pengajian Kalimat, Kartasura.