"G U B U K K I T A"

Gubuk Untuk Sekedar Berbagi...

Minggu, Juni 07, 2009

Perempuan Tanpa Ruang

Perempuan Tanpa Ruang

Siapa yang tidak mengenal Muhammad Dhani, sosok yang mengidolakan Soekarno dan Gusdur. Tegas, cerdas, produktif dan "nyleneh" menjadi ungkapan yang tepat untuk mengungkapkan sosok Muhammad Dhani.

aih senangnya dalam hati

kalo beristri dua

seperti dunia

ana yang punya

kepada istri tua

kanda sayang padamu

kepada istri muda

i say i love you

istri tua merajuk

balik ke rumah istri muda

kalo dua dua merajuk

ana kawin tiga

mesti pandai pembohong

mesti pandai temberang

tetapi jangan sampai

eh pecah temberang

Semua orang akan menggelengkan kepala sebagai ungkapan kekaguman jika syair di atas dilantunkan oleh suara "serak-serak basah" khas Ahmad Dhani disertai komposisi alat musik yang syarat akan nilai estetisnya. Diantara para fans Ahmad Dhani adalah kaum wanita yang mampu dihipnotis oleh sosok superman bagi al, el dan dul.

Akan tetapi, ungkapan diatas bagi aktifis perempuan dan "Gender", mengandung makna yang provokatif dan diskriminatif. Seakan-akan superioritas mutlak milik kaum adam "seperti dunia ane yang punya" sebaliknya perempuan diposisikan sebagai yang tertunduk hanya dengan ungakapan "i say i love you". Secara "lembut" penyair ingin mengatakan bahwa laki-laki berhak untuk mencintai berapapun sesuai dengan dalil agama (secara tekstual).

Musik adalah cerminan dan media untuk mengungkap realitas sosial disamping sebagai "curhat" personal. Dalam hal ini bahwa masyarakat masih mengamini apa yang diungkapkan oleh dani lewat "madu tiga" sangat jelas. Perempuan sebagai kaum yang seharusnya "dilecehkan", justru tergila-gila oleh indahnya komposisi alat musik dan balutan syair yang simple. Sikap tidak reaktifnya kaum wanita menjadi legitimasi atas superioritas kaum laki-laki. Hal ini bertolak belakang dengan semangat "gender" yang semarak disuarakan oleh aktifis perempuan.

Hal ini tidak semestinya terjadi dalam negara yang masih mencari format persamaan status sosial, dan musik sebagai alat komunikasi sosial tidak seharusnya mendeskriditkan pihak manapun, walau atas nama kebebasan berekspresi. Bukan Begitu?

Rohim Habibi

Anak Kalimat, Solo (15 Juni 2009)