"G U B U K K I T A"

Gubuk Untuk Sekedar Berbagi...

Sabtu, Agustus 15, 2009

Minggu; Menelusuri Kenikmatan

Nikmatnya bibirmu kasih, menumbuhkan semangat kejantananku, setelah hampir tiga minggu tak kurasakan lagi berkulum dengan lidah yang keras yang beraroma apel prancis. Seperti biasa, sapaan lembut lewat ciuman mesra kau tancapkan dibibir sebelah atasku, tanpa permisi kepada ku, sesekali meledek dengan tusukan lidah tajam mu seperti tusukan ken arok kepada sang guru. Aku tak pernah diam dan malu menerimanya, karna itulah rutinitas kita di awal pertemuan dan sebelum hari perpisahan.

Bibir merah jambu mu dengan pelan kau posisikan tepat diatas pipi, "apa kabar sayang" katamu dengan pelan, membuat bulu dada ku berdiri sebagai respon rasa nafsuku. Aku sengaja tak memberi suara balasan, hanya cumbuan tanpa lelah dari mulut kotorku yang berjalan tanpa komando, seakan melalui jalan tol yang biasa aku lalui bebas tanpa hambatan, paham dan detail, sebagai reaksi verbal dari pertanyaanmu. Malam itu aku ingin menghabiskan rindu ku untuk membunuhmu dalam kenikmatan sesungguhnya. Tapi "bangsat", ntah kata ini aku tujukan kepada siapa saat itu karna spontanitas, sebagai perasaan kesal yang teramat karna kenikmatan itu hilang ditelan matahari yang muncul tanpa permisi terlebih dahulu. Hati kecilku melunak, "ternyata hanya mimpi" gumam ku.

Tak berhenti disini, dengan rasa penasaran, aku bangun dan mulai menelusuri kembali kamar sempit penuh pakaian layak buang, bersama rasa itu, aku merajut kembali mimpi malam itu, memburu wajah indahmu bersama "sosoran" bibir mesum ku layaknya busur mulai lepas dari panahnya. tak lama otak kiriku membuat rencana penyambutan bidadari dari kayangan, kau datang mencari selendang yang kau tinggal di bawah bantal ku, tanpa pakaian jadi kau mendekatiku yang masih bingung. Tak lama aku yang penasaran segera menjamu, Aku mulai memasang wajah playboy berharap malam itu aku rasakan lagi, "malam ini harus kena" celotehku memberi semangat pada nafsu. Kali ini aku menjadi play maker seperti dalam permainan sepakbola, semua serangan bermula dari gerak tubuh ku. Hampir sampai di lembah yang kering, dihiasi rimbun rerumputan, "sadar!!!" katanya, seperti malaikat memburu iblis laknatullah, Aku takut bukan main, kejantananku hilang terbang bersama kibasan "cemeti amal rasuli" itu, aku mencari apapun disekitar ranjang kumuh ku untuk mengobati rasa takut yang teramat. "bajingan" dalam hatiku, memaki kekasih yang berubah setengah dewa. Aku takut, aku harus bagaimana, pintaku kepada Pencipta malaikat-malaikat.

Lima belas menit kemudian, aku mulai nyadari Kasih-Sayang Allah swt begitu tak terduga dan banyak, otak positifku berjalan layaknya manusia; seandainya aku terus berdansa dan menari bibir dan lidah dengan kekasihku mengikuti dentakan musik jantung, disetiap perjumpaan dan perpisahanku, entah apa yang terjadi? Aku malu, walau sebenarnya aku mau -layaknya seorang remaja-, aku mau tapi kali ini benar-benar aku malu, hati suciku berkata "aku mau ini terjadi jangan dalam hanya mimpi tapi setelah ikatan syah terjadi sebagai bukti kebolehanku (pernikahan).

16-08-2009
Rohim Habibi, Pengajian Kalimat, Solo

Jumat, Agustus 14, 2009

Refleksi Kemerdekaan

Enam hari kedepan kita bangsa indonesia segera menikmati keindahan sebuah keberhasilan dari perjuangan (moral, material serta spiritual) para pahlawan. Bangsa ini akan merayakan kemerdekaan ke-64 dengan kondisi dan situasi bangsa yang berbeda dari sebelumnya. Perbedaan tersebut mulai tampak dari kemegahan penyambutan hari bersejarah yang syarat nilai itu.

Kemerdekaan bagi bangsa ini ternyata tidak serta-merta dipersepsikan sama oleh pelakunya dari segmentasi yang berbeda. Makna dan rasa Kemerdekaan bagi masyarakat miskin berbeda dengan para pejabat dan pelaku bisnis di negeri ini. Masyarakat memaknai kemerdekaan sebagai keinginan untuk keluar dari belenggu penindasan sistemik di segala sektor kehidupan.

Ketidakmampuan penguasa bangsa ini dalam memenuhi keinginan masyarakatnya, menyebabkan kemerdekaan dipandang hanya sebagai Show of Force oleh masyarakat. Antusiasme masyarakat dalam menyambut hari kemerdekaan sangat berbeda saat ini. Masyarakat lebih memilih mencari kebutuhan hidup -sandang, pangan, papan- daripada mengikuti kemeriahan peringatan kemerdekaan.

Ironis memang, tapi laku kehidupan tersebut terjadi pada masyarakat di sekeliling kita. Kemeriahan momentum kemerdekaan seakan hanya milik anak-anak atau remaja. dengan berbagai lomba yang diadakan walaupun hanya sekedar kemegahan pesta.

Hal ini tidak terjadi pada masyarakat -orang tua dan dewasa- dengan merelakan kesibukan duniawi demi penghormatan terhadap bangsa. Bahkan tradisi syukuran -berdoa- pada malam peringatan kemerdekaanpun mulai hilang nilai spiritualnya.

Keadaan ini sudah terjadi sebelumnya, dimulai ketika peran kontrol pemerintah terhadap kebutuhan masyarakat mulai mandul. Pemerintah tidak mampu memberikan kenyamanan terhadap masyarakat untuk mendapatkan kebutuhannya secara layak. Maka tidak heran jika masyarakat miskin tidak lagi peduli terhadap kemerdekaan atau bahkan memaknai kemerdekaan itu secara formalitas.

Bayangkan jika kondisi ini tetap terjadi sampai generasi selanjutnya? Padahal bangsa ini sudah mengikrarkan kemerdekaannya selama 64 tahun. Bangsa yang besar adalah memberi penghormatan terhadap para pahlawan tentunya sejarah tidak boleh dilupakan. Oleh karena itu, realisasi terhadap janji pemerintahan harus dikontrol dan selalu digalakkan. Bukan hanya obrolan dalam mimpi belaka yang hilang bersama datangnya matahari.

Ayo Bangsa Ku...
Bangunlah jiwanya, Bangunlah badannya...

Malam ini, disebuah Hek depan Yarsis Solo. Aku bersama Tukang Becak, Penjual Hek, Mahasiswa UMS dan salah seorang dengan pakaian hitam menempel di atas sakunya, sebuah pin bergambar pohon beringin. Aku menjadi pendengar yang budiman, sedang mereka saling tukar pikir -tentang kemerdekaan- untuk sekedar melewati malam ini. Salam Dari Pendengar Mu yang Budiman.

10-08-2009
Rohim Habibi, Pengajian Kalimat, Solo

Lorong Hitam

Dalam diam aku melihat lorong hitam
Aku berjalan menerobos tanpa lelah
Berharap menemukan akhir dari pencarian
Diriku semakin terkejut melihat hiasan lorong hitam
Kenikmatan dunia yang ingin aku nikmati
Keindahan semu seperti dalam dunia terang

Entah,
Sebagai seorang manusia
Aku diam untuk perang menakukkan malaikatku
Hampir ku taklukkan malaikat itu, tapi aku tak mampu
Setiap kali lilin menyala aku diam
Menggoda jiwaku; "Ayo masuk mas? Perjalanan masih panjang,
Mampir barang sejenak, teman-temanmu juga ada dan menunggu."

Entah,
Aku berperang tanpa luka
Perjalanan selanjutnya menemui gerbang besar
Yang semua orang bahagia dan menanti didepannya
Berharap segera di buka...
Aku diam dan beserta mereka...

Entah...

12-08-2009
Rohim Habibi, Pengajian Kalimat, Solo

Gila Mata...

Menangisi kata dalam berita
bersama jasad yang meronta
memburu, membunuh demi cinta

Terpojokan oleh suasana
terendap dalam bingkai penuh noda
mata mengurai cerita penuh sandiwara

Atas nama gila
kau tutupi mata dalam hati
demi dunia dalam mimpi yang tak berisi

Anak menertawakan mata di depan mata
para pesohor berkerudung cerita
menjual mulut menawarkan kata
dalam cerita di depan mata

Keluarga kecil berdebat memposisikan mata
mencari dambaan hati segera mati
bersama misteri dan ilusi para penyaji
yang tak berbudi

Mata berjalan menelusuri lorong
sejenak berhenti membawa penawar
mendoktrinasi dunia nyata tak belas kasih
demi sesuap roti yang tak terbeli
hanya pemilik mata dan koorporasi

13-08-2009
Rohim Habibi, Pengajian Kalimat, Solo

MATA (1)

Merdekalah

Katanya Merdeka!
benarkah yang kau katakan
berasal dari rasa yang kau rasakan selama ini
ataukah hanya ungkapan lidah semu
seperti anak kecil yang ingin mendapatkan mainan
tanpa bekas setelah delapan belas
sadarlah untuk kemerdekaan

Merdekalah
merdekalah dari mulut mu
merdekalah dari tangan mu
merdekalah dari kaki mu
merdekalah dari otak mu
merdekalah dari nafsu mu
merdekalah dari rasa takut untuk bicara tidak
merdekalah dari darah orang tua mu
merdekalah dari malas dan bosan mu
merdekalah dari jalan mu
merdekalah dari tanah mu
merdekalah dari dunia mu
sebelum kau merdeka dari dunia mereka
dunia yang kau puja selama ini

14-08-2009
Rohim Habibi, Pengajian Kalimat, Solo

Aku Malu

Adzan akhirnya bersenandung juga
setelah sehari maut hampir menjemput
mencekit kerongkongan kecil ku
kemenangan akhirnya datang juga; kata ku
kemenangan dari orang-orang kalah
alhamdulillah

Aku nikmati suguhan ala prancis
minuman ala restoran jepang, rokok ala italia
aku manjakan diriku dengan kenikmatan dunia
karna ini kemenangan ku
semua kenikmatan adalah teman ku saat ini
hormatilah kemenanganku kawan

Sementara di sudut depan
aku lihat keluarga mondar mandir
menanti nasi yang sebentar lagi matang
menikmati air putih dengan rasa lapar
sekedar mengganti kalori yang terbuang
aku malu mengatakan kemenangan
Tuhan semoga matamu berpaling saat aku membusungkan dada
aku malu, di depan kekemenanganku...

14-08-2009
Rohim Habibi, Pengajian Kalimat, Solo

Rabu, Agustus 12, 2009

Aku dan Karakter Bangsa

Setiap manusia tidak lepas dari masa anak-anak, masa dimana semua keinginan bisa terpenuhi dengan mudah. Selain karena faktor orang lain –orang tua- juga karna faktor sosial yang memberikan ruang lebih terhadap anak. Artinya masyarakat memiliki porsi yang berbeda dalam memperlakukan anak. Hal itulah yang kemudian membuat anak bisa berimajinasi menjadi seseorang yang ia idamkan atau idolakan.

Seperti aku misalnya, dunia kecil ku adalah dunia idealisme. Dunia yang ada dalam benak manusia Indonesia, bahwa dunia kecil merupakan dunia untuk kehidupan yang layak dan seharusnya dimiliki oleh manusia. Dunia kecil ku akan aku mulai:

Dulu, aku ingin menjadi orang seperti ayah berani, kuat, gagah dan tegas. Aku berfikir bahwa tanggung jawab seorang ayah sangat besar –penjaga, pengayom, pemberi- terhadap keluarganya. Sehingga dengan kondisi fisik dan spiritual yang kuat, keluarga menjadi tentram dari segala godaan baik internal maupun eksternal. Tapi aku sadar, tidak mudah untuk merubah perilaku yang bermula dari kebiasaan. Butuh waktu lama untuk merubahnya terutama mengalihkan godaan terhadap manusia lain jenis. Kebiasaan mencari pasangan yang lebih potensial masih terpatri dalam jiwa kecilku. Seperti halnya Masyarakat Indonesia kebiasaan mencari simpanan atau sekedar untuk mengobati rasa ingin mampu menerobos sekat profesi dan ekonomi.

Dulu, Aku kecil termasuk pecandu layar mati –televisi- khusus segmen olahraga itupun masih dipersempit cabang permainan sepak bola. Hobi itu dimulai dari event besar bertakut World Cup 1994 dengan America Serikat sebagai tuan rumah. Aku sangat menikmati saat Brasil –negara dengan label juara terbanyak- memainkan partai. Satu orang yang selalu aku tunggu aksinya di lapangan. Romario de sauza dengan tarian ala samba, ia menari melewati pemain bertahan untuk menjadi top score dan memenangkan laga. Dan benar brazil keluar sebagai juara lewat drama adu pinalti melawan italia.
Terbersit dalam angan aku ingin jadi seperti Romario yang gagah dan berani melewati lawan, walaupun dengan postur yang mungil. Karena beliau aku jadi mengagumi olah raga, aku ingin bermain sepakbola karena sepakbola merupakan ruang dan kondisi yang bisa merubah karakter nakal ku.

Asumsi kecilku sepakbola syarat nilai sportifitas dan fairplay. Tapi aku sadar, sejalan dengan modernisasi, sepakbola tidak lagi mengedepankan estetika atau etika seperti saat brasil dengan romarionya main. Disini sepakbola telah mengalami akulturasi dengan berbagai cabang olah raga termasuk karate, kartu bahkan tidak lepas dari sisi materi –judi-.

Dulu, Masa kecilku selain penuh dengan uforia, juga tidak lepas dari dunia pendidikan. Aku sudah mengenyam pendidikan dari kecil, tidak tanggung ruang berlabelkan agama aku kunyam dari Ibtidaiyah hingga Wustho’. Seperti biasa, kali ini aku bermimpi tentang sosok ustadz yang santun -ilmiyah, amaliyah dan ilahiyah- dan terhormat dimata masyarakat. Tapi aku sadar, masyarakat modern mulai menafikan ’undur ma qala wala tandur man qala’. Dan aku yang terlahir dari keluarga muallaf tidak mungkin bisa membongkar pola pikir masyarakat yang demikian.

Dulu, Berbeda dengan masa anak, remaja aku mulai memikirkan manusia lain –orang tua dan teman sekitar- untuk mendapatkan rasa aman. Akupun berpaling dan tertarik melihat serdadu yang dengan gigih membela bangsa dari musuh. Serdadu atau militir mampu memberikan rasa aman dan nyaman kepada masyarakat secara luas. Tapi sekali lagi aku sadar, aku mulai menjadi manusia penakut. Aku takut kekerasan, dan aku sadar dunia militer tidak terlepas dari logika tersebut.

Dulu, Birokrasi mulai merasuk dalam hatiku lewat cerita orang-orang di sekelilingku, termasuk orang tua. Kenyamanan secara finansial akan merubah diriku dan keluarga menjadi terhormat. Ruang pengabdian dan penghormatan menjadi lebar melalui jalan birokrasi, bahkan dimata masyarakat sekalipun. Tapi aku sadar, logika kerajaan masih kuat di Indonesia, bahwa jika ingin menjadi penguasa maka harus dari penguasa dengan kata lain harus memiliki darah biru. Selain kuat seraca hirarki juga finansial menjadi jalan alternatif bebas hambatan.

Dulu, Bisnis menjadi tujuan selanjutnya, dan akupun terbangun dari mimpi dan memasuki dunia sadarku. Dunia bisnis bukan dunia mudah, melainkan segala hal yang ada di atas menjadi prasyarat utama menjadi seorang pengusaha di negeri Indonesia. Untuk menjadi bahagia –bisnis- secara materi, kita harus mampu berjudi, berani melakukan kekerasan, oportunis, terutama ber-uang.

Dunia kecil sangat menarik jika kita mau menilik kembali. Kehidupan dimana kita mampu membangun dan melukis dunia lain selain dunia real. Aku sadar dunia kecil merupakan dunia mimpi yang harus disadari sebelum benar-benar dirubah bahkan direalisasikan. Bagaimana?

Rohim Habibi, Pengajian Kalimat, Solo