"G U B U K K I T A"

Gubuk Untuk Sekedar Berbagi...

Rabu, Agustus 19, 2009

Babak 3; Indahnya Ramadhan

Setiap manusia memiliki perasaan bangga jika didalam hidupnya bisa bertemu dengan sosok yang sangat diidamkan, pun demikian dengan Ramadhan. bagi seorang muslim bulan suci seperti tamu agung yang selalu dinanti, bulan suci ramadhan merupakan Bulan Ampunan, Bulan Penuh Rahmah, bulan dimana pintu Surga dibuka dan pintu Neraka ditutup dan terkunci, demikian menurut ulama dalam setiap khutbah keagamaan. Akupun mengamini ungkapan itu, karna memang dalam pendidikan agama ku, bulan itu menjadi dambaan bagi semuanya, bahkan tidak jarang teman-teman sering bergumam dengan kerelaannya jika ajal menjemput asalkan dibulan ini, walaupun dalam hatiku sering bertanya tentang kebenaran itu.

Setiap bulan Ramadhan hari-hariku dihabiskan bersama teman-teman di kampungku, selain karena rasa kangen yang begitu mengakar, keinginan untuk mengikuti pendidikan kilat "pasaran" di pesantren menjadi alasan lain selain karena keinginan untuk melihat malaikat-malaikat berkerudung. Walaupun dalam kitab ta'lim muta'alim motivasi atau niat seperti itu justru menghalangi jalan ilmu dan amal kedalam otak kita...? hatiku mencoba menjelaskan, tapi aku tak perduli, yang penting bisa ketemu! egoku mencoba menutupi rasa malu dalam hati.

Bulan ramadhan bagi ku dan teman-teman ku adalah bulan yang membuat hati senang, buat hidup lebih hidup, pun aku kira kaum muslimin yang lain. Bukan hanya karena pelipatgandaan pahala atas amal ibadah yang kita lakukan, Ya! menurut teks agama perbuatan amal baik dibulan Ramadhan maka pahalanya dilipat gandakan, apalagi jika kita mampu mendapatkan malam al Qadr, Khairun Min Alfi Syahrin, begitu petikan dalam kitab suci Alqur'an. Selain argumentasi syar'iyah, aku dan teman-teman mempunyai alasan yang bagiku terkesan unik dan nyeleneh, karena di bulan Ramadhan ada "pasaran", dan kita bisa lihat santri-santri putri yang selain bulan ramadhan sulit ditemui, atau jika ingin melihat harus dengan berbohong. selain itu dari segi materi, di bulan Ramadhan kita akan mendapatkan materi khusus dewasa -Kitabun Nikah, 'Uqudul Jain, atau Quratul 'Uyun- yang menjadi faforit para santri. Besok kita pilih kitab Quratul Uyun kang? usulku kepada santri yang lebih tua.

Pasaran merupakan belajar kitab yang dilakukan dengan metode kilat biasanya dilakukan dimalam hari setelah ba'da tarawih. Kitabun Nikah, 'Uqudul Jain, atau Quratul 'Uyun menjadi kitab-kitab yang sering diminta untuk dikaji, karena selain membahas masalah rumah tangga juga hal-hal yang berkaitan dengan hubungan sex, itu kira-kira penjelasan yang dipaparkan oleh santri yang lebih tua. Pasaran merupakan strategi pendidikan yang menarik dan sering tak mampu dijangkau oleh peneliti pendidikan di Indonesia, selain dari segi materi, metode penyampaian pembelajarannya pun berbeda dan lebih familiar yang merupakan khas pesantren tradisional.

Selain itu, santri putri menjadi alasan mayoritas kenapa pasaran selalu rame. Sesok malaikatku ikut ga ya...? Besok dia pake kerudung apa ya...? pertanyaan yang sering memotivasi ku untuk tidak terlambat dalam setiap seasonnya. Semoga dia datang dengan wajah yang pernah aku bayangkan dalam lamunan, ingin ku sekali lagi. Rasa lelah yang kita rasakan dari siang, seketika hilang jika malam mulai menjemput, dan perasaan menginginkan malam yang lebih panjang selalu terletup dari otak ku.
Keinginan-keinginan ku ini menjadi interpretasi dari makna bulan Romadhan sebagai bulan yang penuh kebahagiaan. Memang melenceng jauh dari makna sesungguhnya dari syahrul baraqah seperti yang kita baca di buku-buku terjemahan atau berbeda dengan yang pernah kita dengar dari ustadz-ustadzah.

Bulan Ramadhan memang bulan yang sangat mulia, bulan yang menumbuhkan rasa bangga bagi umat Islam walaupun dengan cara pandang yang berbeda, tetapi perasaan itu muncul sebagai penghormatan kepada bulan penuh ampunan. Ayo cepat bulan puasa, datanglah! Aku rindu kepada mu? Tak sabar ingin segera bertemu dengan malaikat kecil ku? ungkapan polos dalam jiwa.

20-08-2009
Rohim Habibi, Pengajian Kalimat, Solo

Memaknai Padusan

Setelah hampir tahun keempat dari enam tahun keberadaan ku di pengasingan -solo-, aku mulai menikmati kehidupan disini, akulturasasi berbagai aspek kehidupan yang seharusnya sulit disatukan mengalir begitu saja terutama dalam dialektika -jawa alus dan jawa kasar-, maklum aku dari pemalang yang secara dialek berbeda dengan solo, kini mulai tak terlihat, aku mulai menyatu dalam budaya masyarakat yang sekarang aku tempati. Maaf, kadang aku tertawa dalam hati ketika kembali ke kampung halaman -mendengar dialektika asli- yang bagiku mulai terdengar asing. Padahal aku dan siapapun tidak ingin ini terjadi, menertawakan bahasa asli, tradisi tanah leluhur, sebab menghormati berbagai kebudayaan dan bahasa, merupakan media pemersatu bangsa indonesia yang multikultural. "Al 'Adatu Muhkamatun", demikian menurut ushul fiqh yang menjadi hujjah kenapa kita harus melestarikan kebudayaan dan tradisi, walaupun masih disortir kedalam tradisi yang baik.

Diawal kehidupan ku di kota lain, mungkin siapapun merasakan, perasaan asing atau keterasingan menjadi wabah yang tak terhindarkan atau dengan bahasa kekaguman, kekaguman itu yang menjadikan aku harus belajar banyak tentang kebudayaan dan tradisi yang ada, minimal aku harus merubah kebiasaanku makan makanan pedas dengan masakan manis khas solo. Selain itu, ada satu tradisi yang membuatku merenung, walaupun sebetulnya secara substasial sama dengan yang ada di Pemalang -keramas-, yaitu kebiasaan melakukan pembersihan diri sebelum memasuki bulan yang suci, Syahrulmaghfirah, "padusan".

Padusan yaitu tradisi membersihkan diri dari segala kotoran -baik lahiriyah maupun batiniyah- untuk menyambut bulan suci yang sering dilakukan dengan mandi bersama. Setiap sebelum puasa, minimal satu minggu sebelum pelaksaan, masyarakat berbondong-bondong untuk membersihkan diri di pemandian-pemandian, atau di sungai besar. Kita mau memasuki bulan suci maka seyogyanya kitapun harus suci, begitu penjelasan yang pernah aku dengar. Kadang secara kasat mata -jasadiyah- badan kita terlihat bersih tidak nampak kotoran yang menempel, akan tetapi kita tidak tahu bahwa sebetulnya badan kita masih kotor dari hadast besar, karena ketika membersihkan kotoran dari hadats besar tidak sepenuhnya, atau masih ada sisa, maka disini fungsi padusan sangat tepat. hampir Setiap masyarakat di solo tahu makna dan substansi dari padusan, sehingga padusan dianggap sangat penting bagi masyarakat.

Akan tetapi sejalan dengan modernitas, sebetulnya tidak ada kaitannya, masyarakat mulai meninggalkan makna sesungguhnya laku kultural ini, masyarakat mengetahui dan melakukan padusan sebatas hasil tradisi tanpa menelaah subtansinya, sehingga tidak jarang padusan dilakukan dengan rekreasi kepemandian, atau lebih ironis, sebagai kebebasan untuk bermain dialam bebas yang sering dilakukan oleh kaum pemuda. Dengan alasan padusan anak-anak mendapat kemudahan -kebebasan- dari orang tua, bahkan kebebasan tidak masuk sekolah pun bisa diperoleh sekedar untuk padusan yang mereka tidak tahu makna dan substasinya.

Padahal padusan menjadi bukti kelunakan agama dalam mengajarkan nilai-nilai agama kepada umatnya, padusan merupakan tradisi yang substansial, artinya tradisi yang perlu dilestarikan karna memiliki nilai yang tinggi secara syar'iyah, sebagai pembersihan diri. Bahwa membersihkan diri dari segala kotoran menjadi kewajiban umat manusia, terutama Islam. lebih-lebih padusan dilakukan sebagai penyambutan datangnya bulan yang suci, bulan penuh rahmat ini. Selanjutnya, masyarakat harus dewasa dalam melakukan dan menempatkan tradisi padusan atau apapun untuk menyambut Ramadhan sesuai makna dan substansi yang sesungguhnya.

Sebagai manusia aku harus bangga terhadap masyarakat ini, terutama strategi pendidikan dengan pendekatan tradisi untuk menanamkan nilai-nilai agama seperti padusan, misalnya. Nilai-nilai agama -kesucian- bisa diajarkan tanpa menghilangkan tradisi yang ada. Begitu seharusnya bangsa ini memandang keberagaman bangsa, multikulturalisme, bukan menyalahkan atau sampai mengkafirkan umat lain selain kita, naudzubillahi min dzalika. Bukan Begitu?

19-08-2009
Rohim Habibi, Pengajian Kalimat, Solo

Babak 2; Pelajaran Hidup

Kita tidak pernah menghendaki kehidupan penuh amarah, pun mereka, tidak mau hidup dalam kesedihan, tapi free will menjadikan kita harus menerima atau marah.
Seperti ketika saya harus menerima –pasrah- terlahir dalam lingkungan yang serba kekurangan, atau terlahir dengan kesedihan. Tak pelak perasaan marah kadang muncul secara spontanitas, walaupun dalam kadar yang paling sedikit –mengeluh- dengan realitas kehidupan ini. Pertanyaan-pertanyaan, kenapa aku terlahir seperti ini? Andaikan tuhan mau kompromi, maka aku ingin kehidupan yang lebih indah dibandingkan saat ini. Atau aku ingin hidup layaknya anak konglomerat serba kecukupan, dan akan selalu menafkahkan harta yang aku miliki, ingin ku dengan nada skeptis.

Sikap itulah yang membuatku semakin terpuruk, hidup tanpa optimis dan terpasung dalam pesimistis yang dalam, seakan hidup tanpa arti tanpa gairah seperti orang lain, hidup penuh tawa, mereka dengan mudah mendapatkan apapun yang ia inginkan dengan karunia Tuhan ku yang lebih. Sedangkan aku, hidup dengan ketidakpastian, hidup penuh amarah, bahkan orang lain memandangkan diriku sebagai orang paling hina. Kadang mereka tak menganggap keberadaanku sebagai makhluk Tuhan yang mulia. Kenapa? Pertanyaan yang menggelitik dalam diri ku. Innalillah. Ya, semua yang ada di dunia adalah milik-Nya dan sepatutnya akan kembali kepada yang Haq “The One” La Syarikalahu.

Malam ini, aku hadir dalam kesunyiaan membawa emosi yang menggunung, terbang melayang melewati keremangan bulan diatas kepala ku. Malam ini, aku tidak seperti biasa menjaga malam dalam kebosanan, aku tak mampu menahan ketertarikanku kepada indahnya malam, aku tertidur. Aku bingung, memasuki kehidupan lain penuh tragedi, penuh ketidaknyataan, mungkin karna aku tidur membawa perasaan dendam, seakan Tuhan dengan kekuasaan-Nya ingin menjawab semua skeptis dalam raga ku. Malam ini aku seakan tersadarkan betapa Tuhan Maha Agung, betapa dalam penciptaan-Nya ia Maha Adil. Aku bingung, Kenapa begini? Dalam kebingungan aku merenung.

Aku melihat malaikatku, pesonanya mengalahkan semua malaikat-Nya, cantiknya mengalahkan bidadari sekalipun, aku ingin segera mendekapnya, dalam emosional aku bergerak. Tapi apa yang aku dapat, aku terperangah, seperti film kartun, dia nyata tapi tak tersentuh, usahaku untuk menjemputnya dalam pelukan tak ubahnya “si boncel merindukan bulan”, sia-sia. Tuhan apa ini? Tanyaku kepada Penguasa Kehidupan maya. Aku tak mampu mengurai jawaban semua pertanyaan-pertanyaanku malam ini. Aku tak percaya pada diriku sendiri, aku tak berdaya melukis perasaan ku saat ini, “Aku lemah, tak berdaya”, sesalku dalam jiwa yang penasaran.

Belum lagi aku mengurai jawaban itu, aku terkagum melihat pesona diriku yang lain, aku seperti raja, segala keindahan dunia aku miliki, “ Ini seharusnya aku?” Celoteh ku dengan perasaan sombong. Aku tak perlu lagi mengais rezki Mu dengan keringat sebesar jagung, atau tak perlu mewarnai kulit ku dengan warna hitam karna terik matahari. Ini seharusnya aku, tak perlu hidup dibawah cemoohan mereka, tak perlu mencuci kaki sebelum masuk tempat ibadah karena aku hidup dengan barang yang berharga, bangganya aku atas semua yang terjadi saat ini. Tapi sesaat kemudian, aku melihat makhluk nista mendatangiku dengan suara seperti radio rusak –tak jelas dan pelan-, ia meminta belas kasihan kepada ku, aku yang di dunia nyata hidup dengan rasa sosial yang tinggi, berubah seperti mama tiri di senetron-sinetron indonesia, kejam tak berperi sosial, memaki tanpa dosa seakan sudah kebiasaan, padahal dalam hati aku menangis ingin segera memberikan semua yang aku miliki untuk mereka dan kaum mereka. Aku kaget, terkaget-kaget, aku berontak, Aku tak mau kehidupan ini! Dalam marah aku teriak. Tuhan, Kembalikan aku apa adanya, Aku Minta maaf, Engkau Maha adil, sesalku spontanitas.

Aku terbangun dari mimpi, dengan kondisi seperti olahragawan, keringat bercucuran, ketakutan, seakan mendapati musuh yang bukan tandingan. Aku diam dan mencoba menyimpul semua kejadian, malam ini. Kehidupan seperti roda, berputar, dalam menjalani kehidupan manusia saling ”Sawang Si Nawang” saling melihat tanpa merasakan, dan manusia tidak sadar bahwa segala yang terjadi adalah miliknya, itu kira-kira kesimpulan ku dalam kondisi yang setengah sadar. ”Terima kasih Tuhan” ucapku diakhir pencarian ku, malam ini.

19-08-2009
Rohim Habibi, Pengajian Kalimat, Solo

Selasa, Agustus 18, 2009

Babak 1; Skeptis

Hidup adalah perjuangan dan perjuangan butuh persiapan, pikir ku mencoba menapaki kehidupan yang baru. Seperti seorang psikiater sedang memberi motivasi kepada kliennya. Bahwa kehidupan seperti roda yang berputar penuh probalilitas, kita sebagai makhluk paling sempurna -teks agama- memiliki potensi jasadiyah dan rohaniah untuk mengarungi kehidupan ini. Seperti halnya teori spiral -freire-, refeksi menjadi langkah tepat untuk membuat rencana dan melaksanakannya sebagai act, itulah kira-kira yang aku lakukan saat ini, mencoba flashback mempersiapkan dan mengasah pusaka lengkap dengan tameng untuk menuju kehidupan yang penuh perjuangan. Semoga Tuhan Memberkati; kata mutiara yang terletup dari hati diakhir renungan ku.

Hari-hari ku menjadi berubah karena rasa marah yang terlalu dalam, sejak tragedi memilukan -bunuh diri- karena cinta bertepuk sebelah tangan, Laku kehidupanku menjadi berubah 99 % lebih anarkis serta sangat spektis, tidak hanya kepada makhluk -sejenis dan lain jenis- kepada Tuhan pun rasa skeptis kadang muncul menjelma jadi ruh dari jiwa yang gamang. Ya, rasa takut untuk mempercayai orang lain menjadi potensi negatif dalam diri ini. Terlebih ketika do'a kita tidak dikabulkan walaupun sebetulnya setiap do'a hamba pasti dikabulkan, begitu kira-kira arti teks "ud'uni astajib lakum" dalam kitab suci orang-orang muslim.

Kenapa engkau begitu kejam membiarkan aku tersakiti dalam kehidupan yang katanya begitu indah? pertanyaan dalam hati. Padahal pertanyaan spektis ini tidak pernah muncul dalam benak sebelum ini, karena dalam doktrin agama ku, mempertanyakan Kudrat Iradat Ilahi menjadi hal yang tabu bahkan tidak diperbolehkan sekalipun oleh anak Mumayyis. Akan tetapi bagiku itu sah, mungkin sebagian diantara manusia yang lain, yang terpojokkan oleh takdir. Takdir seperti halnya jodoh, pati, dan rejeki merupakan Kuasa Ilahi, penuh misteri, begitu pesan agama yang pernah aku pelajari di usia anak, aku sebagai hamba tidak akan mampu membuka tabir ilahi itu. Akan tetapi hari ini aku menjadi lebih rasionalis, aku mulai menyoal kembali keberadaan ku sebagai Kholifah Fil 'Ard yang lengkap dengan potensi lahiriah, artinya sebagai penguasa alam kita diberi kekuasaan (aktif) untuk menentukan masa depan bukan sekeder menerima (pasif) atau dalam bahasa lain manusia memiliki Free Act dan Free Will dalam hidup dan kehidupannya.

Sikap skeptis mulai nampak, tercermin dari keengganan meminta tolong kepada Tuhan -secara lisan-, walaupun dalam hati rasa takut masih mendominasi jiwa ku. Bahkan tidak jarang sifat takabur muncul seperti sudah terencana dengan baik, Aku bisa mendapatkan malaikat sesuai dengan keinginanku! ungkapan yang sering muncul melalui saraf otakku, aku seakan melupakan eksistensi "the one" Yang Maha Kuasa dan Maha Mengetahui, yang mampu merubah sesuatu dengan mudah; "Kun Fa Yakun". Tapi kadang akupun berfikir -mungkin juga manusia yang lain-, sikap ku manusiawi, artinya perasaan-perasaan itu secara tidak langsung merupakan pengakuan atas kelemahan kita sebagai mahluk yang lemah dan tuhan sebagai penguasa segala kehidupan. Marah menjadi sifat dasar manusia, akan tetapi pengejawantahan dari sifat itu setiap manusia berbeda. tidak jarang manusia melakukan do'a terus menerus sebagai representasi sifat kesal kepada Keadilan Tuhan, begitupun dengan aku, yang diaktualisasikan lewat laku tidak berdo'a. Allahummaghfirlii, Ya Rohiim.

Tidak terasa, amal keliru ini dilakukan hampir satu tahun di tempat pengasingan, tempat yang jauh dari malaikat perempuan -ibu-, yang selalu mengawasi dan memberi hukuman sebelum Tuhan benar-benar menghukum. Ya, selama di pengasingan aku hidup tanpa kontrol agama, laku keberagamaan ku kacau walau tidak sampai nol besar, karena masih mampu membaca kitab suci untuk malaikat lelaki -ayah- yang tenang di surga, minimal setiap malam jum'at. Akan tetapi dari kelemahan amaliyah yang bersifat personal -sholeh personal-, aku tidak lupa melakukan amal sosial walaupun dalam batas minimalis. Bagiku, perjuangan dalam hidup adalah memaknai kehidupan sebagai tidak hanya kesalehan personal, jauh dari itu, kesalehan sosial menjadi jalan lurus yang berkelok. Hal yang sering ditafsiri lain oleh pelaku agama, dan kehidupan. Sehingga kita sebagai Khalifah Fil 'Ard tidak melihatnya secara materi-ansih, tapi menciptakan harmonisasi sosial menjadi tugas sesungguhnya.

19-08-2009
Rohim Habibi, Pengajian Kalimat, Solo

Babak Baru

selanjutnya...

Layaknya manusia biasa yang mudah mencari pelampiasan terhadap masalah dan seringkali pilihan itu jatuh kepada sesuatu yang bersifat uforia. Musik misalnya, menjadi respon positif terhadap kondisi alam yang membisu dan tak menentu, begitupun dengan aku sebagai manusia yang mulai dihinggapi rasa sesal atau lebih tetap rasa gamang dalam jiwa, menanti putri salju yang tertidur terlalu lama dalam sasananya.

Hari-hari ku mulai berganti haluan, kehidupan ku tak lagi sekeras punk rock jalanan, tak seromantis pangeran dari kelantan, pun tak seidealis mereka yang berjaket hitam dan beralmamater kebesaran. Dilematis, kata teman dalam guyonan atau lebih menusuk dengan kata "Kritis" seperti pasien rumah sakit syetan -tempat bagi pasien kritis-, tapi aku tak pernah menghiraukan itu semua, aku menganggap hanya ocehan beo yang ingin menghibur tuan dengan siulan menawan, hahaha, jawabku dengan paksaan. Selamat jalan malaikat ku, semoga kau berubah lebih besar, kuat sekuat orang-orang yang tanpa lelah mengais reski dijalanan, tak patah arang walau badai cemoohan menerpa dengan terjang, inginku dalam lamunan kepada Sang Penyayang.

Babak baru dalam dunia baru dengan lakon yang lebih progressif, meniru yang dalang dalam pementasan wayang. Ya, setelah penyesalan itu aku mengubur sendiri rasa itu bersama kebosanan yang terdalam. walau tak serta-merta berubah secepat kilat, karena pesona mu bagai lukisan alam tak pernah pudar meski termakan letusan gunung, atau kecongkakan sangkuriang. Aku adalah aku, bisa berdiri dengan kaki walau hati terluka! kataku menyisir sisa semangat hidup yang ada. Diskusi internal ini aku lakukan setiap malam tanpa sorot kamera 4 mp tanpa moderator berjas, hanya selembar wajah ganas mirip aku, sosok yang melahirkan diriku.

Hidup itu indah, begitupun seharusnya perlakuanmu kepada kehidupan, anakku? kata sosok yang merelakan raganya selama sembilan bulan untuk aku bebani. Sosok yang tak pernah hilang dan tak akan aku hilangkan, karna keyakinanku mengatakan bahwa keindahan -surga- ada dibawah kakinya, yang aku artikan sebagai do'a. Bahwa do'a ibunda adalah pintu dari segala keindahan dunia, bahwa kebenciannya adalah pintu segala musibah dunia, walaupun pada dasarnya kebencian seorang ibu tidak mungkin nyata. Karna beliau -sosok ibunda- adalah selembut segala ciptaan. Seperti hawa yang rela walau hidup dengan satu tulang, dan mendedikasikan eksistensinya untuk menemani sang adam, begitu kira-kira cerita yang tersirat dalam tarikh keagamaan. Dalam kondisi yang gersang dan panas, ibu menjadi air yang sejuk dan menyejukkan kehidupan ini, tanpa diminta, ia tahu dan paham apa yang dialami oleh anaknya, karena dia adalah dewa yang berwujud manusia sesungguhnya. oleh karena idealisme sosok seorang ibu, maka dalam ajaran-ajaran agama manapun, menempatkannya pada step yang tinggi setelah laki-laki untuk dihormati.

Perempuan adalah makhluk perasa, mudah tersinggung, kata ibuku yang masih menjadi doktrin dalam laku kehidupan ku, pun dalam menyoal cinta aku tak bisa lepas dari doktrinasi itu. Walaupun realitas berkata lain, aku lebih banyak mendustai dan menafikkan ungkapan yang syarat nilai moral ini. Dan aku adalah aku, makhluk yang merasa tersakiti, makhluk yang menggunakan akal untuk menjalankan kehidupan dan dendam menjadi konsekuensi logis dari cara berfikir -manhaj al fikr- dan cara berlaku -manhaj al fiil-. ditambah lagi pemahaman keliru ku terhadap teori kausalitas, aku memaknai bahwa segala sesuatu harus dibalas, bukan sebagai teori sebab-akibat. Malaikat kecilku, pergilah kau, biarkan aku mencari malaikat yang lain yang lebih banyak dan inilah babak baru dalam kehidupan ku. pesan ku -dengan nada kesal- kepada mu; jangan lupakan aku, karna aku akan mudah melupakanmu!!!

18-08-2009
Rohim Habibi, Pengajian Kalimat, Solo

Senin, Agustus 17, 2009

Menakar Mimpi Kemerdekaan

Sehari setelah kekasihku (Peringatan Kemerdekaan) pergi, perasaan ini masih sama -perasaan heroisme- terhadap orang lain, kehidupan ini masih membekas -kehidupan penuh ketakutan- dalam relung hati, begitupun kelatahan kita untuk saling memaki yang sering dileburkan dalam bahasa diskusi, padahal syarat mencaci. Setelah pesta itu, masihkah kita malu membersihkan kotoran-kotoran dan menyerahkan kepada mereka yang terlahir untuk tugas itu ataukah kita benar-benar menjadi bangsa yang satu rasa satu jiwa, guyup rukun dan gotong royong, padahal kita baru saja mengikrarkan kebangkitan, kebersamaan, keteladan untuk bangsa. Lihat saja, apa yang akan terjadi setelah pesta itu. Masihkan masyarat menangisi tanah mereka, ataukah negara benar-benar menjamin keamanan dan kelayakan hidup. Memang terlalu dini untuk menilai semua itu, tapi paling tidak sebagai cotrol atas bangsa.

Bangsa yang besar adalah yang memberi ruang pada persamaan, itu kira-kira bahasa teoritis yang sering diucapkan para pelaku dan pengamat bangsa ini. Padahal bangsa ini tidak butuh banyak retorika untuk merubah kondisi saat ini, kita sebagai bangsa butuh tindakan kongkrit bukan bualan layaknya penjual obat dipasar-pasar tradisional. Banyak kata maka banyak peminat secara otomatis kemungkinan keuntungan semakin banyak pula. Berbeda dalam konteks negara, semakin banyak bicara semakin kita tidak diterima atau bahkan semakin dibenci ketika konsepsi tersebut berhenti dan tidak mampu diaplikasikan dalam solusi yang nyata.

Besok merupakan tolok ukur bangsa ini dari sudut kelahiran, artinya kita sebagai bangsa majemuk telah memasuki babak baru dalam dunia kehidupan berbangsa dan bernegara dihadapan rakyat dan dunia Internasional. Apalagi bagi pemerintahan baru -hasil pemilu 2009- yang mengemban amat bangsa, momentum kemerdekaan selayaknya menjadi cermin dan motivasi gerak langkahnya dalam menjalankan pemerintahan. Setelah kegagalan pemerintahan yang lalu -harmonisasi ekonomi- maka tugas berat menanti pemerintahan yang akan datang. Begitupun masyarakat, memiliki tugas yang tidak mudah, dalam hal menjaga harmonisasi kehidupan.

Harmonisasi disegala aspek kehidupan menjadi tugas yang menanti pemerintahan saat ini, menciptakan tata kehidupan yang lebih layak baik secara materi maupun imateri. Artinya kenyamanan bagi masyarakat tidak sekedar mendapatkan iming-iming materi yang bersifat sementara, akan tetapi jaminan terhadap kebutuhan primer menjadi tugas pokok pemerintahan saat ini. kebutuhan sandang, papan dan pangan menjadi masalah yang semakin hari tidak terselesaikan bahkan terkesan diabaikan. Sehingga masyarakat mulai tidak percaya pada pemerintahan, itu penyebab kegagalan pemerintahan dulu dalam mencitrakan dirinya dihadapan masyarakat bangsa. Oleh karena itu, kebijakan-kebijakan yang bersifat primer artinya yang langsung mengarah kepada masyarakat menjadi poin vital bagi dan oleh pemerintahan yang akan datang.

Pencitraan tersebut juga berkenaan dengan sikap para pelaku pemerintahan, sikap saling menghormati perlu digalakkan kembali, melihat bahwa rakyat adalah entitas yang tidak bisa disampingkan dari negara yang meletakkan kedaulatan di tangan rakyat. Bercermin dari pemerintahan masa lalu, maka seharusnya pemerintahan yang akan datang harus lebih taat terhadap rakyat, memposisikan rakyat diatas segala kepentingan yang bersifat golongan lagi-lagi pribadi. karna kita sebagai bangsa baru saja mengikrarkan kemerdekaan yang diartikan sebagai dalam segala hal. kemerdekaan untuk saling menghormati, kemerdekaan untuk tidak menempatkan kepentingan golongan atau pribadi di atas kepentingan rakyat, kemerdekaan untuk memerdekakan rakyatnya dari kemiskinan -materi dan rohani-, memerdekakan dari mafia-mafia yang mencari tinta hitam bangsa ini, atau kemerdekaan untuk menciptakan harmonisasi bagi masyarakat melalui sarana yang dapat mempersatukan bangsa ini -media elektronik dan cetak- untuk menempatkan kepentingan pendidikan bangsa di atas kepentingan koorporasi -bisnis-.

Sekali lagi bangsa ini perlu realisasi dari janji verbal kemerdekaan itu sendiri, kemerdekaan yang tersirat dari kitab suci bangsa ini -UUD 1945- yang secara substansial sudah termuat dalam kitab suci masing-masing agama di Indonesia. Kemerdekaan itu menjadi sangat penting melihat kondisi bangsa saat ini. Akhir-akhir ini bangsa Indonesia menjadi bangsa yang bingung, bangsa yang lemah, walaupun ungkapan itu masih dipertanyakan, tapi melihat realitas bangsa -secara menyeluruh- yang masih reaktif terhadap setiap kejadian merupakan pembenar sementara, bahwa bangsa ini seakan tidak siap menghadapi teror dari segala hal -radikalisme dan ekonomi- yang terjadi di Indonesia. Padahal jika berkaca pada sejarah panjang perjuangan bangsa ini, maka sikap itu seharusnya bukan cermin bangsa ini.

Penyambutan 64 kemerdekaan yang begitu meriah (17 Agustus 2009), akankah hilang tak nampak setelah delapan belas, akankah rakyat menjadi sama seperti sebelum bangsa ini memperingatan dan mengikrarkan janji. banyak penindasan atas nama kepentingan negara, masih banyak broker/mafia di lembaga-lembaga negera, atau masihkan elit politik berlaku layaknya raja yang tak bisa disentuh oleh rakyat jelata. ataukah bangsa ini benar-benar berubah -sadar diri- untuk masyarakatnya? pertanyaan-pertanyaan yang perlu diurai menjadi control bangsa ini. Dan bahwa perubahan suatu kaum adalah kerja keras bersama, merupakan motivasi bangsa. Bukan Begitu?MERDEKA!

18-08-2009
Rohim Habibi, Pengajian Kalimat, Solo

Menanti Malaikat Terbaik

Setelah malam itu, aku kembali seperti dulu, hidup penuh keinginan, penuh penantian, dan penuh harapan sekedar melihat rembulan malam melewati mega diatas pohon kerinduan, walau pun aku sadar itu absurd karna kau hidup di dunia yang berbeda dari dunia ku. Tapi aku tetap menantikan belas kasih Mu kepada sesosok musaffir cinta seperti aku ini.

Malaikat ku, andai engkau tahu apa yang ada dalam do'a ku, do'a mereka dan do'a bangsa, tentu kau akan mengamini -bersama teman-teman terbaikmu- semua keinginan itu. Karena aku tahu engkau adalah sosok yang mengidamkan kedamaian, keindahan, juga kebebasan tanpa Radikalisme, tanpa Doktrinasi atas nama apapun, tidak seperti yang kau alami di luar sana, malam itu. Dan dalam do'a bangsa itu, aku menyelipkan do'a special, khususon untuk engkau bunga mawar ku, do'a yang hanya terdengar oleh Tuhan kita vis a vis tanpa makhluk lain, selain aku dan Tuhan Mu.

Putri, esok kita akan merasakan buah dari do'a aku dan bangsa, kita akan mengetahui sebesar apakah efek dari do'a bangsa, kita akan mengerti seikhlas apakah do'a bangsa, kita juga akan paham sevariatif apakah motif do'a bangsa, dan tentunya kita akan memahami sikap apakah setelah do'a bangsa, karna kita semua mengakui kebenaran atas balasan setiap laku dan do'a bangsa. Karna sesungguhnya Tuhan, Malaikat, dan Utusannya akan membalasnya. Engkau harus percaya bahwa do'a ku do'a yang terkabul, bahwa niatku sebaik-baik amal, bahwa motif ku hanya untuk engkau belahan hati ku. Malaikat kecil ku, aku akan tetap menanti balasan dari do'a ku, pun aku inginkan dari mu, aku ingin engkau menolak apapun selain karna cinta mu pada ku, seperti halnya aku, tidak ada malaikat lain selain engkau. Karna aku tahu bahwa engkau lebih sakit di sana dari kesedihan ku.

Seharian sudah aku menanti, mengharap hadir mu walaupun hanya sebuah ilusi, aku tetap menanti sampai benar-benar rasa itu mati, "kau pasti datang, walau lewat pesan pendek -SMS-? obat ku untuk jiwa yang mulai bosan. Ya, aku mulai bosan menanti ketidak pastian, seperti aku menanti sebuah undian yang penuh probabilitas, absurditas, atau apapun yang bisa mewakili perasaan gamangku saat ini. Malaikat kecilku, jangan engkau biarkan sifat indahmu berubah jadi iblis dalam pandangan ku, aku tak rela itu terjadi. Tapi aku adalah manusia, punya qolb yang bersifat molak-malik -berubah-ubah- ingat itu malaikat kecil ku. Sampai kapan aku harus begini? sekali lagi aku mempertanyakan konsistensi dan komitmen dari rasa itu, kepada engkau malaikat ku, dalam hati ku.

Putri ini sisa penantianku untuk mu, aku yakin bahkan ainul yakin bahwa sesungguhnya kau tahu perasaan ini sebab engkau juga manusia, punya perasaan yang tak ingin dimainkan apalagi dibekukan dalam penantian yang tak berujung seperti lukisan yang tak berbentuk, tapi putri, engkau jangan pernah menghawatirkan kesetiaaku, karna sampai kapanpun engkau tersenyum aku akan menerima dan menyirami kembali benih rasa ini hingga tumbuh kembang kembali, karena engkau tahu siapa aku? manusia paling sempurna setelah dirimu.

Dan hari ini berlalu begitu saja, tidak ada kesan kalau kemarin di sini baru mengadakan pesta besar, do'a besar, syukuran besar, seperti perasaan ini, berlalu tanpa goresan tinta dalam lukisan cinta. Absurd! kata ku mencoba mengingat perasaan itu, karna memang cinta itu absurd dan harus dilupakan. Malaikat ku, maafkan aku, dalam sesal ku, aku slalu menanti hadir mu, senyummu, inginku sekali lagi. Absurd!. Akhirnya, dalam diam aku berdo'a Seperti pepatah; Kemaren adalah sejarah, Esok adalah misteri dan Hari ini adalah anugerah. Begitu juga diriku, akan menerima dan bersyukur atas anugerah yang Tuhan berikan kepada ku, begitupun do'a ku untuk mu Malaikat Kecil ku. Amin.

17-08-2009
Rohim Habibi, Pengajian Kalimat, Solo

Minggu, Agustus 16, 2009

Malaikat Kecil Ku

Pagi cerah dengan jiwa yang sumringah, begitulah kira-kira arti dari wajah-wajah manis kalian menelusuri jalan, pagi ini. Kalian datang lebih cepat dari petugas protocol, petugas koor lagu Indonesia Raya, dan petugas pembaca teks UUD 1945. Tak biasa memang, aku coba memutar otak .Apa gerangan? kenapa hari ini begitu indah, mungkin ada upacara kemerdekaan, sementara jawaban yang ada dalam otak ku. Karena sudah jadi rahasia umum, hukum mengikuti upacara kemerdekaan adalah wajib ‘ain, itu artinya dosa bagi yang tidak hadir, apalagi sengaja mbolos, alamat dapat poin 50.

Aku hadir diantara mereka, seperti biasa, aku ada dibarisan terdepan dari para pemboikot, itu artinya satu hukuman bakal jadi hadiah, dan artinya aku tidak bisa melihat sosok idola dalam hidup ku, malaikat kecil yang membekukan egoku. Marah sebetulnya, tapi apa artinya karena semua yang terjadi salah aku sendiri, hatiku coba menghibur. Lengkap sudah penderitaan ku ini, setelah semalam.

Semalam, aku dan perasaan cintaku datang menjemput wajah manis mu dalam acara syukuran kemerdekaan bangsa. Aku hadir tidak seperti perasaan mereka, pyur untuk syukuran kebesaran bangsa, tapi aku hadir untuk kemerdekaan kita –aku dan malaikatku-, kemerdekaan karena kau mendapatkan kebebasan untuk sekedar keluar malam, seharusnya, hal yang paling sulit bagi dirimu, karna kau hidup dimasa perang. Aku dan mata ku berlari menelusuri sudut sempit, remang-remang lampu, sampai tengah kamar pusat acara kemerdekaan itu, memburu hadirmu malam ini, maklum sifat sayang ku yang besar –mengganti sifat posesif- membuatku tak mau melewatkan mu, barang semenit, apalagi sampai kau bertatap mata dengan laki-laki lain, jiwa pemberontak ku bakal muncul, seperti Hulk yang tak mau kekasihnya disakiti, atau Romeo yang rela mengorbankan apapun demi cintanya kepada pujaan hati Juliet.

Tapi malam ini benar-benar malam yang hitam bagi cintaku, jika aku tetap mengikuti keinginan ku untuk mencarimu, tak mungkin aku bisa berdiri esok hari, karna entah kenapa, kau tidak hadir malam ini, ”Apakah kali ini kau terpenjara di Lawang Sewu, hingga kau tak bisa keluar?” Dalam emosi aku bertanya. ”Sayang kecil ku, semalam kau kemana aku menanti mu bersama air mata kecil, kau tak tampak diantara nyanyian, diantara goyangan, diantara kuis itu, kau kemana sayang kecil ku, mungkin kau takut malam ini, malam penuh tangisan, malam benuh keindahan karna ku tahu kau orang terindah yang mudah menangis”.

Malam ini aku menjelma rama yang setia menanti sinta di tempat berbeda. Aku kembali harus menangisi rasa cinta ini, rasa yang belum terbalas walau hanya senyuman, malam ini aku akan memendamnya sampai esok hari, aku menghibur dengan ocehan memelas: semoga esok Sinta hadir dan tersenyum lagi, harap ku.

17-08-2009
Rohim Habibi, Pengajian Kalimat, Solo

Sisa Syukur Kami

Bismillahirrahmanirrahim…

Malam ini kami ingin sekedar menghibur diri sendiri lewat persembahan-persembahan dari anak-anak kami, dari pemuda-pemuda kami, orangtua-orangtua kami, kami ingin sekedar berdo'a untuk kami sendiri, bangsa yang majemuk, bangsa yang multikultural dan pluralis, kepada perantara-perantara Mu, kepada Rasul-rasul Mu, kepada Malaikat-malaikat Mu, untuk disampaikan kepada Tuhan-tuhan kami yang selalu ada di singgasana jiwa kami.

Ya dzat yang tak mati? Engkau telah menyaksikan apa yang terjadi dan akan terjadi selanjutnya di negeri kami, aku tahu Engkau akan menangis seperti tangisan orang-orang yang tersakiti menyaksikan semua kehinaan yang dilakukan kami sebagai sebuah bangsa, tapi tuhan dalam lubuk hati kami yang terdalam, kami tidak ingin semua terjadi di sini, akan tetapi apa yang bisa kami lakukan sebagai makhluk yang paling lemah, walaupun demikian kami ingin merasakan semua yang terjadi dengan bangga, bahagia, kami ingin mempersembahkan yang terbaik sisa dari puing-puing kebesaran kami.

Persembahan special dari kami manusia-manusia special, untuk bangsa yang special. Do'a kami hamba-hamba sholeh untuk bangsa yang sholeh. Kasih-kasih kami untuk bangsa yang penuh kasih dan sayang. Penghormatan-penghormatan kami bangsa yang penuh hormat dan ta’dhim ini. Dimalam yang afdhol ini kami menghibur bangsa ini, merenungi hamba-hamba ini, mendoakan alam ini, untuk Bangsa dan Negara ini. Tuhan dari segala agama, Saksikanlah, Dengarkanlah, atau paling tidak serukan kepada Utusan-utusan Mu, Malaikat-malaikat Mu, Jin-Jin terbaik Mu untuk bersama berpesta, untuk berdo’a bersama, untuk mengucurkan air mata bersama di malam penuh tawa dan bahagia ini.

Kau yang maha penyayang, sayangilah kami bangsa ini, seperti sayang mu kepada rasul-rasulmu, kepada ahli neraka yang kelak kau bersihkan dan masukkan kedalam surga mu dengan rahmat dan hidayah Mu, kami bangsa yang santun, penyayang, pengasih, kecuali jika engkau berkenan membuka qolbu kami untuk menerima kasih-sayang dari engkau pemilik segala rahmat dan karunia.

Tuhan yang maha bijaksana, do’a kami rakyat yang taat dan tunduk kepada policy Mu, Utusan-utusan Mu, dan Ulul Amri, berilah sedikit ilmu ladunimu kepada pemimpin dan kami sebagai sebuah bangsa, sehingga para pemimpin kami tahu apa yang harus dilakukan untuk rakyat pun sebaliknya rakyat sebagai agen of controling yang baik, rakyat yang patuh, dan rakyat yang miskin seperti kami, dan kami sebagai bangsa yang berdaulat. Karna sesungguhnya kami adalah bagian dari mereka dan mereka bagian dari kami, karna sesungguhnya kami mencintai mereka karena kami tahu mereka mencintai kami lebih dari segala kecintaannya kepada sesuatu yang bersifat sementara.

Tidak ada do’a selain mengharapkan ridho mu, tidak ada kebahagiaan lebih dari karunia mu, tidak ada keindahan melainkan saling menghormati dan pluralisme, malam ini, kami ingin engkau menjadi saksi bangsa ini, bangsa yang tak pernah diam dari keterpurukan, bangsa yang menangis ketika disakiti, dan bangsa yang bangga akan kebersamaan, tidak hanya untuk malam ini, do’a kami, tapi untuk periode yang tak pernah kami tentukan, seperti kami mendambakan keindahan ciptaanmu yang tanpa batas. Wahai engkau sang pencipta sesungguhnya...

Tuhan Kami bosan jadi bangsa yang terlecehkan, kami malu jadi bangsa cengeng, kami tak ingin terus menangis walau tersakiti, kami menengadahkan tangan untuk menerima tetesan rahmatmu, malam ini. Tuhan sadarkan kami, sebagai rakyat dan jangan kesadaran itu kau berikan kepada para pecundang negeri ini, agar kami tahu harus berbuat apa dengan apa.

Tuhan ini persembahan special kami, Do’a Khusuq kami, dan sisa Syukur yang bisa kami berikan untuk menggantikan ”bendu” yang akan Kau limpahkan kepada kami, Semoga Engkau menerima. Amin.

Shodaqallahul Adhim...

16-08-2009
Rohim Habibi, Pengajian Kalimat, Solo