"G U B U K K I T A"

Gubuk Untuk Sekedar Berbagi...

Jumat, November 05, 2010

Seperti Air

dipersimpangan malam,
anjing dalam dadaku menggonggong keras
memaki egomu, setiap jangkah aku melangkah
mencoba membakar potret-potretmu
tapi hatiku seperti air
kepada mu...

05/11/2010
Rohim Habibi, Pengajian Kalimat, Solo

Rabu, November 03, 2010

Tentang Merapi

...


Semua mata berbaris menamati perkara.
Tentang duka tanpa masa, tentang kuasa tanpa raga.
Menangislah kita, Matahati...

3/11/2010

Rohim Habibi, Pengajian Kalimat, Solo

Kamis, Oktober 14, 2010

WANITA DALAM HANDPHONE

WANITA DALAM HANDPHONE (1)
Meski Hanya Kata; Jika Cinta


Sudah pagi. begitu sapa tangan pada mata. kemudian. seperti petugas pemadam kebakaran, ia langsung menyisir sisi kanan-kiri, "Hp!... mana hp!?" dan persis di sebelah kepala. "Alhamdulillah!?" seakan-akan ada sesuatu yang di nantikan. sangat lama. "satu pesan diterima", tertulis dalam layar hp monopolix. ia girang. segera mengabarkan pada kaki dan lalu memerintahkannya untuk bangun. "Lagi miduk king jama'ah, Mas. Ki meh lanjutke bobox.hehehe...." kalimat yang termaktubi dalam layar hp. kemudian ia tersenyum lega. "Hehehe....nggeh, sugeng tilem Nok?!" sahutnya lewat pesan ulang. dan ia pun berlalu dari kamar mini dan menjemput sang mentari. 05.45.

sebelumnya,

"Sugeng ndalu, Nok?"
"Nggeh mas. og deleng tilem, sibuk ta?"
"Mboten og. kademen ki, dadi ga isoh turu. lah pean tumben deleng tilem?" tanyanya lagi.
"Niki mpon liyer-liyer mas. punten yen mengke mboten mbales. hehehe.....". Jawab wanita dalam hpnya. ia tersenyum. meski terlambat ia terima.

Memang benar. itu ungkapan terakhir dari wanita yang buatnya tersenyum. bikin hidup lebih hidup. ceritanya pada malam. "Sugeng tilem, mimpi indah Nok....?" tuturnya. sembari mengharap ialah lakon dalam mimpinya, nanti. terlelap.

hingga,

Suara adzan membangunkannya. sebuah kebetulan atau memang rutinitasnya. bangun saat waktu subuh datang. tanpa pikir panjang. ia tulis kata-kata, "Sholat Nok?!" kemudian ia haturkan pada wanita indah malam tadi. hampir satu jam. tidak ada balasan darinya. sedikit bosan. hingga akhirnya, ia pun kembali tersungkur di kasur busa. warna tanah. lelap. 04.30...

Terimakasih....


Hahaha.....bahagia, meski hanya nama...
GM/9/10/2010




WANITA DALAM HANDPHONE (2)
Si Jireh

Saat sedang menikmati kopi dan sebatang super bersama. Tiba-tiba, “tiittit….tiittit.” Pertanda pesan tersambung lewat hand phone warna pink. “Ndang bedek! sapa brow?!" Tanyaku pada seseorang berambut gondrong. “Mboh!” Terkanya dengan acuh. Tak mau tahu. Sebab kopi digenggamannya lebih nikmat. Lebih memuaskan dari sekedar memprasangkakan seseorang dalam hp tak bertipe. “Bajiruut….!!!” Timpukku spontanitas. “hahaha….!?” Balasnya dengan lega. Tanpa perasaan marah. Atau ganti mengataiku dengan gunjingan. Semisal, ndasmu, matamu, atau apapun. Ya, kita memang sudah tidak punya amarah laiknya manusia.

“Oh! Donking…?!” Ucapku. Seraya mengabarkan pada lelaki disampingku. Seperti terkaanku, si gondrongpun penasaran dengan pesan ini. Maklum kita berdua kenal bahkan akrab dan sering mengerjai teman wanita yang memiliki sifat penakut dengan sesuatu yang ghaib. Setan. “Ndang buko!? Apa smse!" paksanya. “Sek toh!? Bajirut…”. Balasku. “Pakdhe…?!” Cetus si gondrong, mencoba memvisualisasikan kata-kata dalam pesan singkat ini. “Balesen brow!?. Ku ga’ ana pulsa ki?!” Pintaku pada si gondrong. Tanpa berfikir lama. Ia pun dengan lihai memencet-mencet keypet hapenya hingga menjadi sebuah kalimat. “cah jireh, wis sarapan rung? Ki ku neng warung.” Dan melepasnya ke alamat dengan nama “mbohyak” dari hpnya. Tak lama berselang. “hahaha…” reaksinya setelah membaca balasan dari wanita “jireh”. “Ku gak bias tangi ki…gawake rene ya?! “. "Wegahmen!!! Reneo!?”, balasnya. Sedikit lama sambil menikmati super dan si coklat pahit.

“Tenan pakdhe, ku gak isho tangi.” . Si jireh menegaskan kepada kami. Tentang kondisi fisiknya sedang sakit. “Ndak yo Leh? Terus sing smsan ki sapa jal?! Si gondrong membalasnya dengan enting. Hahaha….kamipun terbahak2. Membayangkan ekspresi wanita dalam hand phone kala membaca balasan ini. Tak habis kami tertawa, “Ki aku gak tangi tapi melek, pakdhe!” . Balas wanita yang berbadan mungil dengan nada keras. Itu kira-kira yang kami tafsirkan atas tanda seru “!” Dalam tulisnya. “Yen gak gelem gowo rene, yo is rasah nawani!". Lanjutnya. “Tenan ya?!” Kami coba meledek. Dan sudah dapat kami terka apa yang akan dia balas, “Mboooohhhh!!!”. Kami tertawa, sebelum membuka pesan replay darinya. Hahahaha.... Dua jam berlalu, rokok dan kopi telah lebih dulu pergi. “Yo is, ki meh muleh, don.” Ungkapan sebelum pergi, dari kami. DonY adalah kekasih wanita dalam hand phone, maka kami lebih suka memanggilnya dengan sebutan itu. Sebagai bagian dari penghormatan manusia yang sedang memadu kasih dalam sayang. Pun sedikit ledekan.

Terimakasih.....

Pagi buta, sebagai teman sarapan….
Gm/9/10/2010



WANITA DALAM HANDPHONE (3)
Sedari Dulu, Mengagumi Si Lesung Pipi


Terkadang. Keinginan sangat sulit untuk dikekang. Seperti aku, kepada dia (wanita dalam handphone), tiba-tiba. Tanpa peduli bahwa handphone baru dices. Dengan buruburu aku tulis layang: "Gi napa Nok?", ya ku panggil dia dengan sebutan Nok. Terasa lebih dekat. Erat. Daripada harus memanggil namanya yang arabian "Berbahasa Arab". Berdebar-debar dadaku meski tetapi handphone tak lepas dari genggaman sebelum layangnya datang kepadaku. "Cepet bales nok!!!", hatiku mulai gelisah. Seperti suara pujian dari surau yang telah lama menunggu imam. Semakin lama terdengar pecah. 18.00.

"Monggo buka riyen mas?", balasnya. Setelah ngadat tiga puluh menit. Biasanya secara spontanitas aku marah. Memaki. Setiap kali sms dan jawabannya terlambat barang sepuluh menit. Tapi, kali ini tetap saja mengembangkan senyuman indah dari bibir ku. Oh ya, dia sangat sholih, menurut ku. Setiap senin - kamis tak pernah luput berpuasa. Meski pernah ku tanya kenapa? Dan ia tak mau menjawab. Baginya alasan ibadah tak perlu di-jlentreh-kan sampai sedetail mungkin. Ikhlas adalah keinginannya. "Gusti! Beri keberkahan baginya, wanita yang berkerudung, dan berwajah lembut, sangat lembut, tanpa bedak, hanya air wudhu". Pintaku dalam sanubari sebelum membalasnya dengan kata yang sama: "Nggeh. Mugi mberkahi, amin." untuk dia. Setelah itu, hampir satu jam. Stagnasi. -Aku memafhumi, waktu sholat isya' telah menyapa dan tentunya ia berjamaah. Sebab yang ku tahu dia sangat memegang teguh doktrinasi "Assholatu 'ala waqtihaa".- Diam. Seperti malam yang begitu menikmati lentingan air hujan.

Hujan tak jua reda. Seperti diriku yang tak lagi sabar menginginkan kabarmu. Dari balik handphone. "Nok?" tanyaku kepadamu. "Nggeh Mas. Pripon?" balasnya dengan begitu lembut. "Sinau ta?" tanyaku lagi dengan sedikit basi. "Nembe mawon rampung ngaos Yasin Tahlil Mas." jawabnya. Meyakinkan. Sedikit malu aku membacanya. Sebab sudah begitu lama tak membukanya (Yasin dan dzikir Tahlil). Surat yang dulu ku hapal, sekarang? Hehehe.... "Oh nggeh. Mbok kulo diajari Nok?". Sahutku. "Hehehe..... (aku membayangkan begitu lesung pipinya, manis) kedahe kulo sing nyuwon diajari, Mas...?" Sekali lagi dia buatku terbuai dalam kekaguman. "Hehehe....kulo niku saget napa toh, Nok? Dan kali ini ku tikungkan obrolan. Sebab aku takut dia mulai buat ku terdiam dan membohongi diri kepada mu. "Nok, kapan kulo dijak maen ten griyone pean?". "Mas Griyo Kulo Gubuk Leh. Eh mboten gadah griyo deng?! Jawabanmu kali ini. Mengagetkan. "Eh nok, emang tentrem iku ukurane fisik ta? Ku lagi ngerti kie...!" tanyaku dengan sedikit gertak. "Nggeh mboten sih!? Hehehe...." Jawabmu dengan senyuman itu lagi. "Berarti kapan ku nganter pean wangsol ten griyo? Tandasku, sedikit bermain mantiq. "Nggeh kapan-kapan mawon mas, soale kulo dereng pengen wangsol." Jawabmu sedikit memberi janji bercampur perasaan malu. "Nggeh mpon. Ndang sinau ya Nok. Sesok kuliah ta?" Kataku mulai mengakhiri. "Nggeh Mas. Pangestune ya Mas." Jawabnya. kali ini benar-benar buatku tentram. Meninggikan rasa kepadamu. "Nggeh. Dungodinungo ya Nok?" Jawabku. Mengharap doamu yang lebih putih daripada ku. "Nggeh mas Oim...?" Katamu mengakhiri obrolan malam ini. Berirama rintik hujan. 21.00.

Malam ini begitu indah meski begitu tenang. Seperti hatiku. Yang mulai menyadari bahwa mengagumimu sudah sedari dulu. Begitu tenang dan jika waktunya ku akan mengibarkannya dengan lantang kepadamu. Wanita dalam handphone. Met istirah, esok menanti dengan lesung pipimu. Manis. Terimakasih.



Kata-kata adalah awal dari lukisan kita tentang dia. Tentang rasa. Tentang segalanya...
GM/14/10.2010


Rohim Habibi, Pengajian Kalimat, Solo

Kamis, April 15, 2010

Bulan 3 - 4 - 2010

POTRET AYU

Potret ayu:

Aku Menemuimu Di Bilik Baju Warna Hijau
Melihatmu Bahkan Harus Menamati Sisisisimu
Masih Jelas Wajah Ayu Nan Merindu
Berkerudung Sewarna Mega Putih Cerah
Engkau Masih Bahkan lebih ayu.

Oh,
Lembut tatap mripatmu?
Manis senyumanmu?
Aku kepincut, entah berapakalinya
karna potret ayu. Tak pernah layu.

Meski engkau nun disana...
GM/8/04/2010
------------------

DIAM

Diam:
Bukan Tidur
Bahkan Lebih Dari Sekedar Anteng

Hanya Ingin Meneng
Dari Hati Yang Nggreneng
Kehidupan Yang Sepaneng
Ego Slalu Manteng

Diam:
Ayem
Tentrem

Semua Akan Kembali Anteng...
GM/7/04/2010
-------------------

LOSS

Kamar ini.
Tak lagi berimaji. Berseri.
Atap goa bercahya sabit.
Bingkai lusut.kalut. Senyummu.
Tergores makna "selamat tinggal".

Akhirnya...

Terbayang...

Menghilang...

Selamanya.

GM/1/4/2010
--------------------

ENGKAU DIMANA...?

Kasihku...
Mari kita tidur
malam telah menjelang
dingin memaksa bercinta

kasihku...
Mari kita tidur
peluk. Dekap erat tubuh lusutlelah ku
meski tapi aku tetap menjamu tubuhmu

kasihku...
Mari kita tidur
jangan lagi cerita tentang dunia
meski esok datang dengan ketidakpastian

kasih ku...
Oh bunga ku...
Oh cinta ku...

Engkau dimana?

GM/31/3/2010
----------------------

Kan Kulukis Senyummu

Malam ini:
rembulan terlalu rapat berselimut malam.
Cahyanya tak mampu menyusup langitlangit hatiku.
Dan tetapi engkau terlalu indah di malammalamnya.
Hingga esok kan ku lukis senyummu dengan pelangi.
Agar aku takkan lagi kehilangan cerita tentangmu.
Pun saat mentari datang membelah malam.



Pasti kan bahagia
GM/30/3/2010
-------------------------

CEMBURU

Maafkan bila ku menafikkanmu.
Sedang kerinduan tetap melekat dalam diri.
Seketika buyar terkaparkapar bersama senyuman.
Malam pun bertanya tentang ia yang kau peluk mesra.
Dan tetaplah menjadi rembulan di langit. Meski berbintang.


Aku tak bisa menyentuh cintamu
GM/29/3/2010
----------------------------

Untuk Kita Berdua

Kembang purnama ?
Syair cinta yang kau rekareka tak lagi terbaca
Senarsenar setia tetap ada meski telah renta
Dan tetapi dentingnya tetap sempurna
Bernyanyilah...nyanyikanlah untuk kita berdua.

Denting Cinta
GM/29/3/2010


Rohim Habibi, Pengajian Kalimat, Solo

Minggu, Februari 21, 2010

Tentang Rasa

Lagu Hamba


Di alam kami;

Nyanyian Alam.
Syair Muram Malang-malang.
Kord Tanpa Terbaca Lidah Tulang.
Lirih Perih Tak Terkadang.
Harihari. Sepenjuru gedung.

Lagu Cinta Sang Paduka.
Indah Tak Terraga Rasa.
Sumbang senada karang.
Beriak anakanak. jelas
Ditelinga kami hamba raja.
Yang paling setia karna tak kuasa.

Alamku semakin kelam.
Suara-suara semakin runyam. Kelam.
Hamba terbungkam asosiasi.
Lelah menunggu pasti tak pasti.
Tanpa kaki, lidah, tangan kami.
Hidup entah mati.


Sajak Nelangsa

GM/20 Februari 2010.
=========

Di(terima)kan-lah

ingin;
merengkuh tanpa peluh
mencinta sedang tanpa rasa

ingin;
kembali-kan berisi
hilang-lah(kan) getir cinta

ingin;
asa masih mengada
be(ter)rasa seumur kata

kembali disini.

mereka kakikaki, luka
merenda tapaktapak, perih
: kedua (inginku)

di(terima)kan-lah
ini (rasa) ku...


sambut tanganku...

GM/19 Februari 2010.
=========

JAtung Hati

dimanakah...
kau simpan sayank itu dalam
kau alirkan cinta itu tulus
kau taburkan kasih itu semebyak
aku linglung mencari, dimana
goresan merah hatimu itu...?!

dimanakah...
aku harus berdiri menanti, cerita tentang mu
adakah ruang kosong dilubang hati mu
tempat yang pernah buatmu bahagia
meski hanya sementara, sekejap saja.

ditempat manakah, darimu
aku sudahi pelarian ini, dari sejuta penantian
entah. tetapi meski aku belum menghafal detak jantungmu,
helaan nafasmu detik demi detik,
cukup dengan kekuatan akar bagi rindang pohon.
aku memeluk semua cintamu. nanti.


Dimanakah?

BTN/5 Januari 2010
==========

Mendung Datang Lagi

Surga Ku...
engkau hadir berhias senyum sepoi
bertutur sapa mesra se-mentari timur puncak selo
meski tapi begitu cepat aku kehilangan mu
hingga kini mendung datang lagi menemani Ku.

Surga Ku...
dalam ketika mendung datang
Aku mulai menerkanerka senyummu
merekareka siapa dan kenapa
hingga tak mengapa meski jauh dari cita
cita dibalik mendung mega jingga..


MEga Mendung

BTN/29 Januari 201
=======


Rohim Habibi, Pengajian Kalimat, Solo

Minggu, Februari 14, 2010

Diantara Latar Ku

Menikmati Mulutmu (2)

Nikmat,
saat, sinar seumur mentari bayi
mulut mu nikmatkan bibir ku
menghimpit jemari marah-arah
menyibak makna cakrawala
melekkan mata untuk mata
memberi daya kalikali rangka
beriringan air sewarna malam
meng-krukupi rasa hingga
telah menggunungkan abu-abu.
Nikmat.

Gedong Obat, 15 Februari 2010. 05.00
---------------

MATI (I)

MATI...
dengan
BAKAR DIRI...
ini
TAKDIR...
atau
MENAKDIRI DIRI...
?
ENTAH...
tapi
SEMOGA, INI TAKDIR MU...
Selamat!!!
KAMI (AKU) NANTI...
meski dengan
JALAN KAMI (AKU).

29 JANUARI 2010.
------------------

Sampul Kota (3)

Pemalang:

Disampul Kota Terpampang Jelas Kata Perang,
Bukan Eropa Atau Amerika Jadi Enemy Adalah Diri Penuh Birahi Insani//

Tak Jauh, Di Gerbang Rumah Tua Kota Itu,
Pesan Penuh Makna Meski Jadi Sekedar Kata Tanpa Pembaca,
"Clean Government" Tinta Hitam Kini Jadi Putih...

GM/5/12/2009
-------------
Rohim Habibi, Pengajian Kalimat, Solo

Dari Bunga: Tentang Duka

To Rohim,

Malam begitu diam, jarum jam berdiri tegak menatap rembulan kelam yang sinarnya temangsang diantara kabut. Sebentar saja suara renta menyapa lewat dengan bahasa onta arabica. Sedang mataku belum bisa puas menikmati dewa mimpi, kini harus dipaksa mekar memahami setiap pasangan alfabetic suratan kata mu. Mulut ku pun belum selesai mendendangkan not mungkur, kur....kurr....dan terpaksa menjadi banser bagi mata ku.

Valentine meskipun telah kabur namun surat ini masih akan aku pajang diantara foto kenangan. Di atas almari yang mulai osteoporosis, dan saling bersisian dengan jam backer berselimut debu pekat. Karna memang tak pernah aku jamah meski hampir seusia dengan mawar merah bukti asmara kita. Aku masih ingat bagaimana wajah pasi mu saat memberikan bunga mawar kepada ku. Meski tetapi aku tidak tahu kapan ia telah layu dan saat ini telah benar-benar menguning.

Sebetulnya aku sudah lama ingin katakan, bahwa bunga mawar tak lagi mekar. Bahwa fotomu tak mampu lagi berdiri mendampingi ku dan sudah lama bersandar. Namun cintamu membimbangkan lidah ku meski tidak hatiku. Lidahku tak mampu berucap menolak dan meninggalkan mu, ia telah kaku menyublim memelaskan diri mu. Tapi dia telah mendekap jantung ku, menemani sumsum ku. Bukan diri mu.

Aku tahu tetesan eluh mata mu, meskpuni lidah melumat habis coklat dan sampai gigimu melumpur sawah. Tapi memang itulah kenyataanya. Valentine, coklat, dan atau bunga mawar mu tak lagi romantis, tak lagi mengharukan bagi ku. Bukan berarti aku memalingkan wajah saat tuan pos datang memberikan selembar kabar dan sepetak coklat dari mu. Juga bukan berarti aku menyuruh untuk mensensor keindahan malam valentine ku untuk sekedar berbagi kebahagiaan kepadamu. Silahkan saja.

Tak perlu aku jawab, untuk siapa valentinemu kini. Sebab engkau dan diri ku hanya terkasih. Ya, aku mengasihi dirimu karna pun demikian diri mu. Sedang malam ini benar-benar aku telah bertemu santo valentinus dengan selembar kertas berbentuk hati melekat diantaranya sang cupid yang begitu manis. Selarik kata cinta nan indah khas madzhab platonik menghusus kepada dari bukan diri mu. Tapi ini tidak bermakna tangisan lebih dalam untuk mu, meski itu terserah pada mu.

Terimakasih ucapan dari mu, tidak lebih seperti untuk valentinus ku. Sebab kini engkau tahu bukan diri mu. Tentang "entah"? Maka semoga cepat datang dan menyelimuti kedinginan hari dan hatimu. Amin.

BTN/15 Februari 2010.


Rohim Habibi, Pengajian Kalimat, Solo

Sabtu, Februari 13, 2010

Surat dari Rohim: Prahara Cinta

Dari Rohim Untuk Bunga Tanpa Nama: Di Seberang Kali (1)

Untuk Bungaku, Bunga Tanpa Nama;

Bukan tinta sebenarnya yang ingin aku persembahkan kepadamu, lukisan hati lengkap bambu menancap dalam ditengahnya, sebelum tapi malam ini aku begitu cemburu. Seperti ayam kate yang tak mau melihat "babon"nya di dekati laki-laki lain, meskipun ia lebih jantan. Bukan juga tentang bahwa ia lebih memiliki kaki yang besar dan aku hanya mampu berlari 1000 x lebih lambat dari si dia. Sayangnya. Meski itu pernah seribu kali engkau tolak mentah. Dan bunga ku, ini tentang memahami wanita cantik dan anggun seperti engkau, bahwa tidak mudah memahami dan memang hawa seperti mu harus di mengerti dan dipahami tidak sekedar kasat mata, lebih tepat antara rasa dan mata.

Bahwa dia lebih tampan dari wajah lusutku. Tapi engkau tahu tentang bahwa rasa yang menghempaskan ku untuk lebih, tidak sekedar mengagumimu. Dan hari ini aku cemburu meski tidak mampu, karna cerita tentang aku belum ada di buku harianmu. Tentang tidak maunya engkau menerima sms ku, karna -seribu kali lagi aku katakan- nomor ku seperti nyamuk "aides aigepti" yang membahayakan bagi kemolekan tubuhmu. Sehingga jika engkau tersentuh maka dia akan melepaskan peluru kepada mu, karna ia memang lelaki setia untuk cinta mu.

Bunga Ku, Bunga Tanpa Nama;

Ini bukan sekedar cemburu, engkau pasti tahu itu, pun bukan amarah yang menggebu sehingga membuat ku menutup mata dan loncat dari jendela, engkau tahu kamar ku lebih tinggi dari pohon berusia 100 rb tahun. Lebih dari itu, bunga, ini tentang kegagalan memahami mata, tangan, kaki, lidah, rambut bahkan senyuman mu, yang aku kira tulus untuk ku. Dan memang aku gagal membenarkan sangkaan kuselama hampir setiap hari menemani mendengarkan senyuman mu.

Dan memang benar aku cemburu, meskipun aku tetap menyertakan terimakasih untuk waktunya, senyumnya, cerita-ceritanya, dan segala selama menemani waktu kosongku. Memang aku tidak mungkin meninggalkanmu, tapi paling tidak ini jadi kali dalam perhubungan kita. Dan engkau di depan menggapai cita-cinta mu sedang aku melambaikan do'a kebahagian untuk mu.

Bunga Ku, Bunga Tanpa Nama, Terimakasih.

Gm: 11 Februari 2010

Untuk Bunga Tanpa Nama; Setelah Itu...(2)

Hujan jatuh di dari bola mataku, mendengar larik kata dari penjelasan yang kau kirimkan sesaat -tidak lebih dari lama dari ritual sembahyang ku- kepadaku. Awalnya, aku menerka surat ini sebagai permohonan maaf yang sangat tulus dari mu, kira-kira itu yang aku inginkan darinya. Sebelum benar-benar jantungku mendetak lebih kencang sampai 150 / menit. Dan inilah balasan yang aku tulis dan mohon untuk dipahami sepenuh sisa hati mu saat ini.

Bagiku, semua penjelasan dari mu sangat aku terima dan meski sedikit "ndremimil". Apalagi saat, dengan jujur dan ikhlas engkau katakan bahwa dia lebih sering keluar dari di kehidupan mu. Bahkan 2 kali lebih sering dari rotasi siang dan malam, dimanapun dan kapanpun. Dan memang begitu, bahwa aku hanya mahluk jadi-jadian, datang tiap malam dan siang tak terawang sedikitpun. Kehadirannya pun tak terdengar deru roda apalagi klakson. Seyogyanya engkau akan membius tubuhmu di kasur daripada hanya harus membuka pintu dan membuang pasta gigi yang harum dengan kesia-siaan belaka karna menemani obrolan ngalor-ngidul bersama ku di kursi tamu yang bahkan mungkin merasa gusar saat aku yang datang dengan bau busuk cucian tiga hari. Tapi terlihat sumringah jika si tampan yang datang, karna wanginya sudah bahkan tercium sampai pucuk talok yang setia menyaksikan malam itu.

Aku memang sangat menjaga cinta, tp bukan termasuk posesif. Hanya tidak ingin jauh bahkan jika harus satu senti meter tak mendengar kabar atau lakumu, aku tidak bisa. Apalagi harus melihat dirimu dengan orang yang jelas-jelas perfectionis daripada aku. Marah, itu yang ada saat itu, meski akhirnya aku menyadari diri bahwa dia sangat pantas untuk menemani kehidupan mu. Ya, aku yang memang tidak memahami dirimu apalagi tentang perkara posesif yang untuk mengucapkannya pun butuh gelar sarjana. Untuk hal ini, aku minta maaf. Sebab aku yakin, bahwa saat menemani aku engkau selalu terpaksa dan mengalah.

Cinta memang tidak harus memiliki, tidak harus memeluk, atau bahkan membunuh diri. Ini konyol, sangat konyol. Meskipun sebetulnya seperti strategi umpan balik meskipun ternyata menjadi bumerang dan akhirnya menggigit lidahku sendiri. Padahal, aku terinspirasi oleh seperti sinetron-sinetron indonesia yang dengan mudah bisa membalikkan cinta hanya bermodal kata "lebih baik aku bunuh diri". Sayangnya engkau lebih mafhum tentang perilaku bercinta ini. Sehingga tanpa sedikit melas engkau meyakini bahwa aku tidak mungkin melakukan itu.

Bunga...?

Kini aku hanya bisa memeluk fotomu, menciumi, dan bahkan membelai-belai rambutmu. Sampai matahari terbit barangkali 7 kali, dan setelah itu aku tidak tahu. Selain itu, kini aku mulai mempelajari dan memahami arti dari ungkapan yang pernah engkau slentingkan ditelingaku, bahwa; "jika jodoh tidak akan kemana". Meski sebenarnya aku tidak sejalan soal kata "jika" didepan ungkapan itu. Karna jika demikian maka aku akan rela dan ikhlas menerima mantan-mantan orang lain. Tapi aku tunduk bila tuhan yang berfirman.

Dan akhirnya, penyejukmu telah ku hirup dalam-dalam. Terimakasih, dan bagialah dengan pilihan itu.

Gm/12 Februari 2010

Happy Valentine Day, My Flower. (3)

Untuk bunga ku;

Sebentar lagi, kira-kira setengah lusin, kita sebagai mahluk yang mencinta akan bahagia atau tepatnya akan bertambah usia dalam kasih-menghasihi. Meskipun sebetulnya ini telah saling berikan setiap saat sebab memang kita mahluk penuh cinta. Tapi begitulah yang kita tahu tentang hari valentine dari santo valentinus di negara pizza. Laiknya santo, akupun ingin memberimu kartu ucapan sebentuk cupid dengan warna ungu seperti yang aku kagumi dari kerudung mu. Penuh dengan tulisan cinta platonik yang akan pasti membius mu. Karna aku tahu engkau orang yang mudah dibuai meski hanya dengan kata-kata. Tapi bunga, aku tak mampu menghafal wajah si cupid atau melafalkan cinta platonik. Jadi biarkan aku mencinta mu dengan bahasa ndeso, begitu bungaku.

Itu kira-kira yang -sebenarnya- ingin aku berikan kepada mu, yang selama hampir setiap hari aku himpun bait perbait hingga malam ini dan akan aku lepaskan kepada mu. Aku akan datang membawa setangkai bunga cinta dan sebidang coklat mewarniwarna bertuliskan "aku sayank kamu", dan aku berucap happy valentine, terimalah sayank.aku sudah membayangkan indahnya malam ini, malam valentine. Layaknya valentinus, aku berpenampilan sangat mengagumkan "romantis" untuk mu. Hanya untuk mu, cinta ku.

Tapi tak menyangka, sungguh aku tak menduga bahwa ternyata mendung kelam datang lebih awal. Lebih dekat mengikutiku dengan petir saling-silang sambar-menyambar. Dan akhirnya valentinus pun mati lebih dulu dari sebelum bunga dan cupid ini aku serahterimakan kepadamu. Sebelum bibirmu lebih dulu menancap di keningku. Sebelum kaum platonik mengungkapkan cintanya kepada kekasih jantung hatinya. Dan sebelum aku mencabut keris katresnanku untuk aku hujamkan kepada shintaku. Memang aku tak pernah menyangka.

Hingga akhirnya, bungaku, malam ini aku harus memeluk bunga cinta ku dan memakan coklat kasih ku, sendiri. Bukan seharusnya dirimu yang menikmati semua itu di malam valentine ini. Meski tetapi aku tetap tersenyum menatap rembulan gosong melayari malam. Sedang engkau kini aku tak tahu kebahagian itu, kemesraan itu, keindahan malam-malam mu.

Bunga?

Valentine mu bukan lagi milikku, atau aku akan katakan kepadamu bahwa untuk siapa sebenarnya valentine ku. Dan sampai hingga aku benar-benar merayakan keindahan hari raya rakyat roma katolik, aku tetap menunggu untuk sekedar menjelma Santo Valentinus. Suatu saat, entah. Happy Valentine Day, My Flower.

Gm/13 Februari 2010. 17:30.

Rohim Habibi, Pengajian Kalimat, Solo