"G U B U K K I T A"

Gubuk Untuk Sekedar Berbagi...

Minggu, Februari 14, 2010

Diantara Latar Ku

Menikmati Mulutmu (2)

Nikmat,
saat, sinar seumur mentari bayi
mulut mu nikmatkan bibir ku
menghimpit jemari marah-arah
menyibak makna cakrawala
melekkan mata untuk mata
memberi daya kalikali rangka
beriringan air sewarna malam
meng-krukupi rasa hingga
telah menggunungkan abu-abu.
Nikmat.

Gedong Obat, 15 Februari 2010. 05.00
---------------

MATI (I)

MATI...
dengan
BAKAR DIRI...
ini
TAKDIR...
atau
MENAKDIRI DIRI...
?
ENTAH...
tapi
SEMOGA, INI TAKDIR MU...
Selamat!!!
KAMI (AKU) NANTI...
meski dengan
JALAN KAMI (AKU).

29 JANUARI 2010.
------------------

Sampul Kota (3)

Pemalang:

Disampul Kota Terpampang Jelas Kata Perang,
Bukan Eropa Atau Amerika Jadi Enemy Adalah Diri Penuh Birahi Insani//

Tak Jauh, Di Gerbang Rumah Tua Kota Itu,
Pesan Penuh Makna Meski Jadi Sekedar Kata Tanpa Pembaca,
"Clean Government" Tinta Hitam Kini Jadi Putih...

GM/5/12/2009
-------------
Rohim Habibi, Pengajian Kalimat, Solo

Dari Bunga: Tentang Duka

To Rohim,

Malam begitu diam, jarum jam berdiri tegak menatap rembulan kelam yang sinarnya temangsang diantara kabut. Sebentar saja suara renta menyapa lewat dengan bahasa onta arabica. Sedang mataku belum bisa puas menikmati dewa mimpi, kini harus dipaksa mekar memahami setiap pasangan alfabetic suratan kata mu. Mulut ku pun belum selesai mendendangkan not mungkur, kur....kurr....dan terpaksa menjadi banser bagi mata ku.

Valentine meskipun telah kabur namun surat ini masih akan aku pajang diantara foto kenangan. Di atas almari yang mulai osteoporosis, dan saling bersisian dengan jam backer berselimut debu pekat. Karna memang tak pernah aku jamah meski hampir seusia dengan mawar merah bukti asmara kita. Aku masih ingat bagaimana wajah pasi mu saat memberikan bunga mawar kepada ku. Meski tetapi aku tidak tahu kapan ia telah layu dan saat ini telah benar-benar menguning.

Sebetulnya aku sudah lama ingin katakan, bahwa bunga mawar tak lagi mekar. Bahwa fotomu tak mampu lagi berdiri mendampingi ku dan sudah lama bersandar. Namun cintamu membimbangkan lidah ku meski tidak hatiku. Lidahku tak mampu berucap menolak dan meninggalkan mu, ia telah kaku menyublim memelaskan diri mu. Tapi dia telah mendekap jantung ku, menemani sumsum ku. Bukan diri mu.

Aku tahu tetesan eluh mata mu, meskpuni lidah melumat habis coklat dan sampai gigimu melumpur sawah. Tapi memang itulah kenyataanya. Valentine, coklat, dan atau bunga mawar mu tak lagi romantis, tak lagi mengharukan bagi ku. Bukan berarti aku memalingkan wajah saat tuan pos datang memberikan selembar kabar dan sepetak coklat dari mu. Juga bukan berarti aku menyuruh untuk mensensor keindahan malam valentine ku untuk sekedar berbagi kebahagiaan kepadamu. Silahkan saja.

Tak perlu aku jawab, untuk siapa valentinemu kini. Sebab engkau dan diri ku hanya terkasih. Ya, aku mengasihi dirimu karna pun demikian diri mu. Sedang malam ini benar-benar aku telah bertemu santo valentinus dengan selembar kertas berbentuk hati melekat diantaranya sang cupid yang begitu manis. Selarik kata cinta nan indah khas madzhab platonik menghusus kepada dari bukan diri mu. Tapi ini tidak bermakna tangisan lebih dalam untuk mu, meski itu terserah pada mu.

Terimakasih ucapan dari mu, tidak lebih seperti untuk valentinus ku. Sebab kini engkau tahu bukan diri mu. Tentang "entah"? Maka semoga cepat datang dan menyelimuti kedinginan hari dan hatimu. Amin.

BTN/15 Februari 2010.


Rohim Habibi, Pengajian Kalimat, Solo