"G U B U K K I T A"

Gubuk Untuk Sekedar Berbagi...

Kamis, Juli 09, 2009

Menangisi Malam; Refleksi dari sebuah peran

Malam ini, tak ada lagi tangisan seperti saat pertama engkau meninggalkan mereka karena waktu. Suara merdu santri saat bersholawat kini mulai berganti "Slow Rock" atau Rock Alternatif, trend manusia jaman sekarang, katanya. Buku kusut dengan coretan Ahmad Albarzanji r.a. pun mulai berganti Detective Conan (Aoyama Gosho) serta tak tampak lagi Nashaihul Ibad (kyai Nawawi al-Bantani r.a.) yang redup terkena pancaran ayat2 cinta (Habiburrahman El Shirazy).

Dunia memang selalu berputar sejalan dengan kondisi masyarakat, termasuk malam ini. Keindahan Nadham Habib Assegaf yang biasa jadi menu favorit malam jum'at kini kalah pamor dengan Peterpan, atau Ungu. Realitas religiusitas masyarat Indonesia yang tak bisa dipungkiri. Padahal inovasi dalam segala hal (musikalitas, materi atau setting panggung) dilakukan sang Kyai atau Habib -sekedar mengingatkan mereka tentang kehidupan yang akan datang- ternyata tidak berpengaruh terhadap kecintaan mereka pada masa kini.

Visualisasi memegang peranan yang signifikan dalam laku masyarakat. Dalam proses perubahan perilaku masyarakat, media visual menjadi lakon terutama bagi wanita dan anak-anak. Para ibu bisa menangis atau marah hanya dengan duduk di depan media, tidak demikian ketika mereka mengikuti pengajian yang bercerita tentang kesedihan dan siksaan akhirat. Seperti halnya anak bisa menghafal lakon dalam sinetron dengan sangat cepat kontradiktif dengan laku di sekolah.

Ngeh nopo mboten? ajakan yang selalu diucapkan mbah Kyai kini masuk kuping kiri keluar kuping kanan. Kerumunan pengajian bukan karena tuntunan yang melatari mereka melainkan karena tontonan. Realitas tuntunan jadi tontonan kini semakin nyata dalam kehidupan masyarakat. Fakta animo masyarakat menyaksikan pesta band atau dangdut menjadi penegasan atas realitas “tuntunan jadi tontonan dan tontonan jadi tuntunan”. Fatwa seorang kyai kini tidak ampuh seperti dulu, keinginan untuk mendapatkan wejangan dari kyai menjadi faktor masyarakat rela pulang pagi bahkan tidak pulang sekalipun. Kini Televisi jadi raja kecil dalam setiap laku kehidupan masyarakat.

Laku kyai atau guru (politik praktis) termasuk faktor yang melatari laku tidak respek masyarakat. Hal ini terlihat dari animo masyarakat untuk memilih dalam pemilu bukan karena ajakan kyai melainkan karena fanatisme partai atau figur. Proses kampanye dengan media tokoh masyarakat ternyata bukan jaminan untuk mendapatkan dukungan. Keterlibatan kyai dalam partai menjadi pendorong tumpulnya citra kyai dimata masyarakat.

Peran kyai dalam proses politik memang penting, hanya saja sebagai controling bukan sebagai motor politik. Peran controling itu mulai disampingkan, asumsi kyai sebagai orang yang masih mendapat tempat dihati masyarakat –logika para politik praktis- kini mulai tidak jelas. Kelatahan laku itu yang menjadikan citra buruk kyai dimasyarakat.

Malam ini memang berbeda dengan malam sebelumnya. Tangisan bukan lagi karena Nashaihul Ibad atau kecintaan kepada kekasih Allah melalui syair yang indah, tapi karena kekalahan atau kemenangan. Masyarakat mulai mempertanyakan peran sesungguhnya dari seorang ulama yang juga manusia. Mungkin besok masyarakat akan bertanya pada media TV tentang nasib hidup di dunia dan akhirat karena lebih jujur.

“Ulama adalah pewaris para Nabi”, tidak seharusnya meleburkan peran control hanya karena peran politik yang sesaat. Malam ini kita harus menangisi malam lalu dan malam ini.
Malam Tanpa Bulan

Senin, Juli 06, 2009

Kridaning Ati

Kridaning ati ora bisa mbedah kuthaning pasti, budidayaning manungsa ora ngungkuli purbaning kawasa...sejatine ora ana apa-apa lan sing ana kuwi dudu..

Lelakon kuwi adile yen dilakoni...mula kabeh kedadean kang wus, dimen lumaku miturut garising pepesthi...kanggo sangu panguripan ing tembe mburi..

genturing laku lan abot tapa tri ratya bisa sapet jagong sakliyane jalma manungsa....

"Ana kantha kinanthi kanthi datan pisah selawase..didumuk dudu, diarani kleru..ilange suk yen jiwaloka.."

"menungsa ora duwe daya anging kajaba dayaneng gusti kang maha sekti"