"G U B U K K I T A"

Gubuk Untuk Sekedar Berbagi...

Sabtu, Agustus 29, 2009

Wallahu A'lamu Bishowabi...

Pagi ini sebelum suara sumbang toa mushola menggema memberi kabar tentang waktu imsak, aku dan bayangan kantuk menemani menelusuri jalan kota, disebuah warung kecil aku berhenti sejenak mengisi perut sebagai salah satu pelengkap puasa hari ini, sahur. Seorang wanita baya dengan lelah yang nampak dari raut wajahnya berselimut kerudung lusut, walaupun demikian ia dengan ramah menguguhkan nasi dan teh hangat sesuai pesanan. Aku mulai mengawang jauh dalam pikiran, mungkinkah beliau berpuasa seperti puasa saya atau seperti puasa para saudagar muda? Berapakah bobot timbangan dari puasanya? Sama atau lebih berat nilai pahala di setiap pelaksanaan puasanya nanti? wallahu'alam...

Puasa, menurut polapikir manusia secara universal merupakan ibadah transendental atau sebagai laku komunikatif antara diri dan ilahi seperti halnya solat. Kita seringkali tidak memperhatikan kondisi sosial atau minimal memberi nilai pengabdian kepada sosial dalam laku poso. Dalam laku seperti itu tak pelak poso lebih mudah dilaksanakan, berbeda jika kita diposisikan layaknya ibu penjual makanan diwarung, sebagai petani yang kepanasan atau tukang becak, dsb. mereka melaksanakan poso sebagai laku ibadah sosial, artinya bukan hanya laku transendental melainkan juga horisontal dengan memberikan kemanfaatan kepada khalayak lain. Dalam pikiran ku selayaknya mereka mendapatkan keringanan dalam pelaksanaan atau mendapatkan pahala yang beda dalam setiap satu kalinya. wallahu'alamu.

Malam ini, dengan memperhatikan ibadah seorang ibu aku jadi teringat sosok ayah ku yang dalam pandanganku sering tidak melakukan puasa karena kondisi tekanan yang beda -petani-. aku sering mengatakan islam ayahku kurang lengkap karena seringnya ia tidak puasa, walaupun aku tidak tahu bagaimana super beratnya melawan terik matahari dan kehidupan sawah. Ternyata asumsi itu tidak hanya keluar dari aku, banyak orang-orang mengatakan atau bahkan memojokkan tukang becak, tukang bangunan, dll dengan ketidaktaatan kepada kewajiban. Seakan mereka menyamaratakan laku poso mereka -pekerja kantor- dengan pekerja jalanan -langsung terkena sengatan matahari- yang secara fisik mendapat tekanan berbeda.

Seperti halnya solat, setiap pelaksanaannya ada ruksoh bagi yang tidak mampu sesuai kondisi fisik dan mental pun demikian seharusnya puasa, bagi pekerja kasar ada sedikit keringanan, misalnya puasa setengah hari dengan nilai yang sama. Sehingga orang muslim dapat melaksanakan kewajiban yang satu ini dengan hati yang senang. tapi dalam otak kecil ngatakan bahwa klasifikasi shoimuun menurut al ghozali dengan awam, khos, dan khowasul khos ditentukan karena kondisi tekanannya. wallahu'alam

Rohim Habibi, Pengajian Kalimat, Solo

Belajar dari Ketut

Malam ini sangat indah, bukan karena keheningannya ditambah semilirnya angin malam dan lukisan bintang ciptaa-Nya justru keindahan ini terpancar melalui sikap dan laku manusia ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Dingin malam yang menusuk rongga pori2 tak mampu mengalahkan kekuatan sebuah tawa, marah dan tangis, malam ini. Ya, Malam penuh tawa, penuh amarah akibat ketidaktepatan menempatkan kentut, memang kentut itu anugrah dan sebagai muslim harus mensyukurinya. Namun jika tidak diatur -kondisikan- jadinya selain tawa, musibahpun bisa datang karenanya. hehehe

Entah karena tekanan dari orang dewasa -biasane cah cilik yen sholat neng njero mesti oleh teror ko wong tua, ora oleh gojeklah, ora oleh meta-metulah, ora oleh ngguyulah, dsb- sehingga peristiwa kentut membuat ketawa malam ini. malam ini pun seakan menjadi pelajaran yang penting, bagaimana orang tua memberi pelajaran kepada anak dengan "biyadih" atau lebih tapat "hukuman fisik" untuk memberi rasa jera kepada pelaku kemungkuran, dan menafikkan asas kemaslahatan dari sisi spikologis seorang anak. Mungkin ia menyerap seluruh hadist "man ra'a minkum munkaaroon fal yu ghoyyir biyadih, faillam yastati' fabilisaanih, faillam yastati' fabiqalbih, fadzalika adh'aful iman", maaf kalau kutipan hadits salah, barangkali ia ingin menjadi muslim kaffah sehingga perlu memberi pelajaran kepada siapapun yang tidak menempatkan kebathilan pada tempatnya dan hal ini masih saja terjadi di sini. "semoga tidak untuk kota lain". amin.

Hanya karena tidak sengaja kentut, (karena siapa yang bisa menahan kentut) anak menjadi bulan-bulanan tidak hanya dengan hujatan tetapi lebih dari itu semua menertawakannya. Padahal secara psikologis, anak rawan strees yang berpengaruh terhadap perkembangannya. Memang benar bahwa itu (kentut) salah karena tidak pada tempat dan waktu yang tepat, tetapi tidak seharusnya ia mendapatkan perlakuan seperti itu, mungkin inilah watak orang-orang disekeliling ku atau lebih universal menjadi watak bangsa untuk menertawakan kesalahan orang lain. "Mungkin?", tapi paling tidak menjadi "kaca benggala" bangsa ini.

Kasihan dia "anak kecil yang tak tahan kentut" hanya karena ingin mensyukuri rahmat Tuhan, ternyata justru adzab manusia yang ia dapatkan. Padahal tak semestinya mendapat perlakuan itu sedang ia dalam kondisi yang masih butuh bimbingan. Semoga Esok manusia mau berfikir 100x untuk melakukan sesuatu, dan mempertimbangkan segala hal termasuk sisi psikologis seorang anak, dalam kasus "kentut" malam ini.

Rohim Habibi, Pengajian Kalimat, Solo

Cerita dari Kamar Kecil

Siang hari begitu panas tanpa hembusan angin sedikitpun, daun-daun berjatuhan tak kuasa menahan terik matahari menambah kesan gersang dihalaman rumah. Tampak dikamar kecil disudut belakang rumah dua orang yang begitu akrab terbaring tak berdaya menahan tubuhnya masing-masing. Rohim dengan tubuh langsing seperti stick drum, ia terispirasi grup band the changcuters yang menjadi idolanya. Disebelah kiri, si Andi, begitu menurut KTP, berperawakan tambun layaknya drum dengan keringat yang bercucuran tanpa sehelai pakaian. Ia sibuk mencari kipas untuk mendinginkan tubuhnya. Tak lama sosok dengan tubuh mungil sedikit tambun, "Ach...sueeeger Rek?! mencoba meledek dua temannya yang terkapar tepat didepannya. Habibi, begitu dua sahabatnya memanggil. Jam piro bib? sahut Rohim dengan penuh kebingungan. "Jam 4...Ndang do adus kono...?" habibi membalas sambil melempar handuk kuning ditangannya tepat diantara keduanya. Yo...! satu persatu bergegas dari tempat tidur seakan sudah punya agenda yang telah lama dirancang.

Jam becker mendering dengan keras, Kriiiiiiiing!!! Ayo Him, wis jam limo ki!!! untuk ketiga kalinya andi memanggil si rohim yang memang perfectionis. Yo, Ki loh..." dengan peci ditangan si rohim akhirnya keluar dari kamar. "Nengdi ki?" kata Andi sambil memasukkan baju hitamnya kedalam sarung bermotif kotak-kotak. "Sing Penting Piye Carane Oleh Jaburan!!!"; "Yen Ra Ngono Arep Buko Mbe' Opo? Mbe' Wedus...?!", si Rohim meyakinkan temannya. "Oh...Yo Bener Kowe Brow...?". Andi mengamini ucapan Rohim. " tak berlama bak senator mereka mendiskusikannya. "Moh!!!", dengan tegas Habib merespon hasil diskusi, bak bom jw marriot, ketiganya terbang dari tempat semula. "Gah!!! Moso Aku dewean...?! Ra Sido yen ngono...?! sambil berlalu dengan sendiri membawa rasa marah dalam hati dan mulut kecil yang sebentar-bentar mengeluarkan suara tak jelas.

Suara adzan bergema menemani smilir angin malam dan deru kipas melengkapi sidang makan siang ketiga jagoan malam, seakan melupakan agresi militar sore hari. Dengan ramah Andi mengawali sidang; Wah...alhamdulillah...?", Nikmate bisa berbuka bersa...ma...". "Yo brow, yen awake dewe ko ngene terus bisa naik sepuluh kilo...haha", timpal Rohim sembari menepuk perut langsingnya, Plukk...Pluk,,,,!!!, Makane Ndi...? sahut habib, seraya menjelaskan kepada musyawirin, "Yen bareng-bareng mangkat, olehe yo okeh...?", Jo koyo mau...?! tambahnya. seakan Habib Mulai mengarahkan senapannya kepada Andi. Dengan Nada Kesal, Andi merespon todongan Habib; "Maksudmu...?!". Brakk...!!! tangan Andi jatuh diatas meja. "Lah mau...?! Moso aku kon mangkat dewe, yo ra' sudi...?! Habib membalas dengan menarik pelatuk pistol kosongnya. Enakke dewe...?! dengan nada pelan habib mengakhiri gumamnya. "Wis...To?" Rohim mencoba menyiram emosi keduanya.

Seperti biasa, saling jual-beli amunisi tak terelakkan setiap mereka bersama. Beruntun Habib menjual kata-kata; "Kui...Koe nganyeli Ndi...!!!; "Senenge Mojoke Aku; Dikiro aku rak ngerti po py!!!", Habib berdiri dengan pelan mendekati Andi yang mulai beranjak dengan pose Mike Tyson. "Karep Mu opo Bib..?!!!" Andi membeli ucapan Habib. Tiba-tiba..."Meneng!!!" Rohim dengan cekatan berdiri diantara keduanya, layaknya wasit. "Wis tua ra' do nuani, utekmu nggonen!!!" sambil mengangkat tangan dan jari telunjuk tepat atas pelipis, seakan memberi peraga kepada kedua temannya itu. "Jane Koe ki ana apa toh...?", Gaweane paduuuu....ae, ra koyo ndek mben?" kata Rohim dengan ekspesif seakan mengingatkan kepada keduanya tentang masa lalu.

Allaaahu Akbar....Allaaahu Akbar, Suara adzan pun menyambut mereka dengan merdu. mereka yang semula seperti korban kebaran, seketika berubah masam walaupun rasa kesal masih terpampang dari keduanya. "Adzan kae loh?" Rohim menegur keduanya dengan sedikit nada tekan. "Yo do solat...wis ra sah rame neh...!" Rohim mengakhiri Genjatan Senjata. Akhirnya merekapun berlalu mencari perlengkapan sholat sendiri-sendiri. Malam begitu dingin hari ini seakan menjadi saksi berakhirnya Agresi malam ini. Seperti biasa mereka keluar dari kamar rumah yang kecil dengan ekspresi yang berbeda, membuat semua orang terkagum dengan persahabatan yang nan indah. Walaupun dalam dapur mereka sering memiliki perbedaan, akan tetapi tidak untuk dipublikasikan, begitu kira-kira janji yang pernah tersemat dalam jiwa mereka bersama. ....bersambung).


Rohim Habibi, Pengajian Kalimat, Solo

Babak 6; Sholat Ku, dan Mereka

Anak kecil adalah sumber inspirasi bagi manusia dewasa, dalam pengamatanku memang benar. anak kecil merupakan sumber dari segala sumber perilaku orang dewasa, terutama orang tua. Tertawa, Marah atau Sedih sering jadikan respon orang dewasa terhadap stimulasi yaitu anak kecil. laku "lugu" anak-anak memang menggelikan, memusingkan atau "nganyeli", tapi sebagian responden akan memlilih lucu sebagai laku responsif. Terutama aku, Hehe..

Hari ini begitu mengocak hati ku, hehehehe. Aku tertawa -tp tak bersuara- melihat dua kelompok manusia yang berbeda kualitas otaknya, hehehe. Akan tetapi perbedaan itu tak nampak setelah melihat laku keagamaan hari ini. Ya, orang dewasa bisa meniru laku "lugu" seorang anak, yang membuat hati ku tak ingin berhenti tertawa...hehehe, Kok Bisa?! aku mengendapkan pertanyaan sebagai kegaguman. "Lucu...banget?! sesekali aku bergeming.

Padahal Sepele, tapi bikin terpingkal-pingkal...". Berawal dari sholat tarawih cerita ini; Biasa, namanya anak kecil jika berkumpul -siapapun bisa membayangkan bagaimana keramaian itu sebagai akibat komunitas anak- saling pukul, saling cubit, cerita film favorit, dll semua dilakukan sebagai ekspresi kebahagian buah dari kebersamaan atau Silaturrahmi. Pun tidak menghiraukan bahwa momentumnya tidak tepat, ya, waktu itu sholat tarawih. Waktu ruku', misalnya, ada yang dorong dari belakang hingga terjatuh, dan "Hahahaha..." sebagai ekspresi kebahagiaan. Padahal para mubaligh sudah berkali-kali mengingatkan untuk sholat khusuq atau sholat dengan tenang, jangan bermain atau sampai buat orang lain marah, eman-eman...?!, kata mubaligh. Tapi namanya anak-anak, sebelum ia benar-benar mendapatkan hukuman yang nyata maka tidak mungkin ia mau merubah perilaku itu.

Tak pelak, orang-orang dewasa yang mulai terganggu dengan keramaian itu berusaha menghentikan keramaian tersebut, ia merasa sholatnya tidak husuq -ikut rame- karena cubit-cubitan, cerita film yang dilakukan oleh anak kecil. Ya, berarti orang dewasa juga ikut rame -dalam hati- sehingga dia tidak khusuq, tanyaku dalam hati.. Anak-anak menjadi bulan-bulanan laku ingin khusuq dari orang dewasa, seakan menjadi Tuhan sebagai pemberi pahala dan penerima ibadah dengan menerima yang diam dan menghukum yang rame atau pahala ibadah bagi yang diam dan haram bagi yang rame... Tp dalam hati berkata; Wajar aja, karena yang diberi pelajaran anak kecil?! Emang benar, aku melihat segerombolan orang dewasa yang berlaku sama dengan anak kecil, tapi kebal hukum.

Dengan tenang dan tanpa rasa takut, seperti halnya anak-anak kecil, orang-orang dewasa bergurau bahkan sesekali tidak sholat sekedar ingin teng-teng crit (tengak-tengok crita), padahal dia berada dishof kedua sebelum shof terakhir. Bahkan lebih lucunya, mereka ikut menghukum anak-anak yang membuat keramaian. Awas!! Sing Rame Tak Gebuk!! ungkapan yang keluar, seakan menjadi malaikat munkar - nakir yang menakutkan. Hahahaha..., Aku tertawa -dalam hati- bukan karena anak-anak mendapatkan hukuman, pun mereka yang kebal hukum, melainkan orang dewasa juga bisa anak-anak, butuh tertawa tanpa melihat kondisi dan situasi, hahahaha....

Lebih menggelikan, aku kira sedulur pasti juga tertawa, melihat cara sholat orang-orang dewasa yang belajar dari anak-anak, saling dorong, saling tendang, saling ngrumpi dan itu masih saja terjadi di masyarakat, hahahaha.... Bagiku itu keindahan hidup asalkan tidak mencoba menjadi Tuhan dengan mengklasifikasikan diterima dan tidak laku keagamaan kita atau menghakimi anak-anak yang berlaku demikian, seperti yang aku lihat di dunia ku ini...

Rohim Habibi, Pengajian Kalimat, Solo

Babak 5; Dua Hari Berlalu

Dua hari telah berlalu, rasa bangga mulai mengembang dalam hati ku, keinginan untuk segera mengakhiri kewajiban satu tahun sekali ini menjadi tujuan yang slalu menghiasi laku puasa esok dan selanjutnya. maklum untuk menahan lapar dan dahaga bagiku dan sebagian orang adalah kebiasaan, tapi untuk puasa rohaniyah bagiku masih dipertanyakan. Karena slama dua hari jiwa-ragaku masih diselimuti keinginan-keinginan untuk membagi keadaanku, dengan ungkapan-ungkapan yang menyedihkan dengan hasrat teman-teman yang lain mengerti puasaku adalah puasa sesungguhnya.

"Selamat menunaikan puasa, semoga amal kita diterima Allah", kalimat yang sering aku kirim kepada teman-teman nun jauh di seberang. Seakan aku ingin dimengerti bahwa hari ini aku menjadi orang yang beriman karena kewajiban puasa menurut al baqarah 183 merupakan kewajiban orang-orang yang beriman. aku menjadi sangat bangga jika ada balasan atau komentar yang keluar dari beranda ku untuk mengamini keinginan ku, "Sama-sama...?" ungkapan yang telah ku siapkan sebagai balasannya.

Ungkapan-ungkapan motivatif aku siapkan setelah hari seakan menjadi benalu dalam pelaksanaan puasa. "Ayo tetap semangat, walaupun panas banget...!"; "Aku lemes tapi tetap semangat?!"; Pingin tidur biar gak terasa panas.", merupakan sebagian pesan yang aku sebarkan kepada teman-teman, Aku ingin agar mereka juga merasakan dan memberi semangat terhadap kondisi fisik ku saat ini. "Tetap semangat, brow!; Gitu ja dah lemes, ayo Lanjutkan!; tanggapan yang ku simpan sebagai media penyemangat puasa ku hari ini. Ungkapan-ungkapan lain seperti; Hari ini begitu melelahkan, padahal baru pertama puasa, Tuhan Tolong?, aku tulis dengan tanda baca memelas agar tuhan memberi keringanan kepada ku hari ini, karena memang begitu panas dan menyiksa. Padahal aku tidak merasakan begitu panasnya derita teman-teman yang setiap hari makan sekali dengan kondisi alam yang sama. Tuhan Angkat derajat mereka kaum miskin bukan karena takdir Mu melainkan Takdir manusia.

Setelah tak terasa -karna tidur- akhirnya rasa semangat mulai mengembang kembali, seakan kemenangan puasa ada didepan, tinggal digenggaman tangan ku, akupun mulai merajut puisi kemenangan; "Kemenangan puasa bukan karena kita merasa lolos lapar dan dahaga, melainkan kita mampu menahan ego dan nafsu dalam sanubari", "Mentari mulai mengering menjadi saksi datangnya bulan bersama menghilangnya mega merah di langit tertinggi", "Sambut kemenangan ku wahai malaikat kecil ku, Terima kasih Ya Allah Yang Maha Bijaksana". sebelum sambutan penutup puasa layaknya muballigh; "Al Hamdulillah, aku menjadi saksi Keagungan Mu, semoga ibadah ku hari ini Engkau terima layaknya ibadah para sufi, Amin", Selamat berbuka puasa, teman-teman. balasanpun berdatangan layaknya tamu dibulan syawal, senangnya hatiku hari ini.

Tidak berbeda dengan hari ini, selanjutnya sebagai salam pembuka; Sahur-sahur........Selamat Menikmati sahur..., sampai akhirnya Sholat Subuh ah...?! menjadi ibadah yang layak ku beritahukan kepada teman-teman yang tak nampak. begitupun balasannya, mereka seakan mengikuti perkataanku, Ayo berjama'ah agar dapat 27 kali lipat." Ajakan yang menggiurkan, walaupun semua muslimin dimanapun pasti tahu. hampir tidak ada perbedaan sama sekali antara puasa hari pertama dan kedua, karena memang memberi kabar kepada teman itu sebuah keharusan bagiku sebagai sarana pengerat silaturahmi. Padahal motif egosentris menjadi dominasi dari niatnya. Semoga kalian tidak.

Inilah puasa hari pertama dan kedua ku, begitu indah dan mudah bukan! Tapi aku tak tahu diperingkat berapa puasaku menurut Al Ghozali? Semoga kalian lebih menikmati puasa ramadhan seperti puasanya Kaum Khos atau bahkan khowasul khos, yang tidak puasa hanya menahan keinginan konsumtif, tapi lebih dari itu, Amin.

Rohim Habibi, Pengajian Kalimat, Solo

Babak 4; Malam Si Budek!

Malam pertama dibulan puasa bagiku malam penuh keberkahan, bukan hanya dengan hadirnya malaikat-malaikat kecil melainkan kedatangan tamu-tamu agung. ya, mereka yang biasanya duduk, ngrumpi atau meneguk anggur di saat bulan lain, kini benar-benar merasakan keberkahan di bulan ini. ramadhan adalah bulan keberkahan, ucapku. keberkahan itu nampak di waktu sholat tarawih, begitu masjid tanpa sempit karena jama'ah semakin banyak. al hamdulillah.

Setelah tarawih, seperti biasa tausiyah dari orang ahli agama. Aku mendengar dan kagum menikmati tausiyah itu; "...la'allakum tattaquun.", agar kalian bertaqwa, meniru kalimat terakhir yang diucapkan khotib malam pertama tarawih. Begitu indah, motivatif bahwa provokatif; Dia seorang konselor sungguhan, mampu membius aku dan jama'ah tarawih...? kataku dalam hati. jama'ah memang begitu hanyut terpancar dari bagaimana mereka diam dan memberikan ekspresi kepahaman atas materi malam ini. Mereka seakan termotivasi menjadi bagian dari orang-orang yang bertaqwa yang tersirat dalam surat al Baqarah ayat 183, yang menjadi dasar diwajibkannya puasa ini. Malam ini benar-benar malam yang penuh motivasi, malam penuh obsesi, mencoba memaknai kekagumanku.

Dilain ayat...qhufira lahu maa taqaddama min dzanbihi...., Allah mengampuni dosa yang kalian..., kata muballigh dengan perawakan yang kecil dan lidah yang elastis. Ia mengatakan syarat mendapatkan pengampunan itu adalah; ...imaanan wahtisaaban...ia mengulang2 kata-kata ini dengan lantang dan jelas, dengan keimanan dan mengharap ridho allah ta'ala. Seakan ia ingin menunjukkan realitas yang kontradiktif, dengan jelas ia mengatakan saat ini puasa hanya dibibir saja belum benar-benar direalisasikan secara komperhensif atau minimal dengan mengharap ridho ilahi robbi. Ia mencoba memberi gambaran yang lebih jelas lewat permisalan-permisalan; "Sakniki kathah tiang shiyam nanging mboten langkung anging lisan kemawon, ateges ikhlase puoso takseh salah kaprah...! aku meniru ucapan muballigh yang sarat dengan pengalaman ini. "Jenenge ikhlas puniko sejatine enten njero ati, ibu-ibu bapak-bapak, ampun disanjangke kaleh tanggo-tanggone? niku namine ikhlase neng lambe...? dadi, yen pingin oleh "qhufira lahu maa taqaddama min dzanbihi" kudune yo ikhlas, nggeh...? mencoba meyakinkan umat. "Nggeh..." serentak jama'ah menjawab dengan lantang. Lah yen mpon ikhlas, bakale "la'allakum tattaqun, Yen wong taqwa iku bakale mlebu suwar...ga...? amin allahumma amin. Berarti kalau tidak bertakwa tidak masuk surga, walaupun ia islam...? hati memulai mengkritisi.

Diakhir pembicaraan, mubaligh mengajak kepada jama'ah untuk senantiasa bersyukur dan meningkatkan ibadah, lebih-lebih dibulan ini bulan penuh keberkahan, katanya. Karena di bulan ini semua amal ibadah dinilai dua kali bahkan lebih banyak, dengan nada penuh keinginan, seakan mubaligh paham betul kebiasaan jama'ah selain bulan ramadhan, atau kebiasaan menunaikan ibadah di awal bulan ramadhan. Monggo ingkang dereng sholat...? diajak sholat, ingkang biasane mboten puasa yo puasa...! soale bulan iki setahun cuma sekali, dadi eman-eman, nggeh napa mboten? Nggeh...! dengan serempak jama'ah menjawab. Mereka seakan benar-benar paham dan menginginkan serta membayangkan betapa indahnya hidup di surga yang penuh kenikmatan, karna pahala dari puasa. Mereka seakan rela mengganti kebiasaan ngobrol bersama tetangga tentang tetangga. Aku bangga melihat malam ini dan tentunya ceramah mubaligh yang penuh keindahan, dan provokatif. hehehe

Menungso, menus-menus ora kelingan dosa, ibarat yang sering aku ucapkan untuk menafsirkan manusia. manusia sering lupa dan tidak tahu bahwa apa yang dilakukan adalah dosa. Eh, si A biasane ngenong, maen saiki solat...! wah tobat...! tobat! tiga orang bergerombol mencoba menafsirkan ibadah seorang muslim. Eh tebak ? sesok puasa kaya awake dewe gak? Mereka mulai asik membicarakan ibadah si A yang dalam kehidupan nyata tidak seperti mereka ahli ibadah. Dengan rasa kesal si A membalasnya dalam hati; Ko ngono ikhlas...?! Ikhlas udel mu kuwi...! Oh dasar budek!!! Mlebu kuping tengen metu kuping kiwe...?! Dengan hati kesal ia pun pulang tak mau memusingkan perlakuan ahli ibadah itu. Tuhan ampuni mereka ahli ibadah,

Bulan puasa yang dikatakan sebagai bulan dimana semua syetan dibelenggu, ternyata masih dimaknai oleh sebagian muslimin dengan leterlek -dhohiriyah- sebagai makhluk yang menakutkan. Padahal menurut ku syetan diartikan sebagai perintah mengekang hawa nafsu, keinginan menggunjing, menyudutkan orang lain, sombong, pun dengan surga dibuka diartikan sebagai memperkokoh ibadah, menghormati, membangun sikap dermawan, dll. sehingga jika kita mampu melakukan itu, la'allakum tattaquun, sudah pasti menjadi hak kita. tidak membedakan ahli ibadah atau mantan preman. Bukan Begitu?

Rohim Habibi, Pengajian Kalimat, Solo