"G U B U K K I T A"

Gubuk Untuk Sekedar Berbagi...

Minggu, Oktober 25, 2009

Tunangan dan Sex Bebas

”Malam yang indah, sumringah dibawah sinaran bulan kecil berteman bintang nan jauh. Berbondong-berkonvoi bersenjatakan senyuman tulus, keluar dari gubug calon raja menuju istana calon ratu, segala sesaji tujuh rupa diperlihatkan kecuali satu nan rahasia [cincin] sebagai tanda perikatan [permohonan/khitbah] sebelum pengangkatan sang raja. Kini si bujang mulai tenang walau jauh melanglang, diantara cincin keyakinan itu tersematkan, sampai datang malam nanti disaat sang sufi menqabulkan permintaan [nikah] sang raja.”

Sebelum menjalani hidup sebagai sepasang keluarga, dalam Islam dianjurkan untuk melakukan khitbah atau tunangan/melamar terlebih dahulu. Tunangan [khitbah] memiliki makna permohonan untuk menjalin hubungan sebelum nikah. Selain sebagai keinginan [keseriusan] untuk menjalani nikah, khitbah juga bisa artikan sebagai proses pengenalan [status] wanita yang ingin ditunangi, sebab dalam Islam wanita yang telah bertunangan tidak dibolehkan untuk menerima tunangan dari orang lain, begitu juga lelaki tidak dibolehkan untuk mekhitbah wanita yang telah dikhitbah. sedang bagi wanita yang telah menikah [cerai], maka khitbah dilangsungkan [dibolehkan] setelah habis masa iddahnya.

Di Indonesia, tunangan/melamar biasanya dilakukan oleh kelompok [keluarga] dari sang lelaki yang datang ke pihak wanita dengan membawa berbagai macam makanan dan pemberian cincin bahkan uang sebagai bentuk keseriusan dari pihak peminang kepada wanita atau sebaliknya. Ironisnya, Setelah pertunangan selesai, biasanya laki-laki datang [apel] di malam harinya. Seakan menjadi sebuah tradisi, pihak perempuan sengaja mempersiapkan diri untuk memonggohkan pelamar, bahkan sampai waktu yang tidak biasa [larut malam] tanpa ada teguran dari siapapun -orang tua dan masyarakat-. Hal ini seakan menjadi sah [biasa] setelah status pertunangan, masyarakat memandang biasa bagi pasangan yang telah bertunangan.

Bagi pihak keluarga pun seringkali memberikan kebebasan kepada anaknya setelah statusnya pertunangan. Padahal tunangan/khitbah belum tentu nikah, khitbah hanya permohonan untuk kearah nikah. Jadi secara Syar’i keduanya masih orang lain dan haram untuk melakukan layaknya suami istri. Jika ”kebebasan” terjadi maka pihak wanita yang sangat dirugikan, apalagi jika ternyata tidak terjadi pernikahan seperti yang diinginkan dari tunangan. Keleluasaan atau kebebasan yang diberikan oleh orang tua, secara tidak langsung menimbulkan benih-benih sex bebas yang sering kali tidak terdeteksi.

Perilaku sex bebas sudah menjadi hal yang tidak tabu bagi masyarakat Indonesia. Anak-anak, orang dewasa, dan orang tua, dari segmentasi apapun mulai mengenal sex bahkan tidak sedikit yang melakukannya sebagai bentuk kesetiaan seorang pasangan. Oleh karena itu, tidak dianggap setia jika pasangan [wanita] tidak mau melakukan sex bebas atau hubungan yang mengarah kepada laku sex bebas. Lihat saja, beberapa kasus nikah dini, hamil sebelum resepsi pernikahan atau sex bebas yang dilakukan oleh anak sekolah sebagian besar mengaku karena alasan kesetiaan [keseriusan] hubungan cinta mereka. Apalagi sebagai seorang hawa, dimanapun ia tidak ingin dianggap sebagai orang yang tak setia.

Kini, sejalan dengan merebaknya sex bebas yang berarti mulai luntur nilai-nilai agama serta norma sosial di masyarakat. Modus atau cara yang digunakan oleh penikmat atau pelaku sex pun semakin berkembang. Tidak hanya di kota-kota besar yang notabene kota metropolitan, sex bebas kini mulai menjamah kota-kota kecil dan pedesaan. Bahkan pertunangan pun sering dijadikan sebagai alat legitimasi terhadap laku sex bebas. hal ini dimotori oleh laku membebaskan orang tua terhadap pasangan yang telah bertunangan, sehingga secara tidak langsung memberi ruang bagi mereka untuk bebas melakukan apapun demi kesetiaan atau kesungguhan calon pasangan. Realitas hamil sebelum nikah atau mengandung disaat melakukan resepsi menjadi bukti sahih dari laku sex bebas setelah pertunangan. Ironis tapi inilah realitas masyarakat yang mulai merebak.

Padahal kita tahu, jika ternyata pertunangan itu mengalami masalah [putus], maka tidak ada hukum syar’i bagi pihak laki-laki atau perempuan, hanya hukum sosial yang berlaku [blacklist] dan bagi pihak laki-laki itu tidak berarti apapun. Apalagi jika kegagalan [seleh] itu terjadi setelah melakukan sex bebas dengan alasan kesetiaan, maka wanita yang mendapatkan kerugian paling besar. baik secara fisik maupun mental, secara fisik masyarakat bisa tahu bahwa dia telah melakukan hubungan sex dengan bukti kandungan. sedangkan secara mental, ia akan merasakan malu setelah masyarakat tahu bahwa dia tak lagi "virgin" apalagi tanpa suami. sekali lagi, bahwa pertunangan / khitbah hanya perantara "kesungguhan" pihak laki-laki atau sebaliknya untuk melakukan nikah.

Pertunangan/khitbah merupakan bagian ritual masyarakat sebelum pernikahan, maka memiliki nilai luhur sebagai permohonan untuk melakukan hubungan serius dalam pernikahan. Artinya bukan berarti kita membebaskan begitu saja bagi pasangan pertunangan, sebagai orang tua atau masyarakat maka pengawasan [penyadaran] terhadap pasangan pertunangan harus dilakukan. Sebelum benar-benar ia memaknai pertunangan sebagai pembolehan atau ”kebebasan” untuk melakukan apapun termasuk sex bebas. Sekali lagi kita belajar dari laku masyarakat, dan hari ini pertunangan menjadi pelajaran yang baik juga. Bukan Begitu?

Rohim Habibi, Pengajian Kalimat, Solo