"G U B U K K I T A"

Gubuk Untuk Sekedar Berbagi...

Sabtu, Agustus 29, 2009

Belajar dari Ketut

Malam ini sangat indah, bukan karena keheningannya ditambah semilirnya angin malam dan lukisan bintang ciptaa-Nya justru keindahan ini terpancar melalui sikap dan laku manusia ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Dingin malam yang menusuk rongga pori2 tak mampu mengalahkan kekuatan sebuah tawa, marah dan tangis, malam ini. Ya, Malam penuh tawa, penuh amarah akibat ketidaktepatan menempatkan kentut, memang kentut itu anugrah dan sebagai muslim harus mensyukurinya. Namun jika tidak diatur -kondisikan- jadinya selain tawa, musibahpun bisa datang karenanya. hehehe

Entah karena tekanan dari orang dewasa -biasane cah cilik yen sholat neng njero mesti oleh teror ko wong tua, ora oleh gojeklah, ora oleh meta-metulah, ora oleh ngguyulah, dsb- sehingga peristiwa kentut membuat ketawa malam ini. malam ini pun seakan menjadi pelajaran yang penting, bagaimana orang tua memberi pelajaran kepada anak dengan "biyadih" atau lebih tapat "hukuman fisik" untuk memberi rasa jera kepada pelaku kemungkuran, dan menafikkan asas kemaslahatan dari sisi spikologis seorang anak. Mungkin ia menyerap seluruh hadist "man ra'a minkum munkaaroon fal yu ghoyyir biyadih, faillam yastati' fabilisaanih, faillam yastati' fabiqalbih, fadzalika adh'aful iman", maaf kalau kutipan hadits salah, barangkali ia ingin menjadi muslim kaffah sehingga perlu memberi pelajaran kepada siapapun yang tidak menempatkan kebathilan pada tempatnya dan hal ini masih saja terjadi di sini. "semoga tidak untuk kota lain". amin.

Hanya karena tidak sengaja kentut, (karena siapa yang bisa menahan kentut) anak menjadi bulan-bulanan tidak hanya dengan hujatan tetapi lebih dari itu semua menertawakannya. Padahal secara psikologis, anak rawan strees yang berpengaruh terhadap perkembangannya. Memang benar bahwa itu (kentut) salah karena tidak pada tempat dan waktu yang tepat, tetapi tidak seharusnya ia mendapatkan perlakuan seperti itu, mungkin inilah watak orang-orang disekeliling ku atau lebih universal menjadi watak bangsa untuk menertawakan kesalahan orang lain. "Mungkin?", tapi paling tidak menjadi "kaca benggala" bangsa ini.

Kasihan dia "anak kecil yang tak tahan kentut" hanya karena ingin mensyukuri rahmat Tuhan, ternyata justru adzab manusia yang ia dapatkan. Padahal tak semestinya mendapat perlakuan itu sedang ia dalam kondisi yang masih butuh bimbingan. Semoga Esok manusia mau berfikir 100x untuk melakukan sesuatu, dan mempertimbangkan segala hal termasuk sisi psikologis seorang anak, dalam kasus "kentut" malam ini.

Rohim Habibi, Pengajian Kalimat, Solo

Tidak ada komentar: