"G U B U K K I T A"

Gubuk Untuk Sekedar Berbagi...

Jumat, April 03, 2009

Belajar Nulis


Dangdut Musik Kampungan?

Ndeso, Kampungan, Nggilani, Narsis merupakan ungkapan keresahan Habibi setiap kali Rohim memutar lagu kesukaannya dangdut. Tak pelak tanpa menghiraukan orang-orang yang tidak suka atau meresahkan kecintaannya terhadap gendre musik yang beraroma melayu, ia pun semakin asyik ketika ketipung-ketipung mulai mengalun dengan keras. Ayo goyang asyik, sesekali menegaskan bahwa dangdut jadi the favorit of music.

Dangdut merupakan salah satu gendre musik Indonesia yang beraroma melayu, kemunculan musik dangdut memang tidak lepas dari melayu (1940-an). Sesuai perkembangan jaman musik melayupun tidak stagnan, selalu dinamis sesuai dengan konteks masyarakat yang berkembang. Evolusi musik dangdut tidak lepas dari masuknya unsur-unsur khas (tabla/gendang) dari india dan aroma arab (cengkok dan harmonisasi). Perubahan kondisi politik Indonesia menyebabkan masuknya jenis musik lain yang berenergi dan menggunakan alat musik elektrik. Dengan kondisi itu, dangdutpun mulai menyesuaikan diri bahkan jenis musik yang paling mudah dilantunkan dari syair apapun.

Danggut merupakan ungkapan sinisme dari orang yang tidak suka dengan ciri khas dari musik yang berkembang pesat di indonesia pada tahun 70-an. Penyebutan dangdut berasal dari suara tabla atau gendang (Ndang-Ndut) yang menjadikan dangdut semakin menjelma dalam masyarakat.

Dalam perkembangan musik dangdut tidak terlepas dari musik melayu yang menjadi akar dari musik ini. Masuknya ragam musik dari luar justru mampu membangkitkan semangat dan dangdut menjadi lebih enak untuk dinikmati oleh masyarakat Indonesia. Tahun 70-an menjadi masa keemasan bagi dunia musik dangdut indonesia, adalah roma irama menjadi motor bagi perkembangan musik dangdut dengan soneta grup. Ia mampu membius masyarakat dari segala status sosial, bahkan dangdut jadi musik favorit bagi masyarakat asia. Peran Roma semakin nyata dengan predikat raja dangdut yang dilontarkan oleh fans dangdut mania. Di sisi lain regenerasi pelantun dangdut tidak pernah mengalami stagnasi, dari masa ke masa dangdut mempesona dengan lantunan yang khas (jengkok).

Di awal perkembangan, dangdut mengisi masyarakat bawah (pekerja kasar). Mereka melepas kepenatan hidup dengan mendengarkan musik hingga menggerakkan seluruh badan (joget) mengikuti dentakan kendang dan indahnya suara seruling. Hampir disetiap pelosok masyarakat menggemari musik yang merupakan asli Indonesia. Di era 90-an musik dangdut mengalami perubahan, dari format musik dan produktifitas pencipta lagu dangdut. Masyarakat pun mulai mendiskriditkan musik yang menjadi idola bagi bangsa melayu. Stigmatisasi penggemar dangdut kampungan, ndeso pun mulai dirasakan. Disamping itu, dalam setiap pentas dangdut tidak lepas dari perilaku anarkis para penikmat dangdut.

Akan tetapi stigma tersebut mulai dikikis dengan berbagai cara termasuk media televisi berlomba-lomba memformat musik dangdut dalam berbagai fariasi, dari show, kompetisi hingga format eliminasi. Semua dilakukan demi mengembalikan citra musik dangdut yang pernah jaya dimasa lalu. Bukti bahwa musik ini menjadi favorit dan tidak akan hilang dari hati penggemar dan menghapus stigma bahwa dangdut musik kampungan. Jadi patutkah kita membunuh kreatifitas, ekspresi seseorang dengan mengatakan bahwa musik A, B atau C kampungan, tidak up to date, atau apapun stigma tersebut. Indonesia merupakan bangsa yang berbudaya dan memiliki nilai seni tinggi, sehingga tidak menerima bentuk diskriminasi apapun. So, bangsa yang besar adalah yang apresiatif terhadap kreatifitas bangsanya. Apapun pilihan seni kita, seperti ungkapan Slank " tong kosong nyaring bunyinya...., kalau suka ikutlah bernyanyi, jangan ngelarang-larang, jangan banyak komentar apalagi menghina......". Bukan Begitu?

Tidak ada komentar: