"G U B U K K I T A"

Gubuk Untuk Sekedar Berbagi...

Jumat, April 03, 2009

Golput dan Kritik Sosial

Pemilu tinggal hitungan hari, berbagai asumsi, spekulasi interpretasi dan ekpresi politik dilakukan oleh kalangan dari pelaku maupun penonton "sejarah" perpolitikan Indonesia. Manuver "stimulus" politik yang dilakukan politikus sangat bervariatif, stategi dan aksi di format sesuai dengan keinginan dan kebutuhan masyarakat. Tingkahlaku para pelaku politik kelas handal sampai kelas "teri" meniadakan role of the game adab, kebudayaan dan agama sekalipun -menghalalkan segala cara- dengan harapan respon positif dan simpatik masyarakat berupa penggalangan suara. Sehingga mereka tidak segan melakukan aktifitas abnormal dari naik pohon, mengukur jalan, jual pakaian, beras, kolektor KTP sampe buka rental suara bahkan buka apotik jalanan "tukang obat", membuka tempat praktik, tempat lelang suara bagi masyarakat yang tertekan oleh kondisi ekonomi. Berbekal kepiawaian tata bahasa, logika, seni, entertaint, da'i yang serba dadakan dan dipaksakan semuanya dilakukan untuk memenuhi hasrat politiknya.
Laku fenomenal politikus yang abnormal itu tidak mencerminkan kapabilitas dan kapasitas seorang legislator, bahwa kapabilitas seorang legislator tidak hanya mampu memberi sugesti pada masyarakat, bahkan banyak nampak di media televisi (aktris spontan). DPR memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan, yang menilik laku politik dari para calon legislatif, kemudian muncul pertanyaan; untuk apa mereka ke senayan? Jika pertanyaan tersebut kita ungkapkan kepada para calon legistatif, maka dengan serentak mereka mengatakan rakyat dan bangsa ini. Bangsa ini butuh orang-orang yang mau bekerja dan berhikmad, kesadaran itulah sehingga saya mencalonkan diri atau dengan lantang mereka mengatakan panggilan hati. Walaupun statemen yang sama biasa di katakan para koruptor sebelumnya, tapi kenyataan itu terbukti ampuh bagi mantan legislatif yang pernah ke senayan sampai dua kali.
Pakar politikpun tidak berdiam diri dalam menyoal tentang pemilu dan laku para caleg, mereka mulai mengeluarkan taring untuk sekedar mengembalikan nama baik (politik etis) seperti halnya VOC yang juntrungannya tidak lain kesalihan pribadi, atau benar-benar untuk proses pendewasaan politik bagi masyarakat, bahwa sistem politik prosedural mesyaratkan pemilu sebagai roadnya sehingga kesadaran perlunya mengaspirasikan masyarakat lewat caleg yang kapabel tentunya. Perlunya menyalurkan aspirasi masyarakat lewat pemungutan suara demi terciptanya bangsa yang besar dan "...berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia" harus di tegakkan dan Demokrasi Prosedural menjadi jalan bagi terciptanya cita-cita bangsa harus sukseskan. Akan tetapi tidak sedikit yang mencoba membangunkan kesadaran masyarakat lewat jalan kritik sosial, bahwa sistem politik Indonesia saat ini tidak mencerminkan arah bangsa, oleh karena itu masyarakat harus sadar bahwa dalam penentuan pilihan (Golput) merupakan kesadaran yang tinggi akan realitas sistem politik yang manipulatif.
Potensi golput dari berbagai penyelenggaraan pemilu baik daerah maupun negara menjadi kekuatan tersendiri bagi proses demokrasi. Pilihan untuk memberikan perubahan melalui golput adalah sikap pendewasaan laku politik. Dengan fenomena inilah, Sehingga Wacana Golput mulai membakar jenggot dan menguras saku para caleg (calon legislatif). Masyarakat mulai apatis dengan realitas bahwa siapapun yang jadi, mereka tidak kenal dan mengenal dengan mereka. Asumsi dan argumentasi itulah kenapa mereka harus memilih golput. pola pikir itulah kemudian menimbulkan pragmatisme berfikir dan gerakan, kenyataan bahwa tidak populis dan aspiratifnya caleg memberikan ekses hedonism di kalangan masyarakat. Tingkah para elit politik pun seringkali menjadi bagian dari presuur politik bagi masyarakat, ketertundukan terhadap tokoh masyarakat merupakan salah satu asbab wurud dari laku politik masyarkat.
Bahkan tidak sedikit masyarakat yang melakukan pilihan golput karena kesadaran reformatif untuk merubah sistem politik yang diskriminatif dan syarat dengan money politik serta prinsip dagang sapi. Sangat ironis menyimak laku politik. kesadaran reformasi itulah yang seharusnya melatari gerak dan laku para caleg, sehingga analisa terhadap kebutuhan dan kondisi realitas masyarakat jadi bekalnya.
Apatisme dan pragmatisme masyarakat terhadap sistem politik saat ini tidak lain karena laku para politikus yang tidak mencerminkan seorang pemimpin yang aspiratif dan komunikatif. Sehingga golput jadi pilihan yang perlu dihormati dan dihargai oleh pelaku dan pengamat politik Indonesia. Tetapi tidak semua masyarakat mampu memaknai pilihan mereka (golput) sebab tidak sedikit pilihan itu dilatarbelakangi oleh kekecewaan dengan janji-janji yang selalu disebarkan oleh para pelaku politik. Akhirnya, apapun pilihan masyarakat, kita harus menghormati sebagai kemajemukan bangsa ini dan pendewasaan politik serta pemberdayaan pendidikan politik bagi bangsa ini harus selalu dilakukan dan digalakkan tidak lain karena bangsa ini butuh obat dari penyakit mata dan hati. Bukan Begitu?


Rohim Habibi
Santri Pengajian Kalimat, Kartasura.

Tidak ada komentar: