"G U B U K K I T A"

Gubuk Untuk Sekedar Berbagi...

Kamis, Juli 02, 2009

"Cuaca dan Nalar Kapitalistik"

April-september merupakan bulan yang meresahkan bagi sebagian masyarakat. Kondisi cuaca yang tidak stabil mengharuskan masyarakat untuk menjaga kondisi fisik dan mental. cuaca yang kadang sangat panas (siang) dan spontanitas berubah menjadi dingin (sore-malam) bisa menyebabkan tubuh menjadi drop bahkan sangat mungkin membuat inkonsistensi mental.
Tidak stabilnya kondisi fsiki dan mental seseorang berpotensi menciptakan polemik (kekacauan). Iklim yang mudah berubah dari dingin ke panas (malam dan siang) menyebabkan tubuh tidak mudah untuk menkondisikan dan jatuh sakit. Disamping itu Kondisi tubuh yang sangat panas menyebabkan tekanan dalam diri manusia yang menyebabkan manusia mudah marah. Belum lagi kondisi ini berpotensi menimbulkan kebakaran, pengangguran dan kelaparan bisa menjadi bahaya "laten" bagi kebersamaan Umat.
Kondisi "kepanasan" yang menimbulkan ketidakstabilan umat sudah berjalan dan berlangsung lama. budaya memikirkan kesalehan personal (individu dan sosial) menjadi laku masyarakat dan meninggalkan kepentingan sosial. dengan kata lain, budaya memperbanyak diri untuk mendapatkan sesuatu (tirani mayority) menjadi nalar yang tak terbendung.
Tirani mayoriti yang menjadi darah kapitalisme modern -suara terbanyak- menjadi laku para elit negeri untuk menguasai atau mendapatkan sesuap nasi. Nalar kapitalistik ternyata mampu melewati sekat yang paling kecil dalam masyarkat indonesia dan masuk dalam setiap segmen bangsa ini (ekonomi, pendidikan, politik, dan budaya).
Kondisi jiwa yang kepanasan -kekurangan- bisa menyebabkan masyarakat beradab menjadi tak beradap. Nalar kapitalistik -materi- masyarakat (kultur dan struktur) akan berujung pada kesalehan personal, tragis! budaya andap-asor (hormat menghormati) mulai berubah jalur, bukan menghormati dalam arti kepantasan akan tetapi hormat karena kekuasaan. Tetangga "sedulur" tidak mampu memilihat kondisi -batin- tetangga "separo". Dalam ranah politik misalkan, budaya mufakat (asas pancasila) dalam arti kebersamaan menjadi absurd, kenyataan bahwa kebenaran terletak pada berapa suara yang didapat telah menjadi budaya dalam masyarakat. Padahal nalar tirani mayoriti menafikkan kaum minoritas dan jauh dari kebersamaan. Sekali lagi ekses dari kondisi batin dan jiwa yang sakit panas.
Kondisi batin manusia menjadi dasar dari gerak laku kehidupannya, dan keinginan untuk menyembuhkan diri -metari- seharusnya tidak menafikkan dan menghilangkan budaya yang menjadi tolok ukur sebuah bangsa. Sekali lagi, kita perlu membuang atau melestarikan budaya yang akan dijadikan dasar dimasa depan. Bukan Begitu
Panas, jadi Kepanasan

Tidak ada komentar: