"G U B U K K I T A"

Gubuk Untuk Sekedar Berbagi...

Sabtu, Juli 04, 2009

“Keindahan; Belajar dari Rakyat”

Dinginnya malam tak terlihat sedikit pun pada wajah mereka, raut wajah penuh senyuman tampak mengiringi pesta kecil sebagai tanda terima kasih kepada Tuhan karena hadirnya sang Gatot Kaca kelurga. Syukuran, sebagai bentuk penghormatan dan akad terima atas anugrah sang pencipta berupa anak.

Syukuran atau “Banca’an” merupakan tradisi masyarakat pedesaan yang syarat makna (Transendental dan Horisontal), sebagai bentuk pengabdian. Nilai Transendental tercermin melalui ritual berdoa untuk kebaikan keluarga dan anak, sedang nilai-nilai Horizontal terkandung dalam laku silaturrahmi sebagai akar kebersamaan dan solidaritas. “Banca’an” merupakan kebudayaan masyarakat Jawa, biasanya dilakukan sebagai realisasi dari ucapan terima kasih (syukur) atas karunia yang syarat dengan nilai-nilai ritual keagamaan dan sosial. Dalam tradisi jawa Banca’an biasa dilakukan disetiap momentum pemberian nama anak, potong kelamin (sunatan). Bancaan juga merupakan momentum untuk memperkokoh tali persaudaraan, selain sebagai pesta.

Malam ini, masyarakat begitu menikmati suasana dengan rasa kebersamaan. Mereka melupakan segala penat kehidupan yang baru saja dihadapi. Syukuran menjadi media yang mampu mempersatukan masyarakat dan mampu menghilangkan sentimen politik, ekonomi dan agama sekalipun. Malam ini, tidak ada cerita Mega Wati, Susilo Bambang Yudoyono, atau Jusuf Kalla, mereka lebih menikmati teh manis, dan snack ringan sebelum musik ketipung memanggil untuk sekedar goyang.

Fanatisme yang terlihat pada siang hari (Kampanye Mega Wati) hilang tak berbekas. Raut wajah bingung yang biasanya menghiasi disetiap laku –sebagai bentuk kebingungan seorang pengangguran- berganti senyuman. Pria-wanita, kerudung-tidak berkerudung, batik-kaos-jas, bersepatu-sandal japit semua bersatu berdoa dan berbahagian malam itu. Kebersamaan dalam kebahagiaan (syukuran atas karunia anak) menjadi doa bagi dan dari masyarakat malam itu. Disamping itu syukuran mampu menghadirkan rasa keindahan ikatan emosional. Keindahan yang akhir-akhir ini hilang, malam itu mengembang dalam kemeriahan pesta kecil “Banca’an”. Semua genre musik dilantunkan diiringi ketipung yang malam itu menjadi pengikat rasa emosional diantara masyarakat.

Keindahan dari sebuah toleransi memang hampir tak tampak pada masyarakat Indonesia saat ini. Berbagai permasalahan yang dihadapi bangsa ini menjadi salah satu sebab keretakan bangsa Indonesia sebagai satu kesatuan. Malam ini, keindahan dari sebuah negara benar-benar nyata, semua masyarakat mampu berbaur untuk menikmati malam. Inilah bangsa yang kaya akan kebudayaan.

Mereka (pemimpin) harus belajar dari indahnya malam ini, keindahan yang mulai pudar. Laku masyarakat (syukuran) perlu biasakan, untuk sekedar melupakan sentimen politik, ekonomi dan agama. Masyarakatpun harus mampu membuang fanatisme yang berlebihan terhadap sesuatu –politik, ekonomi, budaya atau agama-, yang justru menimbulkan petaka. Bukan begitu?

Tidak ada komentar: