"G U B U K K I T A"

Gubuk Untuk Sekedar Berbagi...

Jumat, Juli 03, 2009

"Hek" lebih perhatian daripada Senayan.


Malam semakin larut, suara motor seperti komandan upacara keras dan membosankan, lalu lalang disamping hotel kecil, tapi tempat itu makin menarik semua manusia dari status sosial yang berbeda datang membawa konsepsi dan strategi untuk diperjual-belikan layaknya diplomator, siapa yang mantap, cepat, keras, serta lucu bakal jadi pemenangnya.

Gedung Putih, Senayan, atau Gedung Presiden sekalipun kalah jauh dengan hotel yang minimalis, simple full AC (Angin Cemilir) yang mampu memberi kepuasan, kenyamanan dan menghadirkan tawa sebagai rasa bagian toleransi yang terbangun. Beda dengan senayan, yang menghadirkan tawa karena perilaku penghuni, apalagi ketika sedang sidang, seperti anak SD segala manuver dilakukan (otak dan otot) demikian ketidaknyamanannya senayan bagi penghuni.

Jam 11.00 malam waktu diskusi dimulai, mereka membuka dengan obrolan sante tangan pendidikan, nasib anak-anak mereka yang menjadi korban peraturan. Mereka saling mengeluarkan asumsi, tentang kondisi pendidikan indonesia. Bahwa kebiasaan gampang berpaling menjadi faktor penyebab rendahnya kualitas pendidikan Indonesia. Mereka memandang dan meyakini bahwa pola pikir dan kapasitas otak manusia Limited, untuk memikirkan dua hal atau berfikir lain dalam waktu yang sangat singkat tidak mudah. Kurikulum yang cepat diganti (CBSA, KBK, KTSP, dll) hanya menghadirkan keresahan bagi rakyat dan membuang biaya.

Tidak berhenti sampai disitu, keresahan mereka semakin terasa setelah anak mereka lulus dari sekolah. Biaya banyak merupakan masalah bagi masyarakat yang terjepit oleh kondisi sosial yang kacau / tidak perpendapatan tetap. Pemerintah seharusnya menanggung biaya pendidikan seperti halnya dalam undang-undang. Mereka mengakhiri segment pendidikan dengan tawa; andai biaya membuat KTSP di alihkan untuk beli nasi bandeng, dapat berapa ya?hahaha.

Politik jadi sajian kedua, segmen politik menjadi yang paling serius karena menghadirkan sentimen personal. Wajar mereka datang dengan kondisi batin yang beda, sehingga pandangan tentang politik dan negara pun berbeda. Idealisme pemimpin mulai ditelusi dan dicari formatnya, konsep dasar seorang Pemimpin harus pinter, bener dan mendengar. Tiga kriteria tersebut memiliki tiga dasaran teoritis yaitu Intelektual, Spiritual (Moral), Aksi, mereka mengandaikan ada peminpin yang memiliki tiga prinsip dalam laku politiknya maka bangsa akan aman, tentram, sentosa dan makmur “Gemah Ripah Loh Jinawi” salah satu dari diplomator berkata.

Mereka tidak mampu mengumpat tawa ketika salah seorang yang mengeluarkan pernyataan plesetan; “Utang Melimpah Rak Wani Bali”, mungkin mereka terinspirasi oleh realitas laku para pejabat negeri ini. Rame-rame hutang ke luar negeri saat jatuh tempo mudah saja mereka menghilang dari negera, ujungnya negara dan rakyat yang melunasi hutang mereka. Disamping kebiasaan serong para pejabatpun tidak luput dari kamera mereka, dengan ringan salah satu menunjukkan Hand Phone kamera dan menunjukkan aksi pejabat maen serong. Sepontan suara sumbang keluar, bahkan ada yang meandaikan jadi mereka, enaknya. Dan diakhiri dengan kesedihan, bagaimana mau maju kalau perilaku pejabatnya demikian?

Tidak terasa jam 00.30 seperti biasa mereka menutup perbincangan dengan optimisme hidup. Bahwa kehidupan bukan diam dan marah, tapi kehidupan itu dinamis, progresif, dan kadang dilematis maka tetap kritis dan transformatif untuk kemaslahatan umat.

Tidak ada komentar: