"G U B U K K I T A"

Gubuk Untuk Sekedar Berbagi...

Rabu, Agustus 19, 2009

Babak 2; Pelajaran Hidup

Kita tidak pernah menghendaki kehidupan penuh amarah, pun mereka, tidak mau hidup dalam kesedihan, tapi free will menjadikan kita harus menerima atau marah.
Seperti ketika saya harus menerima –pasrah- terlahir dalam lingkungan yang serba kekurangan, atau terlahir dengan kesedihan. Tak pelak perasaan marah kadang muncul secara spontanitas, walaupun dalam kadar yang paling sedikit –mengeluh- dengan realitas kehidupan ini. Pertanyaan-pertanyaan, kenapa aku terlahir seperti ini? Andaikan tuhan mau kompromi, maka aku ingin kehidupan yang lebih indah dibandingkan saat ini. Atau aku ingin hidup layaknya anak konglomerat serba kecukupan, dan akan selalu menafkahkan harta yang aku miliki, ingin ku dengan nada skeptis.

Sikap itulah yang membuatku semakin terpuruk, hidup tanpa optimis dan terpasung dalam pesimistis yang dalam, seakan hidup tanpa arti tanpa gairah seperti orang lain, hidup penuh tawa, mereka dengan mudah mendapatkan apapun yang ia inginkan dengan karunia Tuhan ku yang lebih. Sedangkan aku, hidup dengan ketidakpastian, hidup penuh amarah, bahkan orang lain memandangkan diriku sebagai orang paling hina. Kadang mereka tak menganggap keberadaanku sebagai makhluk Tuhan yang mulia. Kenapa? Pertanyaan yang menggelitik dalam diri ku. Innalillah. Ya, semua yang ada di dunia adalah milik-Nya dan sepatutnya akan kembali kepada yang Haq “The One” La Syarikalahu.

Malam ini, aku hadir dalam kesunyiaan membawa emosi yang menggunung, terbang melayang melewati keremangan bulan diatas kepala ku. Malam ini, aku tidak seperti biasa menjaga malam dalam kebosanan, aku tak mampu menahan ketertarikanku kepada indahnya malam, aku tertidur. Aku bingung, memasuki kehidupan lain penuh tragedi, penuh ketidaknyataan, mungkin karna aku tidur membawa perasaan dendam, seakan Tuhan dengan kekuasaan-Nya ingin menjawab semua skeptis dalam raga ku. Malam ini aku seakan tersadarkan betapa Tuhan Maha Agung, betapa dalam penciptaan-Nya ia Maha Adil. Aku bingung, Kenapa begini? Dalam kebingungan aku merenung.

Aku melihat malaikatku, pesonanya mengalahkan semua malaikat-Nya, cantiknya mengalahkan bidadari sekalipun, aku ingin segera mendekapnya, dalam emosional aku bergerak. Tapi apa yang aku dapat, aku terperangah, seperti film kartun, dia nyata tapi tak tersentuh, usahaku untuk menjemputnya dalam pelukan tak ubahnya “si boncel merindukan bulan”, sia-sia. Tuhan apa ini? Tanyaku kepada Penguasa Kehidupan maya. Aku tak mampu mengurai jawaban semua pertanyaan-pertanyaanku malam ini. Aku tak percaya pada diriku sendiri, aku tak berdaya melukis perasaan ku saat ini, “Aku lemah, tak berdaya”, sesalku dalam jiwa yang penasaran.

Belum lagi aku mengurai jawaban itu, aku terkagum melihat pesona diriku yang lain, aku seperti raja, segala keindahan dunia aku miliki, “ Ini seharusnya aku?” Celoteh ku dengan perasaan sombong. Aku tak perlu lagi mengais rezki Mu dengan keringat sebesar jagung, atau tak perlu mewarnai kulit ku dengan warna hitam karna terik matahari. Ini seharusnya aku, tak perlu hidup dibawah cemoohan mereka, tak perlu mencuci kaki sebelum masuk tempat ibadah karena aku hidup dengan barang yang berharga, bangganya aku atas semua yang terjadi saat ini. Tapi sesaat kemudian, aku melihat makhluk nista mendatangiku dengan suara seperti radio rusak –tak jelas dan pelan-, ia meminta belas kasihan kepada ku, aku yang di dunia nyata hidup dengan rasa sosial yang tinggi, berubah seperti mama tiri di senetron-sinetron indonesia, kejam tak berperi sosial, memaki tanpa dosa seakan sudah kebiasaan, padahal dalam hati aku menangis ingin segera memberikan semua yang aku miliki untuk mereka dan kaum mereka. Aku kaget, terkaget-kaget, aku berontak, Aku tak mau kehidupan ini! Dalam marah aku teriak. Tuhan, Kembalikan aku apa adanya, Aku Minta maaf, Engkau Maha adil, sesalku spontanitas.

Aku terbangun dari mimpi, dengan kondisi seperti olahragawan, keringat bercucuran, ketakutan, seakan mendapati musuh yang bukan tandingan. Aku diam dan mencoba menyimpul semua kejadian, malam ini. Kehidupan seperti roda, berputar, dalam menjalani kehidupan manusia saling ”Sawang Si Nawang” saling melihat tanpa merasakan, dan manusia tidak sadar bahwa segala yang terjadi adalah miliknya, itu kira-kira kesimpulan ku dalam kondisi yang setengah sadar. ”Terima kasih Tuhan” ucapku diakhir pencarian ku, malam ini.

19-08-2009
Rohim Habibi, Pengajian Kalimat, Solo

Tidak ada komentar: