"G U B U K K I T A"

Gubuk Untuk Sekedar Berbagi...

Rabu, Agustus 19, 2009

Memaknai Padusan

Setelah hampir tahun keempat dari enam tahun keberadaan ku di pengasingan -solo-, aku mulai menikmati kehidupan disini, akulturasasi berbagai aspek kehidupan yang seharusnya sulit disatukan mengalir begitu saja terutama dalam dialektika -jawa alus dan jawa kasar-, maklum aku dari pemalang yang secara dialek berbeda dengan solo, kini mulai tak terlihat, aku mulai menyatu dalam budaya masyarakat yang sekarang aku tempati. Maaf, kadang aku tertawa dalam hati ketika kembali ke kampung halaman -mendengar dialektika asli- yang bagiku mulai terdengar asing. Padahal aku dan siapapun tidak ingin ini terjadi, menertawakan bahasa asli, tradisi tanah leluhur, sebab menghormati berbagai kebudayaan dan bahasa, merupakan media pemersatu bangsa indonesia yang multikultural. "Al 'Adatu Muhkamatun", demikian menurut ushul fiqh yang menjadi hujjah kenapa kita harus melestarikan kebudayaan dan tradisi, walaupun masih disortir kedalam tradisi yang baik.

Diawal kehidupan ku di kota lain, mungkin siapapun merasakan, perasaan asing atau keterasingan menjadi wabah yang tak terhindarkan atau dengan bahasa kekaguman, kekaguman itu yang menjadikan aku harus belajar banyak tentang kebudayaan dan tradisi yang ada, minimal aku harus merubah kebiasaanku makan makanan pedas dengan masakan manis khas solo. Selain itu, ada satu tradisi yang membuatku merenung, walaupun sebetulnya secara substasial sama dengan yang ada di Pemalang -keramas-, yaitu kebiasaan melakukan pembersihan diri sebelum memasuki bulan yang suci, Syahrulmaghfirah, "padusan".

Padusan yaitu tradisi membersihkan diri dari segala kotoran -baik lahiriyah maupun batiniyah- untuk menyambut bulan suci yang sering dilakukan dengan mandi bersama. Setiap sebelum puasa, minimal satu minggu sebelum pelaksaan, masyarakat berbondong-bondong untuk membersihkan diri di pemandian-pemandian, atau di sungai besar. Kita mau memasuki bulan suci maka seyogyanya kitapun harus suci, begitu penjelasan yang pernah aku dengar. Kadang secara kasat mata -jasadiyah- badan kita terlihat bersih tidak nampak kotoran yang menempel, akan tetapi kita tidak tahu bahwa sebetulnya badan kita masih kotor dari hadast besar, karena ketika membersihkan kotoran dari hadats besar tidak sepenuhnya, atau masih ada sisa, maka disini fungsi padusan sangat tepat. hampir Setiap masyarakat di solo tahu makna dan substansi dari padusan, sehingga padusan dianggap sangat penting bagi masyarakat.

Akan tetapi sejalan dengan modernitas, sebetulnya tidak ada kaitannya, masyarakat mulai meninggalkan makna sesungguhnya laku kultural ini, masyarakat mengetahui dan melakukan padusan sebatas hasil tradisi tanpa menelaah subtansinya, sehingga tidak jarang padusan dilakukan dengan rekreasi kepemandian, atau lebih ironis, sebagai kebebasan untuk bermain dialam bebas yang sering dilakukan oleh kaum pemuda. Dengan alasan padusan anak-anak mendapat kemudahan -kebebasan- dari orang tua, bahkan kebebasan tidak masuk sekolah pun bisa diperoleh sekedar untuk padusan yang mereka tidak tahu makna dan substasinya.

Padahal padusan menjadi bukti kelunakan agama dalam mengajarkan nilai-nilai agama kepada umatnya, padusan merupakan tradisi yang substansial, artinya tradisi yang perlu dilestarikan karna memiliki nilai yang tinggi secara syar'iyah, sebagai pembersihan diri. Bahwa membersihkan diri dari segala kotoran menjadi kewajiban umat manusia, terutama Islam. lebih-lebih padusan dilakukan sebagai penyambutan datangnya bulan yang suci, bulan penuh rahmat ini. Selanjutnya, masyarakat harus dewasa dalam melakukan dan menempatkan tradisi padusan atau apapun untuk menyambut Ramadhan sesuai makna dan substansi yang sesungguhnya.

Sebagai manusia aku harus bangga terhadap masyarakat ini, terutama strategi pendidikan dengan pendekatan tradisi untuk menanamkan nilai-nilai agama seperti padusan, misalnya. Nilai-nilai agama -kesucian- bisa diajarkan tanpa menghilangkan tradisi yang ada. Begitu seharusnya bangsa ini memandang keberagaman bangsa, multikulturalisme, bukan menyalahkan atau sampai mengkafirkan umat lain selain kita, naudzubillahi min dzalika. Bukan Begitu?

19-08-2009
Rohim Habibi, Pengajian Kalimat, Solo

Tidak ada komentar: